Jakarta, 3 Januari 2025 – Rencana pemerintah untuk mengembalikan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2026 memicu beragam respons, termasuk dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, dalam wawancara di Gedung PBNU Jakarta, Jumat (3/1/2025), menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan tersebut. Ia menekankan perlunya diskusi publik yang komprehensif sebelum keputusan final diambil.
"Sejauh ini, saya kira masyarakat masih belum cukup mendengar atau dilibatkan dalam diskusi mengenai seluk-beluk gagasan mengenai kebijakan ujian nasional ini," ujar Gus Yahya. Pernyataan ini menggarisbawahi kekhawatiran akan potensi kebijakan yang terkesan dipaksakan tanpa mempertimbangkan aspirasi dan masukan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk para praktisi pendidikan, orang tua murid, dan tentu saja para siswa. Ketiadaan transparansi dan partisipasi publik yang memadai berpotensi melahirkan kebijakan yang kurang efektif dan bahkan kontraproduktif.
Lebih jauh, Gus Yahya menghubungkan wacana kembalinya UN dengan tantangan integrasi sistem pendidikan Indonesia ke dalam standar internasional. Pengalaman NU dalam mengelola madrasah aliyah, baik negeri maupun swasta, menjadi rujukan penting dalam analisisnya. Ia menyoroti disparitas kualitas lulusan madrasah aliyah yang menjadi kendala ketika mereka ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi luar negeri, termasuk di universitas bergengsi seperti Al-Azhar di Mesir.
"Lulusan-lulusan madrasah aliyah kita ini ketika mendaftar ke universitas-universitas internasional atau di luar negeri seperti Al-Azhar misalnya, itu kita masih harus mengejar standarnya saja," ungkap Gus Yahya. Pernyataan ini mengungkap realitas yang perlu mendapat perhatian serius. Ketimpangan kualitas lulusan pendidikan di Indonesia, khususnya antara sekolah umum dan madrasah, menunjukkan adanya celah yang perlu diatasi agar daya saing lulusan Indonesia di kancah global meningkat. UN, menurut Gus Yahya, berpotensi menjadi instrumen untuk mengatasi disparitas ini dan meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Namun, Gus Yahya tidak sekadar mendukung pemulihan UN secara tanpa syarat. Ia menekankan pentingnya merumuskan bentuk UN yang tepat dan efektif, yang mampu menjawab tantangan globalisasi dan meningkatkan daya saing lulusan Indonesia. Ia menyarankan agar kebijakan ini dirancang dengan cermat, mempertimbangkan berbagai aspek, dan tidak hanya berfokus pada aspek teknis ujian semata.
"Saya kira hal-hal ini mungkin menjadi pertimbangan ketika berpikir tentang perlunya Ujian Nasional sedemikian rupa sehingga sistem pendidikan kita ini lebih terintegrasi dengan sistem pendidikan global yang sekarang berkembang di seluruh dunia," jelasnya. "Cuma nanti bentuknya seperti apa, nah itu tentu membutuhkan pengelolaan-pengelolaan lebih lanjut," tambahnya. Pernyataan ini menunjukkan sikap yang bijak dan pragmatis dari Gus Yahya, yang tidak hanya melihat potensi positif UN, tetapi juga menyadari kompleksitas implementasinya dan perlunya perencanaan yang matang.
Wacana pengembalian UN ini sejalan dengan rencana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang tengah melakukan kajian mendalam terkait hal tersebut. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Abdul Mu’ti, sebagaimana dikutip dari detikEdu, menjelaskan bahwa UN ke depan akan difungsikan sebagai alat pemetaan mutu peserta didik. Data yang diperoleh dari UN diharapkan dapat menjadi acuan penting dalam proses penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi, memastikan seleksi yang lebih adil dan objektif.
Namun, penggunaan UN sebagai alat pemetaan mutu peserta didik perlu dikaji secara kritis. Penggunaan UN semata-mata sebagai alat seleksi perguruan tinggi berpotensi memicu kembali budaya belajar yang terfokus pada menghafal dan mengejar nilai ujian, mengabaikan aspek pengembangan kreativitas, kritisitas, dan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal ini dapat berdampak negatif pada kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Oleh karena itu, perlu adanya jaminan bahwa UN yang akan diterapkan nanti tidak akan mengulang kesalahan masa lalu. Sistem penilaian harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu mengukur kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah, bukan hanya kemampuan menghafal. Integrasi dengan teknologi informasi juga perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi proses penilaian.
Lebih jauh, perlu dipertimbangkan pula dampak sosial ekonomi dari kebijakan ini. Kembalinya UN berpotensi meningkatkan beban belajar siswa dan guru, serta meningkatkan biaya pendidikan, khususnya bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Pemerintah perlu menyiapkan strategi mitigasi untuk meminimalisir dampak negatif ini, misalnya dengan menyediakan akses yang lebih luas terhadap bimbingan belajar dan sumber belajar yang berkualitas.
Selain itu, perlu dikaji pula dampaknya terhadap sistem pendidikan di daerah terpencil dan tertinggal. Aksesibilitas terhadap teknologi dan sumber daya pendidikan yang terbatas di daerah-daerah tersebut dapat menjadi kendala dalam pelaksanaan UN. Pemerintah perlu memastikan bahwa pelaksanaan UN tidak memperparah kesenjangan pendidikan antara daerah maju dan daerah tertinggal.
Partisipasi publik dalam perumusan kebijakan UN sangat krusial. Pemerintah perlu melibatkan berbagai pihak, termasuk para ahli pendidikan, guru, orang tua murid, dan organisasi masyarakat, dalam diskusi dan perumusan kebijakan. Transparansi dan keterbukaan informasi juga penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan komprehensif.
Kesimpulannya, wacana kembalinya Ujian Nasional merupakan isu yang kompleks dan multidimensi. Meskipun UN berpotensi meningkatkan kualitas pendidikan dan integrasi dengan standar internasional, implementasinya memerlukan perencanaan yang matang dan partisipasi publik yang aktif. Pemerintah perlu memastikan bahwa UN yang akan diterapkan nanti tidak hanya efektif dalam pemetaan mutu peserta didik, tetapi juga mampu mendorong pengembangan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah, serta memperhatikan aspek keadilan dan kesetaraan akses pendidikan bagi seluruh siswa di Indonesia. Perhatian terhadap potensi dampak negatif, baik secara akademis maupun sosial ekonomi, juga perlu menjadi prioritas utama dalam perumusan kebijakan ini. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan partisipatif, wacana kembalinya UN dapat menjadi solusi yang efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional.