ERAMADANI.COM – Ekonom senior Indef Faisal Basri mengatakan cara mencegah perusakan ekonomi domestik kelompok kepentingan adalah dengan merawat demokrasi dan kebebasan sipil.
“Dengan demokrasi dan kontrol sipil yang kuat dan membuka ruang partisipasi rakyat, maka check and balance akan berjalan baik. Kesewenang-wenangan akan dapat dicegah bersama-sama,” katanya dalam acara diskusi publik Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dengan tema “Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Fondasi Ekonomi & Agenda Pembangunan di Indonesia”.
Faisal mengatakan investor asing cenderung hanya mengeksploitasi hasil sumber daya ekstraktif seperti sawit, batu bara, nikel, dan timah, yang menyebabkan rusaknya lingkungan di wilayah-wilayah penghasil bahan-bahan ekstraktif di Sulawesi dan Kalimantan.
Menurutnya, krisis yang terjadi sekarang berbeda dengan sebelumnya, misalnya depresi besar (The Great Depression) pada 1929-1939 yang dipicu oleh sektor keuangan. Saat ini, krisis dunia dipicu oleh krisis kesehatan berupa pandemi virus Covid-19.
“Dari krisis masa pandemi, prinsip yang benar adalah saving lives is saving the economy. Bukan semata disrupsi ekonomi dan kesehatan, melainkan meliputi hampir semua aspek kehidupan sosial, budaya, politik dan pertahanan,” katanya.
Menurut Faisal, penyembuhan dari krisis akibat pandemi Covid-19 harus menggunakan pola pikir baru, lintas disiplin, serta melibatkan semua kepentingan.
Pemerintah, kata dia, seharusnya mengatasi pandemi Covid-19 terlebih dahulu. Jika pandemi berhasil diatasi, lanjutnya, maka pemulihan ekonomi akan lebih mudah.
“Pandemi telah membuka ‘kotak Pandora’ yang ternyata membuktikan bahwa struktur ekonomi Indonesia memang rapuh,” katanya.
Selanjutnya, dia mengatakan mayoritas penduduk masih tidak merasa aman di mana ketimpangan cenderung meningkat. Bukan itu saja, value exraction kian dominan ketimbang value creation. Hal itu menyebabkan pertumbuhan produktivitas (total factor productivity) melambat bahkan mengalami penurunan.
Menurutnya, detak jantung ekonomi Indonesia semakin melemah. Dia mengatakan sejak sebelum pandemi Covid-19 melanda memang sudah lemah dan saat ini semakin melemah. Perbankan yang mengalami kondisi krisis dan belum mencapai pemulihan.
Saat ini, dia menilai perbankan tidak pernah lagi jadi agent of development. Dengan kredit perbankan yang lemah, pemerintah justru mengundang investasi seperti smelter yang 90 persen untungnya jelas mengalir ke Cina.
Adapun pada 6 Agustus lalu, OJK memaparkan intermediasi perbankan menunjukkan peningkatan dengan risiko kredit yang terjaga. Kredit perbankan pada bulan Juni 2021 meningkat sebesar Rp 67,39 triliun dari bulan sebelumnya, tumbuh positif 0,59 persen (yoy) atau 1,83 persen (ytd), meneruskan tren perbaikan dalam kuartal terakhir, disertai tingkat suku bunga kredit dengan tren menurun 43 basis poin dibandingkan dengan Maret 2021.
Dilansir dari tempo.co, kondisi ini sejalan dengan peningkatan kinerja ekonomi di triwulan II 2021. Dana Pihak Ketiga (DPK) masih mencatatkan pertumbuhan double digit sebesar 11,28 persen (yoy), seiring dengan kebijakan yang akomodatif di bidang fiskal dan quantitative easing di bidang moneter. Suku bunga deposito 1 bulan juga mengalami tren yang menurun dari 3,74 persen pada Maret 2021 menjadi 3,47 persen pada Juni 2021.