Kisah wafatnya Nabi Adam, manusia pertama ciptaan Allah SWT, menyimpan sejumlah riwayat yang menarik dan sarat makna. Di balik kesedihan perpisahan, terdapat wasiat berharga yang diwariskan kepada putranya, Syits, sebuah legasi iman dan hikmah yang terus relevan hingga kini. Syits, yang artinya "anugerah Allah," merupakan putra Nabi Adam dan Hawa yang lahir setelah kehilangan Habil, sebuah karunia yang menghiasi kesedihan mereka. Keistimewaan Syits juga tercermin dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dzar dari Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah menurunkan seratus empat suhuf (lembaran). Sebanyak lima puluh suhuf diturunkan kepada Syits." (HR. Ibnu Hibban). Hadits ini menunjukkan tingkat keistimewaan Syits dalam menerima wahyu dan ilmu langsung dari Allah SWT.
Riwayat mengenai wasiat Nabi Adam kepada Syits di ujung hayatnya dipaparkan oleh beberapa ulama terkemuka. Ibnu Katsir, dalam kitabnya "Kisah Para Nabi," menukil pernyataan Muhammad bin Ishaq yang menjelaskan wasiat tersebut. Menurut riwayat ini, Nabi Adam mengajarkan Syits tentang perhitungan waktu, membedakan antara siang dan malam, serta menunjukkan waktu-waktu yang tepat untuk mengerjakan ibadah. Lebih dari itu, beliau juga memberikan peringatan tentang terjadinya bencana alam setelah wafatnya, sebuah tanda perubahan yang akan dihadapi generasi selanjutnya. Wafat Nabi Adam sendiri terjadi pada hari Jumat, diiringi oleh kehadiran malaikat yang membawa balsam dan kain kafan dari surga, sebuah tanda kehormatan dari Allah SWT bagi utusan-Nya. Anak-anak Nabi Adam bertakziah dan menyaksikan langsung wasiat ayah mereka kepada Syits sebagai putra yang dianggap paling layak menerima amanah tersebut.
Fenomena alam yang menyertai wafatnya Nabi Adam juga dijelaskan dalam riwayat ini. Ibnu Ishaq mengatakan bahwa terjadi gerhana matahari dan bulan selama tujuh hari tujuh malam. Peristiwa ini menunjukkan besarnya duka cita alam semesta atas kepergian manusia pertama tersebut. Kejadian ini juga bisa diinterpretasikan sebagai tanda kebesaran Allah SWT yang menunjukkan kesedihan alam atas kepergian hamba-Nya yang saleh. Gerhana matahari dan bulan yang berlangsung lama ini menunjukkan sebuah tanda yang luar biasa, mengingatkan kita akan kekuasaan Allah SWT dan keterbatasan manusia.
Riwayat lain mengenai wasiat Nabi Adam diungkapkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad. Ia menceritakan perkataan Hadbah bin Khalid yang mendengar dari Hammad bin Salamah, kemudian dari Hamid, Hasan, dan akhirnya dari Yahya bin Dhumrah as-Sa’di. Yahya mengatakan bahwa ia pernah mendengar seorang syekh di Madinah berceramah, yang kemudian diketahui adalah Ubay bin Ka’ab. Ubay bin Ka’ab menceritakan bahwa menjelang wafatnya, Nabi Adam menginginkan buah-buahan dari surga. Anak-anak Adam kemudian berusaha mencari buah-buahan tersebut untuk ayah mereka. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan para malaikat yang membawa balsam dan kain kafan. Menariknya, anak-anak Adam membawa kapak, pedang, dan golok, menunjukkan kesiapan mereka untuk berjuang mendapatkan apa yang diinginkan ayah mereka. Namun, para malaikat menjelaskan bahwa Nabi Adam telah mendapatkan karunia dari Allah SWT dan tidak perlu lagi mencari buah-buahan surgawi tersebut. Kisah ini menunjukkan keikhlasan anak-anak Adam dalam melayani ayah mereka dan kekuasaan Allah SWT yang melampaui segala upaya manusia.
Ibnu Katsir juga menyebutkan pernyataan Ibnu Asakir yang menyatakan bahwa setelah wafatnya Nabi Adam, Syits yang memikul tanggung jawab dan tugas kepemimpinan selanjutnya. Hal ini menunjukkan kepercayaan Nabi Adam kepada putranya dan kelanjutan amanah kenabian dan kepemimpinan dalam garis keturunan beliau. Syits mewarisi bukan hanya harta benda, tetapi juga tanggung jawab moral dan spiritual yang sangat besar. Ia dipercaya untuk meneruskan misi dakwah dan menjaga keturunan manusia agar tetap berpegang teguh pada ajaran Allah SWT.
Kesimpulannya, wasiat Nabi Adam kepada Syits bukan sekedar pesan perpisahan, tetapi merupakan warisan iman dan hikmah yang berharga. Wasiat tersebut mengajarkan tentang pentingnya mengetahui waktu, mengerjakan ibadah dengan benar, dan siap menghadapi cobaan hidup. Riwayat ini juga menunjukkan kebesaran Allah SWT yang menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya melalui fenomena alam yang menyertai wafatnya Nabi Adam. Lebih dari itu, kisah ini menginspirasi kita untuk selalu menghormati orang tua, menjalankan amanah yang diberikan, dan terus berpegang teguh pada ajaran agama. Wasiat Nabi Adam kepada Syits merupakan sebuah pengingat bahwa kehidupan dunia hanya sementara, sedangkan pahala dan amal saleh akan terus bermanfaat di akhirat. Oleh karena itu, kita perlu mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi hari kematian dan mewariskan legasi yang baik kepada generasi selanjutnya, seperti yang dilakukan Nabi Adam kepada Syits. Semoga kita semua dapat meneladani kehidupan dan wasiat Nabi Adam agar hidup kita bermakna dan bermanfaat bagi umat manusia. Wallahu a’lam.