Jakarta, 27 Februari 2025 – Wacana perubahan Badan Penyelenggara Haji dan Umrah (BPJHU) menjadi Kementerian Haji tengah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Berbagai kalangan memberikan tanggapan, baik pro maupun kontra, terhadap usulan yang dinilai akan berdampak signifikan terhadap penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia. Menanggapi hal ini, Kepala BPJHU, Mochamad Irfan Yusuf, menyatakan kesiapan lembaganya untuk menjalankan amanat, terlepas dari bentuk kelembagaan yang akhirnya diputuskan.
"Bagi kami, apapun bentuknya, Kementerian Haji ataupun tetap sebagai Badan, kami akan siap melaksanakan tugas dan tanggung jawab kami," tegas Gus Irfan, sapaan akrab Kepala BPJHU, usai menghadiri acara Media Gathering BPJHU di Gedung Kementerian Agama RI, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2025).
Pernyataan tersebut disampaikan Gus Irfan sebagai respons atas wacana yang tengah bergulir di parlemen terkait revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Revisi UU ini, di antara poin-poin lainnya, mempertimbangkan perubahan status BPJHU menjadi Kementerian Haji. Argumentasi yang mendukung perubahan ini beragam, namun inti dari sebagian besar argumen tersebut mengarah pada peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan ibadah haji.
Pendukung perubahan status menjadi Kementerian berargumen bahwa dengan status kementerian, BPJHU akan memiliki kewenangan dan akses yang lebih luas, termasuk dalam hal penganggaran, koordinasi antar kementerian/lembaga, dan pengambilan keputusan strategis. Mereka berpendapat bahwa hal ini akan mempermudah proses penyelenggaraan ibadah haji yang kompleks dan melibatkan banyak pihak, baik di dalam maupun luar negeri.
Namun, ada pula pihak yang berpendapat bahwa status Badan lebih tepat, mengingat sifat BPJHU yang lebih operasional dan teknis. Mereka khawatir, jika berubah menjadi Kementerian, BPJHU akan terbebani oleh birokrasi yang lebih rumit dan berpotensi menghambat kinerja.
Gus Irfan sendiri, dalam keterangannya, menyatakan menerima apapun hasil akhir revisi UU tersebut. Ia menekankan bahwa komitmen BPJHU adalah untuk senantiasa memberikan pelayanan terbaik bagi jemaah haji Indonesia. "Walaupun memang kalau Kementerian Haji akan lebih luas atau lebih ringan kita bergerak ke sana ke sini, tapi kalau tetap perlu Badan Haji kita juga akan siap saja," ujarnya.
Lebih lanjut, Gus Irfan menjelaskan bahwa revisi UU Nomor 8 Tahun 2019 ini sejalan dengan harapan Presiden Prabowo Subianto. Presiden, menurut Gus Irfan, menginginkan BPJHU sebagai otoritas tunggal penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia. "Revisi ini bisa mewujudkan harapan dari Presiden tentang badan haji ini, di mana Presiden berharap bahwa badan haji ini menjadi satu-satunya otoritas tunggal pelaksanaan ibadah haji untuk Indonesia," tegasnya.
Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya peran BPJHU dalam penyelenggaraan ibadah haji dan menunjukkan dukungan pemerintah terhadap optimalisasi kinerja lembaga tersebut, terlepas dari bentuk kelembagaannya. Status otoritas tunggal yang diharapkan Presiden mengindikasikan keinginan untuk menyederhanakan proses dan meningkatkan koordinasi dalam penyelenggaraan ibadah haji, sehingga diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal dan terintegrasi bagi jemaah.
Perubahan status BPJHU menjadi Kementerian Haji, jika disetujui, akan berdampak luas pada struktur organisasi, sistem kerja, dan mekanisme pengambilan keputusan. Hal ini akan membutuhkan penyesuaian dan adaptasi yang signifikan dari seluruh pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Namun, komitmen BPJHU untuk siap menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, apapun bentuk kelembagaannya, menunjukkan kesiapan lembaga tersebut untuk menghadapi perubahan dan tantangan yang ada. Hal ini penting untuk memastikan kelancaran dan keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji di masa mendatang.
Lebih jauh, perlu dikaji secara mendalam implikasi dari perubahan status tersebut terhadap berbagai aspek, diantaranya:
-
Anggaran: Perubahan status akan berdampak pada mekanisme penganggaran. Sebagai Kementerian, BPJHU akan memiliki akses yang lebih luas terhadap anggaran negara, namun juga akan terikat pada prosedur dan mekanisme penganggaran yang lebih ketat. Sebagai Badan, mekanisme penganggaran mungkin lebih fleksibel, namun potensinya terbatas pada anggaran yang dialokasikan.
-
Kinerja dan Efisiensi: Perubahan status berpotensi meningkatkan kinerja dan efisiensi, khususnya jika Kementerian Haji memiliki kewenangan yang lebih luas dan terintegrasi. Namun, juga berpotensi menimbulkan birokrasi yang lebih rumit dan menghambat proses pengambilan keputusan.
-
Koordinasi Antar Lembaga: Sebagai Kementerian, BPJHU akan memiliki posisi yang lebih kuat dalam berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait, baik dalam negeri maupun luar negeri. Namun, hal ini juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan atau tumpang tindih kewenangan.
-
Akuntabilitas dan Transparansi: Perubahan status akan berdampak pada mekanisme akuntabilitas dan transparansi. Sebagai Kementerian, BPJHU akan lebih terikat pada aturan dan mekanisme pengawasan yang lebih ketat. Namun, hal ini juga berpotensi menimbulkan hambatan dalam pengambilan keputusan yang cepat dan efektif.
-
Sumber Daya Manusia: Perubahan status akan membutuhkan penyesuaian dan pengembangan sumber daya manusia. Kementerian Haji akan membutuhkan tenaga ahli dan profesional yang mampu mengelola lembaga yang lebih besar dan kompleks.
Kesimpulannya, wacana perubahan BPJHU menjadi Kementerian Haji merupakan isu yang kompleks dan memerlukan kajian yang komprehensif. Meskipun BPJHU telah menyatakan kesiapannya untuk menjalankan tugas apapun bentuk kelembagaannya, perlu dipertimbangkan secara matang implikasi dari perubahan tersebut terhadap berbagai aspek penyelenggaraan ibadah haji. Proses revisi UU Nomor 8 Tahun 2019 harus dilakukan secara transparan dan partisipatif, dengan melibatkan berbagai pihak terkait, untuk memastikan keputusan yang diambil merupakan yang terbaik bagi kepentingan jemaah haji Indonesia. Kesiapan BPJHU menjadi penanda penting, namun kajian mendalam dan pertimbangan yang matang tetap menjadi kunci keberhasilan reformasi penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia.