Jakarta, 15 Januari 2025 – Menjelang Ramadan 2025 yang jatuh pada bulan Maret, wacana libur sekolah selama satu bulan penuh kembali mengemuka dan memicu perdebatan di berbagai kalangan. Usulan ini, yang sebelumnya dilontarkan oleh Wakil Menteri Agama, Romo Muhammad Syafi’i, kini tengah dikaji secara intensif oleh pemerintah. Meskipun belum ada keputusan final, perbincangan ini telah memunculkan beragam pandangan dan opsi yang perlu dipertimbangkan secara matang.
Romo Syafi’i, dalam keterangannya kepada wartawan usai rapat bersama Komisi VIII DPR pada 30 Desember 2024, mengakui adanya wacana tersebut, namun menekankan bahwa belum masuk dalam agenda resmi pemerintah. Pernyataan ini membuka ruang bagi diskusi lebih lanjut dan mengindikasikan perlunya koordinasi antar kementerian terkait.
Proses pengambilan keputusan mengenai libur sekolah selama Ramadan 2025 akan melibatkan tiga kementerian kunci: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Agama (Kemenag), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa pembahasan bersama ketiga kementerian tersebut akan segera dilakukan untuk mencapai kesepakatan. Beliau menegaskan bahwa keputusan final akan diumumkan setelah rapat gabungan yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat. Hal ini dilakukan untuk memastikan keselarasan kebijakan antara sekolah umum dan madrasah, sehingga tercipta keseragaman dalam pelaksanaan libur Ramadan.
Mu’ti menekankan pentingnya pertimbangan aspirasi masyarakat dalam pengambilan keputusan ini. Ia mengungkapkan setidaknya terdapat tiga usulan utama yang muncul dari publik terkait libur sekolah selama Ramadan:
Pertama, usulan libur sekolah selama satu bulan penuh. Selama periode tersebut, anak-anak diharapkan dapat mengikuti kegiatan keagamaan yang diselenggarakan di lingkungan masyarakat, memberikan kesempatan untuk lebih fokus pada ibadah dan penghayatan nilai-nilai Ramadan. Usulan ini sejalan dengan praktik yang sudah lazim di pondok pesantren (ponpes), di mana santri umumnya mendapatkan libur selama satu bulan penuh di bulan Ramadan.
Kedua, usulan libur sebagian. Opsi ini mengusulkan libur hanya pada beberapa hari menjelang dan selama awal Ramadan, serta beberapa hari menjelang Idul Fitri. Skema ini merupakan penyesuaian dari praktik yang sudah berjalan, dimana beberapa hari libur diberikan di awal dan akhir bulan Ramadan. Model ini dianggap sebagai kompromi antara kebutuhan keagamaan dan kelancaran proses belajar mengajar.
Ketiga, tidak ada libur sama sekali selama Ramadan. Opsi ini menganggap bahwa proses belajar mengajar harus tetap berjalan meski di bulan Ramadan, dengan penyesuaian jam belajar atau metode pembelajaran yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi kebutuhan ibadah siswa.
Ketiga usulan ini, menurut Mu’ti, akan dipertimbangkan secara saksama dalam rapat lintas kementerian. Proses pengambilan keputusan diharapkan memperhatikan berbagai aspek, termasuk dampak terhadap proses pendidikan, kebutuhan keagamaan masyarakat, dan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan keagamaan selama libur.
Sementara itu, Menteri Agama, Nasaruddin Umar, mengungkapkan bahwa libur selama satu bulan penuh selama Ramadan sudah menjadi praktik umum di pondok pesantren. Namun, beliau menegaskan bahwa wacana serupa untuk sekolah umum masih dalam tahap perencanaan dan akan diumumkan lebih lanjut setelah melalui proses pembahasan yang komprehensif. Menag menekankan bahwa yang terpenting selama Ramadan adalah kualitas ibadah, bukan sekadar adanya libur sekolah atau tidak. Beliau berharap, baik siswa yang libur maupun yang tetap sekolah, dapat memaksimalkan bulan Ramadan untuk meningkatkan kualitas ibadah dan penghayatan spiritual.
Perdebatan mengenai wacana libur sekolah satu bulan selama Ramadan 2025 menunjukkan kompleksitas dalam menyeimbangkan kebutuhan pendidikan dan kebutuhan keagamaan. Pengambilan keputusan harus mempertimbangkan berbagai faktor dan melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk orang tua, guru, dan siswa sendiri. Proses yang transparan dan partisipatif akan menghasilkan keputusan yang lebih akomodatif dan dapat diterima oleh semua pihak.
Selain itu, perlu dipertimbangkan juga dampak sosial ekonomi dari kebijakan libur sekolah ini. Libur satu bulan penuh dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi di beberapa daerah, khususnya yang tergantung pada aktivitas sekolah dan siswa. Oleh karena itu, dampak ekonomi juga perlu dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan.
Lebih lanjut, implementasi kebijakan libur sekolah juga perlu direncanakan dengan matang. Jika diputuskan untuk memberikan libur selama satu bulan penuh, perlu ada program yang terstruktur untuk mengarahkan aktivitas siswa selama libur, sehingga libur tidak hanya menjadi waktu untuk bermain-main tetapi juga untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka. Program ini dapat berupa kegiatan keagamaan, kegiatan sosial, atau kegiatan lainnya yang bermanfaat bagi perkembangan siswa.
Kesimpulannya, wacana libur sekolah satu bulan selama Ramadan 2025 merupakan isu yang kompleks dan memerlukan pertimbangan yang cermat dari berbagai aspek. Pemerintah diharapkan dapat mengambil keputusan yang bijak dan mendukung terciptanya keseimbangan antara kebutuhan pendidikan dan kebutuhan keagamaan masyarakat. Transparansi dan partisipasi aktif dari semua pihak sangat diperlukan untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh semua kalangan. Proses pengambilan keputusan ini tidak hanya berdampak pada siswa dan sekolah, tetapi juga pada masyarakat luas, sehingga perlu dilakukan dengan teliti dan mempertimbangkan semua aspek yang relevan.