TO THE MOON. Frasa ini impian utama pemilik uang kripto. Mereka bukan ingin jalan-jalan ke bulan mengikuti jejak astronot Neil Armstrong, melainkan berharap nilai koin melenting jauh di atas pasaran. ‘Ke bulan’ adalah simbol menambang kekayaan.
Komunitas _crazy rich_ asli sudah lama berada ‘di bulan’. Kehidupan pribadi mereka tersembunyi dari pandangan mata warga bumi. Kalau pun ada yang sempat terlihat, penampilan mereka tak terbilang dahsyat. Dari usia sangat sepuh seperti Warren Buffett, memasuki sepuh seperti Bill Gates, atau yang masih jauh dari sepuh seperti Mark Zuckerberg muda awet. Cek juga nama Lo Kheng Hong. Siapa yang tahu identitas ‘Warren Buffett Indonesia’ ini kecuali mereka yang biasa melantai di bursa dari Jakarta sampai Hong Kong?
Mereka berbeda dengan _crazy rich_ yang blingsatan ingin dipanggil ‘Sultan, King dan Juragan’, penjunjung ideologi ‘Flexing Harga Mati’. Jangankan sudah sampai selamat di ‘bulan’, bentuk satelit bumi itu pun bisa mereka edit sesuai prinsip ‘fake it ‘til you make it’. Untungnya, rahasia mereka terbongkar hanya urusan pencitraan. Semakin luas dugaan di benak publik bahwa mereka tak lain pion-pion pencucian uang ( _money laundering_) beragam industri haram milik _masterminds_ yang beroperasi di tanah air atau dari negara-negara seberang samudera yang buram-temaram.
Perkara ‘jalan ke bulan’ ini bukan baru dilakukan pejudi opsi biner sinting yang membungkus diri dengan sebutan _online trading_. Mereka mengikuti rute yang dibuka para penipu superlegendaris seperti Ruja Ignatova dan Bernie Madoff. Keduanya pun hanya menduplikasi cara yang diperkenalkan Charles Ponzi (1882-1949), nama keluarga terhormat Italia yang kemudian terjerumus selamanya menjadi nama terkutuk Skema Ponzi yang sangat buruk.
Pada masa kejayaannya Ponzi menerima rata-rata USD 250.000 _setiap hari_ dari para investor yang percaya kelihaiannya bermain kata dan. menabur mimpi di kepala. Padahal Ponzi tak pernah menginvestasikan dana mereka pada bisnis yang dia janjikan. Investor menerima dana hanya dari uang sendiri atau anggota yang bergabung kemudian. Skema Ponzi berjalan satu tahun lebih, membuat mantan tukang pos sebelum menjadi mahasiswa ini mampu meraup keuntungan sebesar USD 20 juta (atau USD 258 juta, atau Rp 3,6 triliun, di tahun 2022) dari para investor yang dikadalinya di AS dan Kanada. Ketika penipuannya terbongkar dan bisnis abal-abalnya runtuh, dia pindah ke Sao Paulo, Brasil. Kesehatannya anjlok. Perlahan-lahan tangan dan kaki kirinya lumpuh, pandangan mengabur dan nyaris buta. Ponzi wafat dua bulan sebelum berusia 67 tahun dalam keadaan bangkrut.
Kisah Ruja Ignatova, 41 tahun, tak kalah seru. Dari penampilannya, perempuan Bulgaria yang beremigrasi ke Jerman sejak umur 10 tahun ini bisa jadi model atau aktris. Apalagi otaknya juga moncer. Dia punya gelar Ph.D bidang hukum Eropa dari Universitas Konstanz, Jerman. Tapi dia tak tertarik bekerja di bidang hukum malah menciptakan uang kripto OneCoin pada 2014 dengan bisnis berbasis Skema Ponzi. Perusahaannya tidak terdaftar di Bulgaria atau Jerman, melainkan di Dubai dan Belize, Karibia. Saat itu Ruja berusia 34 tahun.
