ERAMADANI.COM, JAKARTA – Pemerintah sempat blokir internet di Papua, yang berujung pada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan Presiden Joko Widodo dan Kementerian Komunikasi dan Informatika terbukti bersalah atas pemblokiran atau pelambatan koneksi internet di Papua pada pertengahan 2019.
Keduanya dinilai telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum karena pembatasan internet tersebut di beberapa wilayah di Papua.
Pemblokiran internet di Papua saat itu dilakukan pemerintah melalui Kemenkominfo menyusul pecahnya aksi unjuk rasa di beberapa wilayah seperti Fakfak, Sorong, Manokwari, dan Jayapura. Aksi demonstrasi besar-besaran itu kemudian berujung ricuh.
Pemerintah juga beralasan bahwa pemblokiran internet tersebut untuk membatasi konten provokasi yang bisa memicu kerusuhan.
Dilansir dari CNNIndonesia.com, kericuhan di Papua saat itu akibat aksi rasialisme terhadap sejumlah mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, medio Agustus 2019.
Saat itu, ratusan massa meneriaki mahasiswa asal Papua yang berada di dalam asrama dengan sebutan binatang.
Aksi demonstrasi disertai kericuhan terjadi terus menerus dan bergelombang di sejumlah wilayah Bumi Cendrawasih. Aksi demonstrasi dan kericuhan, menurut pemerintahan Jokowi, karena banyak beredar kabar bohong di Papua.
Pembatasan Askses Internet di Papua
Pada awalnya, pemerintah melakukan throttling atau pelambatan akses di beberapa daerah pada 19 Agustus 2019. Kebijakan tersebut dijalankan hanya melalui siaran pers.
Selanjutnya, pada 21 Agustus, pemerintah resmi melakukan pemblokiran internet di Bumi Cendrawasih. Akibat pemblokiran internet, warga Papua sempat membakar kantor Telkom Indonesia di Jayapura.
Selama itu pula, warga di puluhan kabupaten/kota Papua dan Papua Barat dibuat sulit dalam perekonomian dan keseharian karena tidak dapat mengakses internet.
Jaringan telekomunikasi semisal pesan singkat (SMS) dan telepon di Jayapura juga sempat terganggu. Saat itu, pihak Telkomsel menyebut bahwa layanan telepon dan SMS Telkomsel di Papua mengalami gangguan untuk sementara waktu pada 29 Agustus 2019.
Kemudian, pada 6 September 2019 pemerintah mulai kembali membuka akses internet di Papua. Namun, saat itu hanya dilakukan di beberapa wilayah Papua dan Papua Barat.
Pada saat itu, pemerintah bersikeras tidak akan mencabut pemblokiran di seluruh wilayah Papua guna meredam kabar bohong (hoaks), ujaran kebencian, dan provokasi di Papua.
Menteri Kominfo Rudiantara mengklaim mendapat kritikan bertubi-tubi atas pemblokiran internet di Papua. Namun, ia dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan bahwa pemblokiran tersebut wajib dilakukan atas nama keamanan nasional dan situasi darurat.
Meski tidak pernah mengumumkan mengenai pemblokiran akses internet secara langsung, saat itu Jokowi mengklaim kebijakan itu dilakukan untuk kepentingan bersama.
Kemudian, baru pada 11 September 2019 pukul 16.00 WIT, pemerintah melalui Kemenkominfo mencabut seluruh blokir akses internet di Papua dan Papua Barat.
Sejumlah Instansi Ajukan Gugutan ke PTUN
Atas kebijakan pemblokiran internet di Papua, sejumlah lembaga seperti South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Indonesia.
Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), LBH Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), KontraS, Elsam, dan ICJR menggugat Jokowi dan Kemenkominfo ke PTUN.
Gugatan itu dilayangkan ke PTUN pada 21 November 2019 dengan nomor gugatan 230/G/TF/2019/PTUN.JKT.
Gugutan yang mereka layang terkait pemblokiran internet di Papua, selama enam bulan kurang lebih, akhirnya di kabulkan oleh PTUN Jakarta.
Hakim Ketua Nelvy Christin bersama dua hakim anggota Baiq Yuliani dan Indah Mayasari memutuskan untuk mengabulkan gugatan para penggugat.
“Mengabulkan gugatan para tergugat untuk seluruhnya. Menyatakan perbuatan para tergugat adalah perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pemerintahan,” kata Hakim Nelvy saat membacakan putusan, Rabu (03/06/2020). (MYR)