Jakarta, 7 November 2024 – Donald Trump, dalam sebuah kemenangan mengejutkan, kembali terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat untuk masa jabatan kedua. Kemenangan ini diiringi sorotan tajam terhadap dukungan signifikan yang diperolehnya dari komunitas Muslim Amerika.
Dalam pidato kemenangannya, Trump secara eksplisit mengucapkan terima kasih kepada Muslim Amerika, menyebut mereka sebagai bagian integral dari koalisi pemenangnya. "Mereka datang dari seluruh penjuru, serikat, non-serikat, Afrika Amerika, Hispanik Amerika, Asia Amerika, Arab Amerika, Muslim Amerika. Kami memiliki semuanya," tegas Trump, seperti dilansir CNN.
Kemenangan Trump ini memicu beragam reaksi, terutama dari Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR). Nihad Awad, Direktur Eksekutif Nasional CAIR, menyatakan harapan besar agar Trump memenuhi janji-janji kampanyenya, termasuk mengakhiri konflik berkepanjangan di Gaza.
Awad mengkritik kebijakan luar negeri Amerika di bawah kepemimpinan presiden sebelumnya, yang dianggapnya berdampak buruk bagi dunia Muslim. "Penting bagi Presiden Terpilih Trump untuk sekarang mengakui bahwa sebagian besar orang Amerika, termasuk Muslim Amerika yang mendukungnya, tidak ingin melihat lebih banyak kefanatikan di dalam negeri atau lebih banyak perang di luar negeri," ujar Awad, mengutip laporan Anadolu Agency.
Awad menekankan pentingnya Trump untuk memperhatikan aspirasi warga Muslim Amerika. Ia berharap kebijakan luar negeri Amerika di bawah kepemimpinan Trump akan lebih mengutamakan perdamaian global dan keadilan di wilayah-wilayah konflik, termasuk Gaza. "Ke depannya, kami berharap semua pejabat terpilih untuk benar-benar menanggapi masalah mendesak para pemilih Muslim. Ini termasuk Presiden Terpilih Trump," tegas Awad.
Di sisi lain, kekalahan Kamala Harris, calon dari Partai Demokrat, dikaitkan dengan dukungan tanpa syarat pemerintahannya terhadap Israel di tengah kekerasan yang terus berlangsung di Gaza. Aktivis Arab di Dearborn, Michigan, yang merupakan suara penting bagi komunitas Muslim Amerika, menyatakan kekecewaan terhadap sikap Harris yang dianggap mengabaikan permintaan mereka untuk mempertimbangkan ulang dukungannya terhadap Israel.
Michigan, dengan populasi Muslim yang besar, menjadi negara kunci bagi kemenangan Trump. Berdasarkan laporan Al-Jazeera yang merujuk Fox News, banyak aktivis Arab dan Muslim Amerika di Michigan merasa bahwa sikap tegas Harris terhadap Israel berdampak negatif pada basis pemilih Partai Demokrat, terutama di kalangan Arab dan Muslim Amerika serta kelompok muda dan progresif.
"Genosida adalah politik yang buruk," ujar seorang aktivis, menegaskan bahwa kebijakan Partai Demokrat dinilai tidak sejalan dengan aspirasi mereka.
Hussein Dabajeh, seorang konsultan politik Amerika keturunan Lebanon dari Detroit, mengungkapkan harapan agar kepemimpinan Trump mendatang dapat membawa kebaikan bagi komunitas Arab dan Muslim Amerika. Meskipun ia mengaku tidak tahu pasti apa arti kemenangan Trump bagi komunitas ini, ia berharap akan ada perubahan positif dan persatuan di negara tersebut. "Saya harap itu sesuatu yang baik. Saya berharap negara ini bisa bersatu. Saya berharap Partai Demokrat sadar," ucap Dabajeh.
Secara resmi, Trump berhasil mengamankan kemenangan dengan meraih 295 suara elektoral, melampaui ambang batas 270 suara yang dibutuhkan, sementara Kamala Harris memperoleh 226 suara elektoral. Dalam perhitungan suara populer, Trump juga unggul dengan 73.523.637 suara (50,92%), sementara Kamala hanya memperoleh 68.683.845 suara (47,57%).
Kemenangan ini menandai kembalinya Trump sebagai Presiden AS untuk masa jabatan kedua, membawa harapan baru sekaligus tantangan bagi berbagai komunitas di Amerika. Terutama bagi komunitas Muslim yang menjadi salah satu kunci kemenangan Trump kali ini.
Pertanyaan besar kini muncul: apakah janji-janji Trump untuk membawa perdamaian dan keadilan bagi Muslim Amerika akan terwujud? Apakah kebijakan luar negerinya akan lebih ramah terhadap dunia Muslim? Ataukah kemenangan Trump akan membawa gelombang baru kefanatikan dan perang?
Waktu akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, namun satu hal yang pasti: masa depan komunitas Muslim Amerika, dan dunia Muslim secara keseluruhan, kini berada di tangan Donald Trump.