Hanya dalam tiga tahun, Ruja mendapatkan USD 4 miliar dari para ‘investor’ yang _kesemsem_ kelihaian presentasinya. Bahkan di Cina yang sulit ditembus, dia mampu memukau 98 orang pemodal yang menyetor total dana USD 267,5 juta (Rp 3,745 triliun, atau lebih besar dari pendapatan Charles Ponzi). Maka julukan Ratu Kripto ( _Crypto Queen_) pun disandangnya. Namun begitu jejak busuknya tercium otoritas, Ruja menghilang. Betul-betul seperti lenyap ditelan bumi sampai sekarang kecuali jejak keberadaannya melalui sebuah apartemen supermewah senilai Rp 260-an miliar di London.
Jika kisah Nyonya Ignatova sudah menegangkan, Anda bersiaplah menghela napas lebih panjang karena ternyata masih ada lagi yang abusrd. Pelakunya tak tanggung-tanggung Bernie Madoff, mantan _Chairman_ NASDAQ, bursa saham prestisius yang beroperasi di New York dan salah satu paling bergengsi sedunia. Bernie yang wafat April tahun lalu dalam usia 83 tahun di penjara federal Butner, Carolina Utara, terbongkar melakukan penipuan bisnis Skema Ponzi dengan nilai fantastis USD 64,8 miliar (Rp 907,2 triliun) atau 16-17 kali lebih besar dari penipuan yang dilakukan Ruja Ignatova.
Jika kasus-kasus besar di atas mengerucut pada tiga nama, penyebabnya adalah karena model bisnis Skema Ponzi memang bertumpu pada kecerdasan dan karisma seorang individu. Ini yang membedakan dengan bisnis Skema Piramid. Model ini mengandalkan keterlibatan personel yang lebih banyak, yakni para _downline_ yang akan bekerja sama dengan para _upline_. Cara kerja bisnisnya mirip Skema Ponzi karena profit yang diperoleh para anggota sebetulnya adalah dari bergabungnya para anggota baru.
Terkadang bisnis Skema Piramid memiliki produk riil. Namun produk yang sering biasa-biasa saja itu—meski sering dipromosikan lebih baik dari produk serupa yang ada di pasar—juga dibandrol dengan harga premium dan hanya ditransaksikan di antara anggota dengan sistem piramid pula.
Bagi mereka yang berpikir kritis, bisnis Skema Piramid sudah tak masuk akal sejak awal. Anggaplah bisnis ini dimulai oleh 6 orang di level 1 dan masing-masing harus merekrut 6 orang juga. Maka pada level 2 sudah ada 36 orang. Dari algoritma itu maka pada level 3 sudah ada 216 orang. Berapa jumlah anggota pada level ke-13? Persis 13 miliar orang! Atau lebih tepatnya 13.060.694.016, jumlah yang musykil dicapai karena penduduk bumi pada tahun baru 2022 saja baru sejumlah 7,8 miliar jiwa. Itupun masih harus dikurangi anak-anak dan orang tua jompo yang sudah tidak bisa bekerja.
Bisnis-bisnis Skema Piramid juga mempunyai kasus-kasusnya sendiri. Biasanya tidak sedahsyat kasus Skema Ponzi karena para _downline_ umumnya tidak rewel. Mereka ‘ikhlas’ kehilangan dana investasi sebesar harga _starter kit_ atau produk awal lain. Jumlah itu kadang tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan jika harus melaporkan bolak-balik ke kantor polisi. Maka, banyak kasus-kasus Skema Piramid kalah pamor dengan Skema Ponzi. Kesamaannya: keduanya sama-sama _scam_ (penipuan) bukan _scheme_ (skema) bisnis yang sehat.
Bagaimana mengetahui dengan cepat sebuah bisnis menggunakan Skema Piramid? Praktisi keuangan Angga Andinata yang juga _influencer_ dan _YouTuber_ terdepan untuk tema ini menjelaskan ada beberapa ciri seperti (1) Leader berbaju motivator, karena fungsi leader hanya memotivasi anggota untuk mencari _downline_ baru sebanyak-banyaknya; (2) Flexing hasil bisnis dengan cara beda-beda tipis seperti yang dilakukan ‘crazy rich’. Selalu pamer, pamer, dan pamer; (3) Iming-iming mimpi ROI ( _Return On Investment_); (4) Bisnis sangat mudah dijalankan karena cuma ‘ajak-ajak’ calon member baru; (5) Keuntungan uang didapat dari member baru, bukan dari jualan produk yang hanya _gimmick_; (6) Prestasi member diukur dari berapa banyak jumlah _downline_ yang berhasil diajak, berapa banyak jumlah ‘kaki’ yang bisa dibangun; dan (7) Kadang-kadang menggunakan _endorser_ orang terkenal dari artis atau politisi.
