Jakarta, 10 Januari 2025 – Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal medis terkemuka, The Lancet, mengungkap fakta mengejutkan terkait jumlah korban tewas dalam konflik Israel-Gaza. Analisis data yang dilakukan oleh para akademisi dari London School of Hygiene & Tropical Medicine, Universitas Yale, dan lembaga terkemuka lainnya, menunjukkan bahwa angka kematian sebenarnya jauh lebih tinggi daripada angka resmi yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan Gaza. Studi ini memperkirakan jumlah korban tewas akibat cedera traumatis hingga akhir Juni 2024 mencapai 64.260 jiwa, angka yang 40 persen lebih tinggi dari angka resmi 37.877 yang dilaporkan oleh otoritas Palestina.
Temuan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi dan akses informasi terkait konflik yang tengah berlangsung. Studi tersebut, yang menggunakan metode analisis statistik yang dikenal sebagai capture-recapture analysis, memberikan gambaran yang lebih akurat tentang skala kerusakan kemanusiaan yang terjadi di Gaza. Metode ini, yang melibatkan perbandingan data dari berbagai sumber, terbukti efektif dalam memperkirakan jumlah korban tewas dalam konflik berskala besar di berbagai belahan dunia.
Para peneliti menggunakan tiga sumber data utama dalam analisis mereka: data resmi dari Kementerian Kesehatan Gaza, survei daring yang dilakukan oleh kementerian yang meminta warga Palestina untuk melaporkan kematian kerabat mereka, dan data kematian yang dikumpulkan dari media sosial. Dengan membandingkan dan memverifikasi data dari ketiga sumber tersebut, para peneliti berhasil meminimalkan duplikasi data dan menghasilkan perkiraan yang lebih akurat.
Hasil analisis menunjukkan bahwa antara 55.298 hingga 78.525 orang meninggal dunia akibat cedera traumatis di Gaza hingga 30 Juni 2024. Perkiraan terbaik, yaitu 64.260 kematian, menunjukkan selisih yang signifikan – sekitar 41 persen – dengan angka resmi yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan Gaza. Angka ini mewakili 2,9 persen dari populasi Gaza sebelum perang, atau kira-kira satu dari 35 penduduk.
Yang lebih mengkhawatirkan, angka tersebut hanya mencakup kematian akibat cedera traumatis. Angka ini belum memperhitungkan kematian akibat kekurangan akses terhadap perawatan kesehatan, kelangkaan makanan, dan ribuan warga Palestina yang diyakini tertimbun di bawah reruntuhan bangunan yang hancur. Biro Statistik Pusat Palestina (PCBS) bahkan memperkirakan bahwa sekitar 11.000 warga Palestina lainnya hilang dan diduga tewas, menambah keprihatinan akan skala sebenarnya dari tragedi kemanusiaan ini.
Studi Lancet juga menyoroti kerentanan kelompok-kelompok tertentu. Sebanyak 59,1 persen dari korban tewas diperkirakan adalah perempuan, anak-anak, dan lansia (di atas 65 tahun). Fakta ini menunjukkan bahwa dampak konflik secara tidak proporsional menimpa kelompok-kelompok yang paling rentan dalam masyarakat. Namun, studi ini tidak memberikan perkiraan jumlah pejuang Hamas yang termasuk dalam angka korban tewas tersebut.
Para peneliti mengakui adanya potensi bias dalam data mereka. Mereka menjelaskan bahwa catatan rumah sakit tidak selalu mencantumkan penyebab kematian secara detail, sehingga ada kemungkinan kasus kematian non-traumatis turut terhitung dalam data, yang berpotensi menyebabkan perkiraan angka kematian menjadi lebih tinggi. Namun, mereka menekankan bahwa upaya verifikasi dan pengurangan duplikasi data telah dilakukan secara teliti untuk meminimalkan bias tersebut.
Tanggapan dari pihak Israel terhadap studi ini terbilang defensif. Seorang pejabat senior militer Israel menyatakan bahwa angkatan bersenjata Israel telah berupaya keras untuk meminimalkan jatuhnya korban sipil, dengan mengklaim telah melakukan berbagai upaya pencegahan, termasuk memberikan peringatan dini kepada warga sipil, menyediakan zona aman, dan mengambil tindakan lain untuk mencegah bahaya bagi warga sipil. Pejabat tersebut juga menyanggah angka-angka yang disajikan dalam studi Lancet, dengan mengatakan bahwa angka tersebut tidak mencerminkan situasi di lapangan.
Namun, studi Lancet juga menyoroti tantangan dalam pengumpulan data yang akurat di tengah konflik. Kapasitas Kementerian Kesehatan Gaza untuk menyimpan catatan kematian elektronik, yang sebelumnya dianggap andal, telah terganggu secara signifikan akibat operasi militer Israel, termasuk penggerebekan di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya, serta gangguan komunikasi digital. Israel menuduh Hamas menggunakan rumah sakit sebagai kedok untuk operasi militernya, tuduhan yang dibantah oleh kelompok tersebut.
Para ahli statistik independen memberikan penilaian positif terhadap metodologi yang digunakan dalam studi Lancet. Patrick Ball, seorang ahli statistik di Human Rights Data Analysis Group yang berpengalaman dalam menggunakan metode capture-recapture untuk memperkirakan jumlah korban tewas dalam konflik di berbagai negara, menyatakan bahwa metode yang digunakan dalam studi ini telah teruji dengan baik dan menghasilkan perkiraan yang akurat. Kevin McConway, seorang profesor statistik terapan di Universitas Terbuka Inggris, juga memuji upaya para peneliti dalam menggunakan tiga pendekatan berbeda untuk memvalidasi perkiraan mereka, meskipun mengakui adanya ketidakpastian yang inheren dalam memperkirakan data dari sumber yang tidak lengkap.
Kesimpulannya, studi Lancet memberikan bukti yang kuat bahwa angka kematian akibat konflik Israel-Gaza jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan secara resmi. Angka 64.260 jiwa yang diperkirakan merupakan angka yang mengejutkan dan menyoroti skala tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza. Studi ini juga menyoroti pentingnya akses informasi yang transparan dan independen dalam konflik bersenjata untuk memastikan akuntabilitas dan mencegah pengulangan tragedi serupa di masa depan. Ketidakmampuan media internasional untuk memverifikasi secara independen jumlah korban tewas di Gaza karena pembatasan akses yang diberlakukan oleh Israel semakin memperkuat kebutuhan akan penyelidikan internasional yang independen dan transparan untuk mengungkap kebenaran di balik angka-angka yang mengejutkan ini. Studi ini juga menjadi pengingat pentingnya perlindungan warga sipil dalam konflik bersenjata dan perlunya upaya internasional untuk memastikan pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia. Ke depan, diperlukan investigasi lebih lanjut dan akses yang lebih luas bagi para jurnalis dan lembaga internasional untuk memastikan bahwa kebenaran tentang tragedi di Gaza terungkap sepenuhnya.