Jakarta – Sejarah kenabian Nabi Muhammad SAW, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan hadis, merupakan perjalanan panjang penerimaan wahyu ilahi yang diturunkan secara bertahap. Proses ini dimulai dengan surah Al-Alaq ayat 1-5, menandai titik awal tugas suci beliau sebagai utusan Allah SWT. Volume wahyu yang diterima pun bervariasi; kadang hanya lima atau sepuluh ayat, namun ada pula surah lengkap yang turun sekaligus, seperti Al-Fatihah, Al-Ikhlas, dan Al-Falaq. Namun, di antara ribuan ayat suci yang membentuk Al-Qur’an, satu ayat memiliki signifikansi khusus: ayat terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Berdasarkan berbagai sumber literatur keagamaan, seperti buku "Al-Qur’an Hadis" karya Drs. Abd Wadud dan "Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia" oleh M. Ali Imron, ayat terakhir yang diterima Rasulullah SAW adalah Al-Maidah ayat 3. Ayat ini turun beberapa bulan sebelum wafatnya Nabi Muhammad SAW pada usia 63 tahun, tepatnya pada hari Jumat, 9 Zulhijjah 10 Hijriyah, bertepatan dengan 16 Maret 632 Masehi. Lokasinya pun sarat makna: Arafah, tempat suci di mana Nabi SAW sedang melaksanakan Haji Wada, haji perpisahan yang menjadi momen perjumpaan terakhir beliau dengan jutaan umatnya.
Penentuan tanggal 9 Zulhijjah 10 H sebagai waktu turunnya wahyu ini bukanlah sekadar penanggalan historis. Ia menandai sebuah puncak, titik kulminasi dari perjalanan risalah kenabian yang telah berlangsung selama lebih dari dua dekade. Haji Wada sendiri merupakan peristiwa monumental dalam sejarah Islam. Di hadapan lautan manusia yang berkumpul di Arafah, Nabi Muhammad SAW menyampaikan khotbah perpisahan yang menggetarkan, menetapkan pedoman hidup bagi umat Islam hingga akhir zaman. Turunnya wahyu Al-Maidah ayat 3 dalam konteks ini semakin memperkuat makna dan pesan yang terkandung di dalamnya.
Ayat Al-Maidah ayat 3 sendiri berbunyi:
"حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَىٰ نُصُبٍ وَمَا أَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۚ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنْ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ"
Terjemahannya: "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang (sempat) kamu sembelih. (Diharamkan pula) apa yang disembelih untuk berhala. (Demikian pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Oleh sebab itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini mengandung beberapa pesan penting yang saling berkaitan. Pertama, ayat ini menjelaskan sejumlah hal yang diharamkan dalam Islam, terutama berkaitan dengan konsumsi makanan dari hewan yang mati secara tidak wajar atau disembelih untuk selain Allah SWT. Ini menunjukkan kepedulian Islam terhadap kesehatan dan etika konsumsi. Kedua, ayat ini menegaskan larangan mengundi nasib dengan cara-cara yang tidak adil dan bergantung pada takdir semata, mengajarkan pentingnya perencanaan dan usaha dalam kehidupan.
Namun, pesan yang paling monumental dalam ayat ini adalah pengumuman penyempurnaan agama Islam. Frasa "الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ" (Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu) merupakan penegasan ilahi atas kesempurnaan ajaran Islam sebagai agama yang lengkap dan sempurna bagi seluruh umat manusia. Ini bukan sekadar penyempurnaan ritual, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dari ibadah hingga muamalah. Penyempurnaan ini juga diiringi dengan "وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي" (telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu) dan "وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا" (dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu), menunjukkan kepuasan Allah SWT terhadap agama yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Turunnya ayat ini di Arafah, di tengah pelaksanaan Haji Wada, memberikan konteks yang sangat penting. Haji Wada merupakan kesempatan terakhir Nabi Muhammad SAW untuk berinteraksi langsung dengan sebagian besar umatnya. Dalam khotbahnya, beliau menyampaikan pesan-pesan penting tentang persatuan, keadilan, dan keimanan. Turunnya Al-Maidah ayat 3 pada momen ini seolah menegaskan dan memperkuat pesan-pesan tersebut, menjadikan Haji Wada sebagai penutup sempurna dari perjalanan dakwah beliau.
Reaksi sahabat Nabi SAW terhadap turunnya ayat ini pun menunjukkan betapa pentingnya ayat ini bagi umat Islam. Umar bin Khattab, salah satu sahabat terdekat Rasulullah SAW, menangis haru setelah mendengar ayat tersebut. Ketika ditanya oleh Nabi SAW, Umar menjawab, "Sesuatu yang sudah sempurna tidak ada yang ditunggu lagi kecuali kurangnya." Nabi SAW pun membenarkan pernyataan tersebut. Tangisan Umar ini merefleksikan perasaan seluruh umat Islam yang merasakan kedatangan wahyu terakhir sebagai penanda kesempurnaan agama dan sekaligus kesedihan akan berakhirnya periode wahyu.
Secara historis, wafatnya Nabi Muhammad SAW 81 hari setelah turunnya Al-Maidah ayat 3 menambahkan lapisan makna yang mendalam. Ayat ini seakan menjadi wasiat terakhir Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh umatnya, sebuah pesan penyempurnaan dan pengokohan ajaran Islam yang akan terus dipegang teguh oleh umat Islam sepanjang masa. Periode pasca-wahyu ini menandai dimulainya era baru bagi umat Islam, era di mana mereka harus mengamalkan dan menyebarkan ajaran Islam berdasarkan pemahaman yang benar dan komprehensif.
Ayat Al-Maidah ayat 3 juga menunjukkan sifat rahmat dan pengampunan Allah SWT. Ayat terakhir ini diakhiri dengan penegasan bahwa siapapun yang terpaksa memakan makanan yang diharamkan karena keadaan darurat (kelaparan) tanpa niat berbuat dosa, akan mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang penuh kasih sayang dan memahami kondisi manusia yang lemah.
Kesimpulannya, turunnya wahyu terakhir, Al-Maidah ayat 3, di Arafah saat Haji Wada merupakan peristiwa yang sangat penting dalam sejarah Islam. Ayat ini bukan hanya menandai berakhirnya periode wahyu, tetapi juga menegaskan kesempurnaan agama Islam, mencukupkan nikmat Allah SWT kepada umat manusia, dan menunjukkan sifat rahmat dan pengampunan-Nya. Peristiwa ini menjadi peringatan bagi umat Islam untuk senantiasa mengamalkan ajaran Islam secara kaffah dan menjaga keutuhan agama yang telah disempurnakan oleh Allah SWT. Ia juga menjadi pengingat akan pentingnya persatuan dan keimanan yang kokoh, sebagaimana yang dipesankan oleh Nabi Muhammad SAW dalam khotbah Haji Wadanya. Al-Maidah ayat 3, dengan demikian, merupakan titik puncak dari risalah kenabian yang menandai kesempurnaan dan kekokohan ajaran Islam.