Jakarta – Ulama terkemuka, Sufyan ats-Tsauri, menjabarkan kesabaran bukan sekadar menahan diri dari tindakan impulsif atau emosi negatif. Lebih dari itu, kesabaran merupakan pilar fundamental dalam menjalani kehidupan, yang terdiri dari tiga aspek krusial: pertama, menahan diri dari menceritakan musibah secara berlebihan; kedua, menghindari pengumbar kesakitan dan keluh kesah; dan ketiga, menjauhi sikap merasa suci atau lebih baik dari orang lain. Ketiga aspek ini saling terkait dan membentuk pondasi spiritual yang kokoh dalam menghadapi ujian hidup.
Menahan Diri dari Menceritakan Musibah: Sebuah Ujian Iman dan Keteguhan
Musibah, dalam berbagai bentuknya – dari bencana alam seperti gempa bumi, banjir, dan wabah penyakit hingga cobaan personal seperti sakit keras atau kehilangan – merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sikap kita dalam menyikapi musibah menjadi cerminan keimanan dan keteguhan batin. Alih-alih memandang musibah sebagai kutukan atau keburukan semata, Islam mengajarkan kita untuk melihatnya sebagai bagian dari rencana Ilahi yang termaktub dalam Lauhul Mahfuzh, buku catatan takdir yang telah ditetapkan Allah SWT.
Firman Allah SWT dalam Surah Al-Hadid ayat 22, yang berbunyi, "Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah," menegaskan ketetapan Ilahi atas segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Ayat ini bukan sekadar penegasan takdir, melainkan ajakan untuk menerima ketentuan Allah SWT. dengan lapang dada, dengan penuh ridha dan keikhlasan. Penerimaan ini menjadi kunci utama dalam menghadapi musibah dengan sabar.
Sikap ridha bukan berarti pasrah tanpa usaha. Justru sebaliknya, ridha merupakan landasan bagi langkah-langkah selanjutnya dalam menghadapi musibah. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan:
-
Penerimaan Takdir: Menerima musibah sebagai bagian dari rencana Allah SWT. dengan penuh keyakinan dan keikhlasan. Ini berarti menghindari sikap mengeluh, menyalahkan takdir, atau meratapi nasib secara berlebihan. Sikap ini menjadi fondasi penting untuk menjaga ketenangan dan ketabahan hati. Contohnya, seseorang yang mengalami kecelakaan seharusnya menerima kejadian tersebut sebagai takdir Allah SWT. dan fokus pada pemulihan dan ikhtiar selanjutnya.
-
Mencari Hikmah: Setiap musibah, betapa pun beratnya, selalu menyimpan hikmah atau pelajaran berharga. Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang muslim tertimpa musibah, tertusuk duri atau lebih dari itu, kecuali dengannya Allah akan menghapus sebagian dosanya." (HR Bukhari dan Muslim). Mencari hikmah dari musibah membantu kita untuk tetap fokus pada sisi positif dan pelajaran yang dapat dipetik. Misalnya, sebuah penyakit dapat menjadi pengingat akan pentingnya kesehatan dan kedekatan dengan Allah SWT.
-
Berikhtiar: Berikhtiar berarti melakukan segala upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi musibah dan meminimalisir dampak negatifnya. Keimanan kepada takdir Allah SWT. tidak berarti pasrah tanpa usaha. Sebaliknya, iman mendorong kita untuk berikhtiar dengan maksimal, sekaligus menerima hasil akhirnya dengan lapang dada. Contohnya, seseorang yang terkena bencana alam harus berikhtiar untuk menyelamatkan diri dan harta bendanya, serta mencari bantuan dari pihak terkait. Namun, jika tetap terjadi kerugian, ia harus menerimanya dengan sabar dan ikhlas.
Menceritakan musibah secara berlebihan, terutama dengan tujuan mencari simpati atau belas kasihan, justru dapat menghambat proses penyembuhan dan memperburuk kondisi mental. Hal ini dapat dianggap sebagai bentuk ketidakridhoan terhadap takdir Allah SWT. dan kurangnya keteguhan hati dalam menghadapi cobaan.
Menghindari Pengumbar Kesakitan: Menjaga Keteguhan Mental dan Spiritual
Pengumbar kesakitan dan keluh kesah merupakan sikap yang bertentangan dengan prinsip kesabaran. Islam mengajarkan kita untuk menjaga keteguhan mental dan spiritual dalam menghadapi kesulitan. Surah Al-Ma’arij ayat 19 dan 20 menyebutkan, "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah." Ayat ini bukan untuk menjustifikasi keluh kesah, melainkan sebagai pengakuan atas sifat dasar manusia yang cenderung mudah mengeluh. Namun, Islam mendorong kita untuk melawan sifat tersebut dan menggantinya dengan kesabaran dan keikhlasan.
Kemampuan untuk menahan diri dari keluh kesah merupakan tanda kedewasaan spiritual dan keteguhan iman. Sikap ini bukan berarti kita harus memendam semua perasaan negatif, melainkan mengelola emosi dengan bijak dan mencari solusi yang konstruktif. Berkeluh kesah secara berlebihan tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga dapat menular kepada orang lain dan menciptakan energi negatif di sekitar kita. Solusi yang lebih baik adalah berdoa kepada Allah SWT., mencari dukungan dari orang-orang terdekat yang positif, dan fokus pada upaya untuk mengatasi masalah.
Menjauhi Kesombongan dan Merasa Suci: Menjaga Kerendahan Hati dan Kesetaraan
Sikap merasa suci atau lebih baik dari orang lain merupakan bentuk kesombongan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Allah SWT. berfirman dalam Surah An-Najm ayat 32, "Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa." Ayat ini menekankan pentingnya kerendahan hati dan pengakuan akan keterbatasan diri di hadapan Allah SWT. Merasa suci dapat menghalangi kita untuk terus belajar dan memperbaiki diri, karena kita merasa sudah sempurna dan tidak perlu lagi berusaha.
Sikap merasa suci juga dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan di antara sesama manusia. Kita harus senantiasa mengingat bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Sikap saling menghargai dan menghormati sesama manusia merupakan kunci untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan damai. Surah Al-Baqarah ayat 80, yang menyebutkan, "Dan mereka berkata, kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali selama beberapa hari saja," menggambarkan kesombongan orang-orang yang menganggap dirinya terbebas dari siksa Allah SWT. Sikap ini merupakan bentuk penolakan terhadap kebenaran dan ketetapan Ilahi.
Ketiga pilar kesabaran – menahan diri dari menceritakan musibah, menghindari pengumbar kesakitan, dan menjauhi kesombongan – saling berkaitan dan membentuk kesatuan yang utuh. Dengan mengamalkan ketiga pilar ini, kita dapat menghadapi ujian hidup dengan lebih bijak, teguh, dan penuh kerendahan hati. Semoga Allah SWT. selalu membimbing kita untuk senantiasa bersabar dan mendapatkan ridho-Nya.