Jakarta, 10 Desember 2024 – Kewajiban beribadah dalam Islam tak perlu diragukan lagi. Shalat, puasa Ramadan, zakat, dan haji merupakan rukun Islam yang memiliki keutamaan dan janji pahala dari Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 97. Namun, fenomena menarik sekaligus menggugah renungan muncul: adakah kemungkinan seorang muslim yang rajin beribadah, namun amalnya tak diterima Allah SWT dan tak menghapus dosa-dosanya? Pertanyaan ini dijawab tuntas oleh Buya Yahya, Prof. KH. Yahya Zainul Ma’arif, Lc., M.A., Ph.D., melalui kanal YouTube Al-Bahjah TV pada Jumat, 6 Desember 2024.
Penjelasan Buya Yahya tak sekadar menekankan pentingnya konsistensi ibadah, melainkan menggali esensi dan kualitas ibadah itu sendiri. Beliau menekankan peran krusial "tafakur" – merenung dan memastikan bahwa setiap amal ibadah dilakukan semata-mata karena Allah SWT. Tanpa tafakur, ibadah sekadar menjadi rutinitas formalitas, tanpa mampu membersihkan jiwa dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
"Banyak orang yang melakukan ibadah sekaligus maksiat," tegas Buya Yahya. "Dosa iya, ibadah iya. Ibadahnya tidak bisa menghapus dosanya. Sepertinya dia beribadah, ternyata hasilnya ada dosa karena dia tidak merenungi ibadahnya." Pernyataan ini menyiratkan bahwa ketekunan ibadah tanpa diiringi kesadaran dan niat yang tulus, tak akan menghasilkan dampak spiritual yang diharapkan. Ibadah menjadi sia-sia jika hati tak terpatri dengan keimanan yang mendalam dan ketaatan yang tulus.
Buya Yahya memberikan sejumlah contoh konkret yang memperjelas argumentasinya. Beliau menyinggung kasus seseorang yang berulang kali menunaikan ibadah haji dan umrah, namun mengabaikan kewajiban membagi warisan. "Mungkin ada orang haji dan umrah bolak-balik tapi lupa waris belum dibagi, sehingga umrahnya dengan bagian dari rebutan waris. Mau dapat pahala dari mana? Surga mana yang didapat orang itu?" Pertanyaan retoris ini menggarisbawahi pentingnya integritas dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian tak terpisahkan dari ibadah. Amal ibadah tak akan diterima Allah SWT jika diiringi dengan tindakan yang zalim dan merugikan sesama.
Lebih lanjut, Buya Yahya menjelaskan bahwa kekhusyukan ibadah lahiriah belum tentu menjamin penerimaan amal. "Bisa saja salatnya bukan karena Allah SWT, bajunya haram dan sebagainya," ujarnya. Hal ini menekankan pentingnya memperhatikan aspek halal-haram dalam kehidupan, karena ketidakhalalan sesuatu dapat membatalkan pahala ibadah. Ketaatan pada syariat Islam haruslah komprehensif, mencakup seluruh aspek kehidupan, bukan hanya ritual ibadah semata.
Buya Yahya juga mencontohkan kasus seseorang yang tampak khusyuk beribadah di masjid, bahkan sampai menangis, namun di rumah memperlakukan ibunya dengan buruk. "Atau mungkin ada seorang yang tampak beribadah khusyuk (sampai) menangis di masjid, ternyata di rumahnya ada ibunya yang menangis oleh dia. Maka dia sebetulnya anak durhaka yang lagi sholat di masjid. Berarti dia ahli neraka yang lagi nongkrong di masjid, karena dia tidak merenungi (tafakur)," papar Buya Yahya. Contoh ini menggambarkan betapa pentingnya keseimbangan antara ibadah vertikal (kepada Allah SWT) dan ibadah horizontal (kepada sesama manusia). Amal ibadah yang hanya terfokus pada diri sendiri tanpa memperhatikan hak-hak orang lain, tak akan mendapatkan ridho Allah SWT.
Lebih jauh lagi, Buya Yahya menggambarkan skenario di akhirat, di mana seseorang yang tampak alim dan rajin beribadah justru dihadapkan pada tuntutan dari orang-orang yang dirugikan olehnya. "Lalu ditanya, siapa kalian? Rupanya orang-orang itu berkata, aku anaknya si Fulan itu. Dia rajin ibadah, rajin tahajud, rajin puasa, rajin haji, rajin umrah, tapi aku tidak dididik dengan benar, sehingga aku tidak mengenal engkau ya Allah, sehingga aku bermaksiat gara-gara ibuku terlalu sibuk ibadah, tidak sempat ngurusi aku," kisah Buya Yahya. Skenario ini mengilustrasikan betapa pentingnya menyeimbangkan ibadah dengan tanggung jawab sosial dan keluarga. Keutamaan ibadah tak akan mampu menutupi kekurangan dalam hubungan sosial dan pengabaian tanggung jawab keluarga.
Dalam konteks yang berbeda, Buya Yahya juga membahas fenomena orang yang tampak jarang beribadah namun meninggal dalam keadaan husnul khatimah (mati dalam keadaan baik). Beliau menekankan bahwa takdir kematian sepenuhnya berada di tangan Allah SWT. "Tidak ada yang tahu kapan kita mati. Ada orang jarang salat tapi matinya mulia, itu sebenarnya nasib seorang manusia tidak ada yang tahu," ujarnya.
Buya Yahya memberikan contoh seseorang yang terbiasa mabuk-mabukan, namun pada saat terakhir hidupnya bertaubat dan meninggal di masjid. "Bisa saja dalam kesehariannya dia mabuk tapi begitu langkahnya masuk ke masjid dia taubat, meninggal, dicabut nyawanya maka husnul khatimah, beruntung dia. Karena orang yang bertaubat seperti tidak punya dosa," jelasnya. Namun, beliau mengingatkan agar contoh ini tak diinterpretasikan sebagai pembenaran untuk berbuat maksiat. "Tapi tidak boleh kita contoh dari segi tidak baiknya, nanti jangan-jangan kita mati duluan ketika dalam keadaan mabuk. Jadilah orang yang hablum minannas baik dan hablum minallahnya juga harus baik," tegas Buya Yahya.
Buya Yahya kembali menegaskan bahwa penilaian husnul khatimah atau suul khatimah sepenuhnya merupakan urusan Allah SWT. Manusia tak berhak untuk menilai dan berprasangka buruk terhadap kematian seseorang. "Urusan mati baik atau tidak baik itu urusan Allah. Tugas kita makanya harus selalu husnuzan (berprasangka baik)," ujarnya. Sebagai penutup, beliau mengajak umat muslim untuk senantiasa mendoakan kebaikan bagi orang yang telah meninggal dunia. "Jangan suudzon pada orang yang sudah meninggal, itu urusan Allah. Makanya kalau ada orang meninggal dunia, mari kita doakan semoga Allah mengampuni dosanya," pungkas Buya Yahya.
Kesimpulannya, pesan Buya Yahya menekankan pentingnya keseimbangan antara ibadah ritual dan kehidupan sosial yang baik. Rajin beribadah tak menjamin surga jika tak diiringi dengan tafakur, niat yang tulus, keadilan, dan hubungan sosial yang harmonis. Penerimaan amal ibadah bukan hanya ditentukan oleh kuantitas, melainkan juga kualitas dan integritas pelakunya. Lebih dari itu, kita diingatkan untuk selalu husnuzan dan mendoakan kebaikan bagi sesama, terutama mereka yang telah meninggal dunia, karena penilaian akhir atas amal perbuatan hanya milik Allah SWT semata.