Jakarta, 10 Januari 2025 – Shalat Jumat hari ini, 10 Januari 2025, bertepatan dengan tanggal 10 Rajab 1446 Hijriah. Momentum ini menjadi refleksi penting bagi umat Islam, mengingat Rajab merupakan bulan ketujuh dalam kalender Hijriah dan termasuk salah satu dari empat bulan haram (asyhurul hurum), bersama Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharram. Keistimewaan ini, sebagaimana diuraikan dalam khutbah Jumat yang disampaikan hari ini oleh KH. Dr. Surahman Hidayat, MA, menuntut peningkatan kualitas spiritualitas umat menuju bulan suci Ramadhan. Tema khutbah, "Raih Pribadi Rajabi untuk Menjadi Ramadhani," mengajak jamaah untuk memanfaatkan bulan Rajab sebagai periode persiapan yang efektif dalam menyambut Ramadhan.
Khutbah Jumat tersebut, yang dirujuk dari buku Penunjuk Khutbah Juma’t 1444 H (Seri 132), tidak sekadar membahas aspek ritual semata, melainkan juga menekankan transformasi diri menuju pribadi yang lebih baik, sebuah pondasi kokoh untuk meraih keberkahan Ramadhan. KH. Dr. Surahman Hidayat, dalam khutbahnya, mengarahkan jamaah untuk memahami makna dan esensi bulan Rajab, bukan hanya sebagai rangkaian tanggal dalam kalender, tetapi sebagai momentum spiritual yang sarat dengan nilai-nilai keislaman.
Makna dan Kemuliaan Bulan Rajab
Nama "Rajab" sendiri memiliki akar sejarah yang kaya. KH. Dr. Surahman Hidayat menjelaskan bahwa nama tersebut berasal dari kata kerja "yarjibuuna" yang menggambarkan kebiasaan suku-suku Arab pra-Islam yang menghentikan peperangan dan pertumpahan darah selama bulan ini. Mereka "melepaskan mata pisau dari tombaknya," sebuah simbol penghormatan dan penjagaan kesucian bulan Rajab. Makna lain yang diungkap adalah derivasi dari kata "tarjib" yang berarti pengagungan atau pemuliaan. Hal ini menunjukkan bahwa bulan Rajab secara inheren dihormati dan dimuliakan, bahkan sebelum datangnya Islam.
Islam, sebagai agama yang melengkapi dan menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya, mengakui dan meneguhkan kemuliaan bulan Rajab. Al-Qur’an sendiri secara eksplisit menyebutkan empat bulan haram, termasuk Rajab, dalam Surat At-Taubah ayat 36: "Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu." Ayat ini menjadi landasan utama bagi umat Islam untuk memuliakan bulan Rajab dan menjauhi segala bentuk perbuatan tercela.
KH. Dr. Surahman Hidayat mengaitkan ayat tersebut dengan hadits Nabi SAW yang menjelaskan secara rinci tentang empat bulan haram tersebut, termasuk Rajab. Hadits ini menegaskan posisi Rajab sebagai bulan suci yang berada di antara Jumadil Akhir dan Sya’ban. Dengan demikian, khutbah tersebut menekankan pentingnya menghindari perbuatan haram seperti peperangan, pembunuhan, pencurian, dan segala bentuk dosa lainnya selama bulan Rajab. Sebaliknya, jamaah didorong untuk memperbanyak amal saleh, terutama ibadah sunnah seperti puasa. Penggalan khutbah ini mengutip perkataan Sufyan ats-Tsauri yang menggambarkan kegembiraannya berpuasa di bulan-bulan haram, termasuk Rajab.
Isra Mi’raj: Ibrah dan Hikmah
Selain sebagai bulan haram, bulan Rajab juga dikaitkan dengan peristiwa agung Isra dan Mi’raj, yang terjadi pada malam 27 Rajab. Peristiwa ini, yang menandai perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, lalu ke Sidratul Muntaha, dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 1: "Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjid al-Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat."
KH. Dr. Surahman Hidayat mengungkapkan bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj sarat dengan ibrah dan hikmah. Peristiwa ini memperkuat iman akan kekuasaan Allah SWT yang maha luas dan tak terbatas. Lebih jauh lagi, Isra dan Mi’raj memberikan hadiah agung berupa shalat lima waktu, yang menjadi pilar utama dalam kehidupan seorang muslim dan sarana komunikasi langsung dengan Allah SWT. Shalat lima waktu, menurut khutbah tersebut, bukan sekadar kewajiban ritual, melainkan jembatan penghubung antara hamba dan Tuhannya.
Rajab: Bulan Tobat dan Permohonan Ampun
Khutbah Jumat tersebut juga menyorot aspek penting lainnya dari bulan Rajab, yaitu sebagai bulan yang tepat untuk bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT. KH. Dr. Surahman Hidayat menghubungkan hal ini dengan pesan dalam Surat At-Taubah ayat 36 yang melarang penganiayaan diri sendiri di bulan haram. Beliau menjelaskan bahwa larangan ini dapat diinterpretasikan sebagai seruan untuk memperbaharui niat dan memperbaiki diri, sebuah ajakan untuk bertaubat dari dosa-dosa yang telah diperbuat. Ini sejalan dengan ajaran Islam yang selalu menekankan pentingnya tobat dan istighfar.
Rajab: Persiapan Menuju Ramadhan
Aspek krusial lainnya yang diangkat dalam khutbah adalah posisi bulan Rajab sebagai periode persiapan menuju Ramadhan. Kedekatan waktu antara Rajab dan Ramadhan, yang hanya dipisahkan oleh Sya’ban, menjadikan Rajab sebagai momentum strategis untuk mempersiapkan diri secara optimal dalam menyambut bulan suci. KH. Dr. Surahman Hidayat mengungkapkan bahwa para salafus shalih telah memahami dan mengamalkan hal ini. Beliau mengutip perkataan Abu Bakar al-Warraq al-Balkhi yang menganalogikan Rajab sebagai bulan menanam, Sya’ban sebagai bulan menyiram, dan Ramadhan sebagai bulan memanen.
Analogi ini, menurut khutbah, menunjukkan bahwa apa yang ditanam (amal saleh) di bulan Rajab dan disiram (dipertahankan dan ditingkatkan) di bulan Sya’ban akan menghasilkan panen yang melimpah (kebaikan dan keberkahan) di bulan Ramadhan. Sebaliknya, siapa yang lalai menanam di bulan Rajab, akan menuai kekecewaan di bulan Ramadhan karena tidak memiliki bekal spiritual yang cukup.
Kesimpulan: Menuju Pribadi Ramadhani
Khutbah Jumat tersebut diakhiri dengan penegasan pentingnya menjadikan bulan Rajab sebagai momentum untuk membentuk "pribadi Rajabi," yaitu pribadi yang senantiasa beramal saleh, bertaubat, dan mempersiapkan diri secara maksimal untuk menyambut Ramadhan. Dengan demikian, umat Islam diharapkan dapat menjadi "pribadi Ramadhani," yaitu pribadi yang mampu meraih keberkahan dan kemuliaan Ramadhan secara optimal. KH. Dr. Surahman Hidayat menutup khutbahnya dengan doa agar Allah SWT senantiasa memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada seluruh jamaah. Khutbah ini secara keseluruhan menekankan pentingnya memanfaatkan waktu, khususnya bulan-bulan suci, untuk meningkatkan kualitas spiritualitas dan mempersiapkan diri menghadapi ujian dan kesempatan yang diberikan Allah SWT.