Kematian, sebuah kepastian yang tak terelakkan bagi seluruh umat manusia. Tak seorang pun mengetahui kapan ajal akan menjemput, tak peduli usia, pangkat, atau kekayaan yang dimiliki. Al-Qur’an surah Al-Munafiqun ayat 11 menegaskan hal ini: "Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan." Ayat ini menggarisbawahi kekuasaan mutlak Allah SWT atas kehidupan dan kematian, sekaligus menjadi pengingat akan pentingnya amal perbuatan selama hidup di dunia.
Imam Syamsuddin Al-Qurthubi dalam kitabnya, At-Tadzkirah, memberikan penafsiran mendalam tentang kematian. Beliau menjelaskan bahwa kematian bukan sekadar ketiadaan fisik, melainkan terputusnya ikatan antara ruh dan jasad, berakhirnya hubungan antara keduanya, dan peralihan menuju alam baka. Proses ini, menurut ulama, merupakan peristiwa transendental yang menandai pergantian dimensi eksistensi.
Al-Qur’an juga menggambarkan kematian sebagai musibah terbesar, sebagaimana termaktub dalam surah Al-Maidah ayat 106. Ayat ini, meskipun secara tekstual membahas tentang kesaksian saat kematian, secara implisit mengungkapkan beratnya musibah yang dihadapi manusia saat menghadapi ajal. Proses ini membutuhkan kesiapan spiritual dan keimanan yang kokoh.
Namun, pengalaman sakaratul maut—proses menjelang kematian—tidaklah seragam bagi setiap individu. Perbedaan signifikan terjadi antara orang beriman dan orang kafir. Bagi orang kafir yang hidupnya dipenuhi maksiat, sakaratul maut digambarkan sebagai penderitaan dan rasa sakit yang luar biasa, meskipun secara kasat mata mungkin tidak tampak secara fisik. Allah SWT menggambarkannya dalam surah Al-Anfal ayat 50: "Seandainya engkau melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir sambil memukul wajah-wajah dan punggung-punggung mereka (dan berkata), "Rasakanlah olehmu siksa yang membakar," (niscaya engkau saksikan sesuatu yang sangat dahsyat)." Ayat ini melukiskan gambaran mengerikan tentang bagaimana malaikat Izrail mencabut nyawa orang kafir dengan penuh siksa dan penderitaan. Ini bukan sekadar kematian fisik, tetapi juga kematian spiritual yang diiringi azab yang pedih.
Sebaliknya, orang beriman yang hidupnya dijalani dengan ketaatan dan amal saleh akan merasakan kedamaian dan ketenangan saat menghadapi sakaratul maut. Allah SWT menggambarkannya dalam surah An-Nahl ayat 32: "(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan baik. Mereka (para malaikat) mengatakan, ‘Salāmun ‘alaikum (semoga keselamatan tercurah kepadamu). Masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kamu kerjakan.’" Ayat ini menggambarkan kematian orang beriman sebagai proses yang damai, diiringi salam dan sambutan hangat dari malaikat menuju surga sebagai balasan atas amal perbuatan mereka selama hidup. Kehadiran malaikat bukan lagi sebagai pencabut nyawa yang menakutkan, melainkan sebagai pembawa kabar gembira menuju kehidupan abadi yang penuh kebahagiaan.
Sebuah riwayat yang dicatat oleh Almas Abyan al-Fatih dalam bukunya Surat Yaasiin, Al-Waqi’ah, Al-Mulk dan Al-Kahfi menceritakan pertemuan Nabi Ibrahim AS dengan Malaikat Maut. Dalam riwayat ini, Nabi Ibrahim AS penasaran dan ingin mengetahui wujud Malaikat Maut saat mencabut nyawa orang yang berakhlak buruk dan gemar berbuat maksiat. Malaikat Maut memperingatkan Nabi Ibrahim AS bahwa beliau mungkin tidak akan sanggup melihatnya. Namun, keinginan Nabi Ibrahim AS yang kuat untuk mengetahui kebenaran mendorong Malaikat Maut untuk memperlihatkan wujudnya.
Setelah disuruh membalikkan badan, Nabi Ibrahim AS melihat sosok yang sangat mengerikan: seorang lelaki berkulit hitam pekat, rambut berdiri tegak, berbau busuk menusuk hidung, dengan api dan asap keluar dari mulut dan hidungnya. Wujud yang begitu dahsyat membuat Nabi Ibrahim AS pingsan. Setelah sadar, beliau menyadari bahwa Malaikat Maut telah kembali ke wujud aslinya. Nabi Ibrahim AS berseru, "Wahai Malaikat Maut, seumpama orang yang tercela dan suka berbuat maksiat itu hanya melihat wajahmu ketika sakaratul maut, pasti hal itu sudah sangat menakutkan baginya."
Selanjutnya, Nabi Ibrahim AS ingin melihat wujud Malaikat Maut saat mencabut nyawa orang beriman dan beramal saleh. Sekali lagi, beliau disuruh membalikkan badan. Kali ini, yang terlihat adalah sosok yang sangat berbeda: seorang yang berwajah tampan, berbusana indah, dan beraroma harum semerbak. Nabi Ibrahim AS berkata, "Malaikat Maut, seandainya seorang yang beriman dan beramal kebajikan hanya bisa melihatmu ketika akan meninggal dunia, maka hal itu sudah cukup membahagiakan dirinya."
Meskipun orang beriman mendapatkan keringanan dari Allah SWT dalam menghadapi sakaratul maut, Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah hadis riwayat Ahmad bahwa sakaratul maut tetap merupakan pengalaman yang sangat berat dan menyakitkan: "Tidak ada sesuatu yang dialami oleh anak Adam dari sesuatu yang diciptakan oleh Allah yang lebih berat daripada kematian." Hadis ini menekankan bahwa meskipun ada perbedaan pengalaman sakaratul maut antara orang beriman dan kafir, kematian tetap merupakan ujian yang berat bagi setiap manusia.
Kesimpulannya, Al-Qur’an dan hadis memberikan gambaran yang kontras tentang sakaratul maut bagi orang beriman dan orang kafir. Bagi orang beriman, kematian menjadi pintu gerbang menuju surga yang diiringi kedamaian dan kebahagiaan. Sebaliknya, bagi orang kafir yang gemar berbuat maksiat, kematian menjadi pengalaman penuh siksa dan penderitaan. Perbedaan ini menekankan pentingnya keimanan dan amal saleh sebagai bekal menghadapi kematian dan kehidupan akhirat. Meskipun beratnya sakaratul maut tetap diakui, keimanan yang kuat akan memberikan kekuatan dan ketenangan dalam menghadapi ujian terakhir ini. Wallahu a’lam bishawab.