Jika member kurang perform, biasanya para leader mengatakan bahwa mereka “kurang motivasi”, “kurang punya _dream_”, “kurang kerja keras dan kerja cerdas”, serta kurang-kurang lainnya. Kesalahan selalu pada _downline_ sementara para _upline_, para _leader_ dan _masterminds_ terus saja berpesta pora dan _flexing_ sana-sini. Tak ada bedanya dengan gaya para ‘sultan, king, dan juragan’, hanya dalam skala lebih kecil. Angga Andinata menyebut cara bisnis seperti ini sebagai “menjual jiwa kepada iblis”. (Lihat “Ponzi & Skema Piramida: Bongkar Skema Iblis Pemuja Uang”, Angga Andinata, 13 Maret 2022).
_*To the moon*_. Ternyata frasa ini bukan hanya impian para pemilik mata uang kripto, melainkan juga sudah menjadi tulang punggung cara kerja Skema Ponzi dan Skema Piramida. Sayang sekali jika generasi muda yang berusia 18-25 tahun, sudah direcoki cara bisnis “menjual jiwa kepada iblis”, tanpa memberikan kesempatan kepada mereka untuk banting tulang sesuai latar belakang pendidikan (yang lama ditempuh) atau filosofi pekerjaan yang harus dititi dan ditata dengan disiplin keras seperti para _crazy rich_ asli yang umumnya baru menikmati hidup di usia 40-50-an ke atas.
Perjalanan ke “bulan” memang bisa melenakan. Tetapi bisa juga menghancurkan para pemimpi jalan singkat kesuksesan yang dicekoki dengan kata-kata toksik seperti _passive income_ dan _financial freedom_ yang rentan terjerumus jadi _scam_.
Selamatkan generasi muda Indonesia dari cara berpikir hedon dan jalan singkat materialisme yang membuat potensi mereka sesungguhnya dibutuhkan dikerdilkan hanya menjadi para pengejar cuan. Mereka terlihat mentereng dalam penampilan, tetapi meminjam ucapan Rhenald Kasali, sebenarnya mereka tak lebih dari ‘ _useless generation_’.
SULTAN, KING, DAN JURAGAN (2)
SENYAMPANG di gerb;ang bulan suci Ramadhan, serial tulisan “Sultan, King, dan Juragan” kali ini menerehkan flexing di bidang keagamaan. Ingatan publik perlu disegarkan lagi bahwa flexing is signaling atau ‘cara pamer pesan tokcer’. Ada tiga jenis pesan yang biasanya ingin disampaikan yaitu: pengalaman, keahlian, dan pencapaian.
Ambil contoh seorang penggemar durian. Kemana pun dia berjalan, akan disempatkannya mencari durian lokal yang diharapkannya bisa membuat sensasi rasa terlontar ke awan. Yang dilakukannya tak hanya testing, juga flexing. Tujuannya agar publik tahu bahwa dia sudah mengalami sendiri rasa durian lokal tersebut, bukan menurut pendapat orang lain.
Contoh lain seorang profesional yang sering bertemu klien, biasanya akan memajang ijazah dan sertifikat di ruang kerja untuk menunjukkan dirinya kompeten. Entah dokter, pengacara, arsitek, atau penata rambut. Ini _signaling_ bertaut dengan keahlian yang patut.
Contoh berikutnya seorang penjelajah antartika, pendaki puncak dunia, atau penyelam dasar samudera, akan dengan bangga memamerkan lokasi di mana mereka berada. Ini signaling yang berhubungan pencapaian. Semua bentuk “flexing is signaling” ini sah sebagai teknik persuasi terselubung (covert persuation technique)
S-E-R-A-K-A-H. Ini ciri berikutnya setelah ‘eksploitasi konten (settingan)’ dan ‘pamer sedekah’ yang sudah diulas pada tulisan sebelumnya tentang karakter para ‘Sultan, King, dan Juragan’ abal-abal. Yang menyedihkan, kali ini terjadi di ranah agama yang sakral. Tragedi ‘Sultan & Sultanah Umroh’ yang kini dibui bukan satu-satunya kisah yang mencoreng wajah dunia dakwah. Ada lagi kisah tak kalah garang, bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Ini dilakukan seorang pemuka agama yang berkibar namanya selama dua dasawarsa.
