Amman, Republika.co.id – Yordania dengan tegas mengecam undang-undang baru Israel yang melarang misi diplomatik asing beroperasi di Yerusalem Timur yang diduduki. UU kontroversial ini disahkan oleh Knesset (parlemen Israel) pada Selasa (29/10) dengan suara mayoritas, 29 berbanding 7.
Dalam pernyataan resmi, Kementerian Luar Negeri Yordania mengecam undang-undang tersebut sebagai upaya Israel untuk mengubah demografi dan status hukum wilayah Palestina yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur. Kementerian menegaskan bahwa semua tindakan Israel yang bertujuan mengubah status kota suci tersebut "batal demi hukum menurut hukum internasional."
Yordania mendesak Israel untuk menghentikan "pelanggaran terus-menerus terhadap status quo sejarah dan hukum di Yerusalem yang diduduki." Seruan ini dilontarkan di tengah eskalasi terbaru konflik Israel dengan Gaza, Lebanon, dan Tepi Barat.
"Semua langkah Israel untuk mencaplok Yerusalem Timur bertentangan dengan hukum internasional, resolusi Dewan Keamanan PBB, serta pendapat terbaru dari Mahkamah Internasional (ICJ) yang menegaskan bahwa keberadaan Israel di Gaza dan Tepi Barat merupakan pendudukan ilegal," tegas Kementerian Luar Negeri Yordania.
Undang-undang baru dari Knesset ini melarang negara asing membuka konsulat atau kantor perwakilan di Yerusalem Timur kecuali mereka terakreditasi ke Israel. Palestina, dengan dukungan konsensus internasional, melihat Yerusalem Timur sebagai ibu kota bagi negara Palestina yang diharapkan, sementara Israel mengklaim seluruh Yerusalem sebagai ibu kotanya.
Sebelumnya pada Juli, Mahkamah Internasional mengeluarkan pendapat hukum penting yang menyatakan bahwa pendudukan Israel selama puluhan tahun atas tanah Palestina adalah "ilegal" dan menuntut evakuasi semua pemukiman yang ada di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Malaysia Kutuk Keras UU Israel yang Melarang UNRWA
Malaysia juga ikut mengecam keras RUU Parlemen Israel (Knesset) yang melarang Badan Bantuan dan Pekerjaan untuk Pengungsi Palestina di Asia Barat (UNRWA) beroperasi di Wilayah Pendudukan Yerusalem, Tepi Barat dan Gaza.
Kementerian Luar Negeri Malaysia (Wisma Putra) dalam keterangan pers yang dikeluarkan di Putrajaya, Rabu, mengatakan bahwa Malaysia mengutuk tindakan itu sebagai serangan terang-terangan terhadap Badan PBB. Hal tersebut merupakan penghinaan serius terhadap komunitas internasional dan kehormatan lembaga kemanusiaan internasional.
Malaysia menegaskan kembali bahwa rezim Zionis Israel tidak memiliki kedaulatan atas Negara Palestina yang diduduki, termasuk Yerusalem, di mana kehadiran UNRWA diakui melalui perjanjian yang dibuat antara Palestina dan PBB.
Keterangan itu menyebutkan UNRWA didirikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan telah memainkan peran penting dalam menyediakan bantuan hidup bagi lebih dari 5,9 juta warga Palestina dan pengungsi Palestina di seluruh Timur Tengah. UNRWA memberikan layanan penting dalam pendidikan, layanan kesehatan dan bantuan kemanusiaan, terutama selama masa krisis konflik yang sedang berlangsung.
Wisma Putra menyebut apa yang tertuang dalam RUU tersebut bermaksud untuk melegalkan tindakan rezim Zionis Israel yang dengan sengaja dan jelas melanggar hukum internasional untuk menghilangkan UNRWA. Hal itu, menurut Wisma Putra, merupakan bagian dari strategi Israel untuk menolak hak rakyat Palestina untuk kembali ke tanah airnya sebagaimana didukung oleh Resolusi Majelis Umum PBB 194 dan juga sebagai strategi untuk menimbulkan kelaparan bagi mereka yang selamat dari bencana kemanusiaan dan genosida di Gaza.
Malaysia tetap teguh dalam komitmennya untuk mendukung UNRWA. Komunitas internasional harus mengambil tindakan tegas dan segera terhadap RUU itu demi melindungi UNRWA, dan juga mengakhiri genosida terhadap rakyat Palestina, tambahnya.
Dampak dan Implikasi UU Israel
UU baru ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan komunitas internasional. Para pengamat menilai bahwa UU ini merupakan langkah terbaru Israel untuk mengokohkan kontrolnya atas Yerusalem Timur dan melemahkan upaya internasional untuk mencapai solusi dua negara.
Pengesahan UU ini juga memicu kecaman dari berbagai negara dan organisasi internasional. PBB, Uni Eropa, dan negara-negara Arab mengecam keras tindakan Israel dan mendesak pencabutan UU tersebut.
Selain itu, UU ini juga berpotensi menghambat upaya diplomatik untuk mencapai perdamaian antara Israel dan Palestina. UU ini dianggap sebagai tindakan provokatif yang semakin memperumit situasi di lapangan.
Tantangan ke Depan
Tantangan utama yang dihadapi komunitas internasional adalah bagaimana merespon tindakan Israel yang dinilai melanggar hukum internasional.