ERAMADANI.COM, KARANGASEM – Kamis (03/10/2019), Wisata selam di USAT Liberty Tulamben kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, terletak sebelah Timur Pulau Bali.
Disebut-sebut sebagai contoh paling baik dalam pengelolaan Wisata Bawah Air di Situs Arkeologi Indonesia, bahkan di dunia salah satu yang terbaik.
Setidaknya begitu kesimpulan yang dituliskan banyak peneliti dalam berbagai tulisan ilmiah. Hal penting yang paling banyak diungkap oleh peneliti selain, tentang keindahan pemandangan bawah lautnya.
Juga keberhasilan masyarakat setempat memanfaatkan situs kapal karam sebagai objek wisata selam unggulan kelas dunia berbasis kearifan lokal.
Lebih mengagumkannya lagi, wisata selam di lokasi kapal karam milik Amerika itu mampu membuka lapangan pekerjaan bagi 70% lebih masyarakat Desa Tulamben.
Tiga usaha utama yang banyak digeluti oleh masyarakat lokal adalah Penginapan, Rumah Makan dan Dive Center. Selain itu juga banyak masyarakat lokal yang bekerja sebagai pemandu selam, (angkat tank penyelam) hingga membuka usaha laundry, toko souvenir dan travel.
Dalam dua tahun, perputaran uang dari industri wisata selam ini mencapai 1,5 – 2 Triliyun per tahunnya. Itu semua datang dari 7000-8000 orang yang menyelam ke Tulamben setiap bulannya, atau sekitar 100.000 setiap tahunnya. Jumlah yang cukup banyak dari kegiatan yang kadang dipandang sederhana bagi sebagian orang, yakni menyelam di situs tinggalan masa lalu.
Objek Wisata Selam di Karangasem
Menurut Orams (1998), turis wisata selam adalah salah satu turis yang paling menghabiskan uang dan waktu di lokasi penyelaman dibandingkan dengan turis kegiatan wisata lainnya.
Kini meskipun masih terbukti mampu meningkatkan perekonomian masyarakat lokal dan pendapatan daerah, kita perlu untuk mengajukan pertanyaan sekaligus mencari jawabannya, sejauh mana keberlanjutan wisata selam di USAT Liberty Tulamben, terkait lingkungan dan manusianya?
Tidak hanya tentang kelestarian kapal, ikan dan terumbu karang tapi juga isu sampah, perubahan landscape, dampak pembangunan fisik, air, potensi konflik horizontal, hingga isu perubahan budaya antara penduduk lokal dengan turis.
“Sejak lahir sampai sekarang saya tahunya masyarakat di sini kerjanya di wisata selam ini Mas, kalau tidak ini kita tidak tau mau makan apa, suami saya juga seorang pemandu selam yang telah menggeluti pekerjaan itu sejak 27 tahun yang lalu. Tutur Porter
Cerita tersebut mengingatkan, pada sebuah kondisi yang mau tidak mau perlu difikirkan sejak dini. Dulu para peneliti banyak membahas Pengembagan Wisata Selam sebagai mata pencaharian alternatif Masyarakat Lokal.
Mata Pencarian Masyarakat Tulamben
Kini perlu dipikirkan lagi mata pencaharian lainnya bagi masyarakat Tulamben, jika suatu saat nanti orang yang menyelam tidak lagi seramai sekarang atau bahkan berhenti sama sekali.
Wisata selam, selain dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan politik (lokal, nasional dan internasional) juga sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan bencana alam, khususnya di Tulamben yang berjarak hanya 20km dari Gunung Agung.
Sekali Gunung Agung bereaksi, bisa sebulan lebih wisata selam berhenti. Artinya sebulan lebih pula masyarakat lokal tidak lagi memiliki pemasukan seperti biasanya, belum lagi karena ombak.
Belasan atau puluhan tahun kedepan, tentu bukan hal yang mudah bagi masyarakat Tulamben yang sudah menggantungkan hidupnya pada industri wisata selam, tapi orang semakin sedikit atau bahkan tidak lagi datang kesana untuk menyelam. Mereka bisa kehilangan pekerjaan pokok.
Ada sebenarnya kapal baru yang sengaja di tenggelamkan di Kubu, tidak jauh dari lokasi USAT Liberty, tapi kondisinya tak kalah mengenaskan. Pemandu selam di Tulamben memprediksi kapal itu akan lebih cepat rusaknya dibandingkan bangkai Liberty.
Kondisi seperti ini, diharapkan stakeholders tidak hanya fokus pada pelestarian kapal di bawah laut, akan tetapi juga memikirkan secara serius sejak dini tentang sosio-ekonomi masyarakat lokal dalam menghadapi perubahan-perubahan yang akan terjadi di masa depan.
Wisata selam di Tulamben tidak hanya tentang melestarikan kapal di bawah laut tapi juga yang di darat, yakni kehidupan manusia yang telah bergantung sekian lama dari keberadaannya.
Tulisan Dikirim Dari Warga Net:
Sultan Kurnia A.B. Mahasiswa Pascasarjana Taoyaka Program, Universitas Hiroshima, Jepang. Alumni S1 Prodi Arkeologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Peneliti sejarah budaya dan pariwisata.