Pemuka agama ini pun bergaya hidup bak ‘sultan, king, dan juragan’. Pada dirinya, terpantul pula ciri doyan ngonten dan pamer sedekah. Namun triknya berbeda. Jika para ‘sultan’ lain bersedekah memberikan uang atau paket sembako kepada kaum duafa, ‘Sultan Sedekah’ ini mempraktikkan sebaliknya: ‘menodong’ jamaah agar bersedekah saat dia berceramah. Dari menyetorkan uang, cincin, kalung, giwang, arloji, isi dompet, sampai kunci motor dan mobil. Tak jarang aksi nodong jamaah dilakukan di tengah siaran langsung televisi yang membuat jamaah lain di masjid atau penonton di rumah terheran-heran melihat kefasihan bicara ‘Sultan Sedekah’ yang sangat memikat seraya menukil ayat-ayat tentang ganjaran sedekah yang berlipat-lipat.
Ketika ditanya mengapa dia melakukan itu di sebuah acara talk show, jawabannya ringan. “Guru renang mengajarkan renang, guru senam mengajarkan senam. Saya mengajarkan ilmu sedekah, maka jamaah harus mempraktikkan sedekah.” Hmm.
‘Sultan Sedekah’ tersohor punya ambisi menggebu memperluas kerajaan bisnisnya yang terbentang dari sektor properti, tambang, portal pembayaran digital (e-money) untuk menyebut beberapa. Semua terlihat bisnis riil dengan produk nyata. Presentasi demi presentasi yang dilakukannya kepada jamaah di dalam dan luar negeri selalu tokcer menyedot dana. Iming-iming keuntungan yang dijanjikan ‘Sultan Sedekah’ membuat jamaah kian bergairah karena meluncur dari lisan pemuka agama super ramah.
Namun rencana hanya sebatas bertanam tebu di bibir. Manis terasa, sulit direalisir. Proyek-proyek propertinya mangkrak. Para ‘investor’—tak semuanya jamaah berduit, banyak jamaah kelas menengah ke bawah yang hidup sulit—tersentak. Jangankan keuntungan investasi yang tak dibayar sesuai janji, modal awal investasi pun susah ditarik kembali.
Proyek tambang “Sultan Sedekah” di luar Jawa pun macet. Para investor—kali ini kumpulan jamaah kaya raya dari sebuah masjid megah di sebuah pemukiman prestisius—kontan merepet. Dari seorang jamaah (investor) yang baru memasukkan gugatan, ‘Sultan Sedekah’ digugat Rp 98 triliun! Ya, ini bukan _typo_. Triliun, bukan miliar, Masbro.
Gugatan akan dimasukkan secara bergelombang oleh 15 _arranger_ (ketua kelompok) di mana seorang _arranger_ mewakili 1-100 orang investor dengan total investasi berkisar Rp. 400 juta sampai Rp. 5,6 miliar. Gugatan Rp 98 triliun itu adalah gebrakan yang diajukan oleh _arranger_ pertama. Masih akan ada rentetan gugatan lainnya dari _arranger_ lain karena mereka bergabung dalam sebuah _Task Force_ yang sudah sebal diombang-ambingkan selama 11 tahun terakhir.
Bagaimana cara memahami hubungan sosiologis ‘Sultan Sedekah’ dengan para jamaah yang satu ketika pernah begitu mesra—syahdan belasan orang perwakilan jamaah diberangkatkan ke tambang di pulau luar Jawa itu dan mendapat layanan akomodasi kelas satu—kini berubah menjadi konflik mengerikan seperti hubungan Rusia-Ukraina yang menderu-deru?
Mengapa para jamaah kaya raya begitu mudah percaya ucapan ‘Sultan Sedekah’ yang dalam perusahaan tambang itu menjabat sebagai Komisaris Utama?
Salah satu daya tariknya terletak pada skema sedekah yang dijadikan pilar utama pembagian keuntungan. Setiap kali investor mendapatkan keuntungan bulanan langsung dipecah menjadi tiga alokasi yaitu: sedekah untuk yayasan milik ‘Sultan Sedekah’, sedekah untu BMT masjid tempat para investor bernaung sebagai pengelola investasi–besaran persentase kedua sedekah ini sama pada kisaran 14+ persen—yang terakhir baru untuk keuntungan pribadi investor (porsi lebih kecil, sekitar 11+ persen).
