ERAMADANI.COM, – Seiring perkembangan zaman yang kian berubah, maka semakin banyak pulalah tantangan dalam menyampaikan dakwah baik di Indonesia maupun di belahan dunia manapun.
Perubahan zaman ini menimbulkan sebuah lingkungan sosial baru, yang membuat kita harus terus atau memiliki inisiatif dalam menyebarkan nilai keagamaan.
Dilansir dari Republika.co.id, Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Rapat Koordinasi antar pengurus.
Rapat itu berlangsung di Hotel Grand Cempaka, Jakarta Pusat, pada Selasa (03/12/2019) lalu. Salah satu pembicaranya adalah Asrorun Ni’am, Deputi II Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Tantangan Dakwah di Era Industri 4.0
Asrorun Ni’am menyampaikan materi tentang dakwah digital di era industri 4.0 bagi kalangan milenial. Ia menjelaskan, dakwah itu pada hakekatnya adalah mengajak.
Sehingga menjadi suatu keharusan untuk mengerti kondisi orang yang diajak, termasuk juga kecenderungannya. Karena baginya tantangan dakwah sekarang ini lebih kompleks.
“Tren anak-anak milenial itu seperti apa. Mereka inikan simple, instan, dan juga tidak bertele tele, efisien, efektif. Ini yang perlu dipahami ketika kita mau melakukan aktivitasdakwah kepada mereka,” tuturnya kepada Republika.co.id usai acara.
Saat ini dakwah harus menyasar platform yang biasa digunakan oleh kalangan milenial. Bahasa yang disampaikan pun menurutnya harus sederhana dan tidak terkesan menggurui serta memberi teladan.
“Dan juga menyampaikan hal yang inovatif, motivasi, itu jauh lebih efektif, akan masuk pesan dakwah daripada hanya sekadar ceramah yang bersifat verbal. Itulah diperlukan inovasi bagi para dai dengan mengadaptasi perubahan masyarakat,” ungkapnya.
Asrorun menerangkan, hal itu pula yang sebetulnya diwariskan oleh Rasulullah SAW. Sebab Rasulullah diutus dengan menggunakan bahasa kaumnya dan bukan hanya bahasa verbal.
Tapi juga bagaimana menyelami tradisi, kebiasaan, dan kecenderungan dari kaum yang akan dijadikan objek dakwah itu.
Karena itu juga, ketika seorang dai hendak berdakwah, maka harus disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Ketika objek dakwahnya seniman, maka dengan pendekatan seni.
“Itulah hakekat kontekstualitas dalam dakwah, dan ini menunjukkan sisi-sisi universal. Jangan sampai ketika berdakwah, orang justru menjauh karena kita tidak sensitif terkait kebutuhan dan juga kondisi si calon penerima pesan dakwah itu,” tuturnya. (IAA)