Kalau Anda pikir pembagian keuntungan seperti itu pasti membuat calon investor mundur ambil langkah seribu, Anda keliru. Kosmologi berpikir jamaah yang bersih dalam _nawaitu_, membuat keuntungan material tak selalu bertengger di urutan satu.
Dengarlah bagaimana penuturan seorang arranger —ya, yang menggugat Rp 98 triliun itu—mengapa dia setuju menanamkan modal. “Setelah melihat lokasi tambang, bisnis ini sangat prospektif. Pembagian keuntungan yang menyertakan sedekah membuat keuntungan dunia didapat, keuntungan akhirat juga didapat,” ujarnya. “Pertimbangan ini yang membuat saya dan para jamaah mau beramai-ramai menyetor modal.”
See? Betapa mulianya kumpulan investor berhati berlian yang sulit ditemukan penjelasannya pada teori-teori investasi berbasis ekonomi murni. Mengingat kasus ini sedang bergulir di pengadilan, mari pindah ke penutup tulisan, tentang portal aplikasi pembayaran.
Tak bisa disangkal, nama dan karisma ‘Sultan Sedekah’ membuat portal pembayaran uang e-money miliknya sangat viral. Selain fungsi luas untuk bayar listrik, tagihan PAM, pulsa telepon dan internet, beli tiket pesawat dan kereta api, serta segudang kemudahan lain—jangan lupa, termasuk juga untuk, yes, sedekah nama portal pembayaran ini sangat nge-tren. Apalagi portal ini pun diposisikan sebagai pilihan umat. Maka, umat pun berduyun-duyun gunakan portal ini karena positioning yang makjleb.
Hari berganti, waktu berlalu. Diam-diam portal pembayaran sempoyongan. Bukan karena lonjakan konsumen dan pelanggan, melainkan mulai ditinggalkan konsumen setia—para jamaah. Lalu, sebuah berita mengejutkan meledak melalui somasi seorang karyawan perempuan yang mengaku sudah 20 bulan tak digaji oleh portal pembayaran kebanggaan ‘Sultan Sedekah’ yang sempat digadang-gadang sebagai ‘perusahaan manajemen investasi syariah pertama di Indonesia’ itu. Kabar ini mencemaskan. Bagaimana bisa ‘Sultan Sedekah’ tak bayar hak karyawan selama itu sementara ajaran yang disampaikannya adalah pesan Baginda Nabi yang sangat penting, “Bayarlah upah buruh sebelumnya keringatnya kering.”
Mundur sejenak ketika portal aplikasi pembayaran ini berdiri 3,5 tahun silam, target yang dibidik adalah 10 juta pelanggan dengan pengelolaan dana Rp 30 triliun per _bulan_. Angka yang membuat mata terbelalak? Bagi jamaah mungkin iya, tetapi bagi ‘Sultan Sedekah’ ternyata tak. Dengarkan bagaimana impiannya berlanjut. “Kalau kita berhasil kumpulkan 60 juta pengguna, kita bisa kelola dana sampai Rp 120 triliun. Itu masih kecil,” katanya. Whew!
Kini ‘Sultan Sedekah’ sudah bulat tekad melepaskan 100 persen saham miliknya di portal pembayaran itu. Apalagi setelah dana kelola per Februari 2022 tinggal Rp 1,6 miliar alias terjun bebas dari dana kelola periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 13 miliar. Bagaimana kelanjutannya? Just wait and see jurus apa lagi yang ditampilkan ‘Sultan Sedekah’ kali ini.
‘Ala kulli hal, semoga datangnya bulan suci mendinginkan semua yang panas menyengat, melancarkan semua yang mampat tersumbat. _Marhaban ya Ramadhan_. Selamat beribadah Ramadhan bagi pembaca yang menjalankan. Lupakan ambisi-keinginan menjadi ‘Sultan, King, dan Juragan’ jika jadikan orang lain sebagai korban pijakan. Sebab tak ada artinya kekayaan yang diperoleh dari menginjak-injak perikemanusiaan dan mencampakkan keadilan.
Oleh: Aisyah
Novelis