Kota Thaif, dengan tembok-temboknya yang kokoh mengelilingi permukiman para pemuka Quraisy dan kaum bangsawan suku Tsaqif, menyimpan catatan kelam sekaligus monumental dalam sejarah dakwah Nabi Muhammad SAW. Setelah kepergian dua sosok yang amat dicintainya, Khadijah RA dan Abu Thalib RA, Rasulullah menghadapi ujian berat. Makkah, yang selama ini menjadi panggung dakwahnya, berubah menjadi medan pertempuran ideologi yang sarat dengan penolakan, intimidasi, dan kekerasan fisik. Thaif, kota yang terletak di kaki pegunungan Hijaz, menjadi saksi bisu atas ketabahan luar biasa yang ditunjukkan Rasulullah dalam menghadapi cobaan ini.
Mengutip uraian dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi, nama Thaif sendiri merujuk pada keberadaan tembok atau pagar yang melingkupi kota tersebut. Keberadaan tembok ini melambangkan benteng pertahanan yang sekaligus menjadi simbol kekuasaan dan kemapanan sosial masyarakat Thaif. Rasulullah, didampingi oleh Zaid bin Haritsah RA, berangkat ke Thaif bukan hanya untuk berdakwah, tetapi juga untuk mencari perlindungan dari tekanan yang terus-menerus menerpanya di Makkah pasca wafatnya Abu Thalib. Langkah ini menunjukkan betapa beratnya beban yang dipikul Rasulullah, dan betapa gigihnya beliau dalam menjalankan amanah kenabian.
Kedatangan Rasulullah ke Thaif diwarnai dengan harapan dan sekaligus kecemasan. Beliau berharap dapat menemukan simpati dan dukungan dari suku Tsaqif, sebuah suku yang dikenal berpengaruh di wilayah tersebut. Namun, harapan tersebut segera pupus. Upaya Rasulullah untuk berdialog dengan tiga pembesar bani Tsaqif – Mas’ud, Abdu Yalail, dan Habib – berujung pada penolakan keras. Alih-alih menerima ajakan Rasulullah untuk memeluk Islam, para pembesar tersebut justru melakukan tindakan yang sangat keji. Mereka menghasut penduduk, termasuk orang-orang bodoh dan budak-budak, untuk menyerang Rasulullah.
Gambaran peristiwa yang terjadi di Thaif sungguh menyayat hati. Rasulullah, utusan Allah yang membawa risalah kebenaran, dilempari batu oleh penduduk Thaif. Bayangkanlah betapa pedihnya luka fisik yang dialami beliau, dan betapa dalam luka batin yang dirasakannya. Serangan brutal tersebut tidak hanya melukai jasad Rasulullah, tetapi juga menyakiti hati beliau yang penuh kasih sayang. Zaid bin Haritsah RA, sahabat setia yang senantiasa mendampingi Rasulullah, turut menjadi korban kekejaman penduduk Thaif. Mereka berdua terpaksa berlindung di balik sebuah gunung, menghindari amukan massa yang terus mengejar mereka. Beberapa batu mengenai kaki Rasulullah hingga berdarah. Jejak peristiwa bersejarah ini hingga kini masih dikenang dan ditandai dengan sebuah bangunan persegi yang menaungi gua tempat Rasulullah berlindung.
Kejaran penduduk Thaif baru berhenti ketika Rasulullah dan Zaid memasuki sebuah kebun anggur milik Utbah dan Syaibah, dua orang dari suku ‘Abd Syams, keturunan Quraisy. Dalam tradisi Arab, memasuki pekarangan seseorang dianggap sebagai bentuk pencarian perlindungan. Kehadiran Rasulullah di dalam kebun tersebut memberikan jeda sejenak dari serangan brutal yang dialaminya. Di bawah rindang pohon, Rasulullah memanjatkan doa yang begitu menyentuh, doa yang menggambarkan kelemahan, keputusasaan, dan sekaligus keteguhan hati seorang Nabi yang bergantung sepenuhnya kepada Allah SWT. Doa tersebut merupakan ungkapan kejujuran dan ketundukan yang luar biasa, sebuah refleksi dari beban berat yang dipikulnya dalam menjalankan misi kenabian.
Doa Rasulullah yang khusyuk itu terdengar oleh Utbah dan Syaibah, pemilik kebun anggur tersebut. Tergerak oleh rasa iba atau mungkin juga rasa hormat, mereka meminta Addas, seorang pekerja kebun yang beragama Nasrani, untuk memberikan seikat buah anggur kepada Rasulullah. Addas pun menunaikan permintaan tersebut. Saat menerima buah anggur dan memakannya, Rasulullah mengucapkan basmalah. Tindakan sederhana ini, yang tampaknya biasa saja, ternyata menyimpan makna yang mendalam. Hal ini menunjukkan kesalehan dan keteladanan Rasulullah dalam setiap aspek kehidupannya, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun.
Pertemuan Rasulullah dengan Addas kemudian berkembang menjadi percakapan yang penuh hikmah. Rasulullah bertanya tentang asal usul dan agama Addas. Jawaban Addas, yang menyebutkan bahwa ia berasal dari Nineveh (kini Irak) dan beragama Nasrani, menarik perhatian Rasulullah. Rasulullah kemudian menyebutkan Yunus bin Matta, seorang nabi yang berasal dari Nineveh. Pernyataan Rasulullah bahwa Yunus adalah saudaranya, seorang nabi seperti dirinya, sangat menggetarkan hati Addas. Peristiwa ini, yang diriwayatkan dalam buku Histori 72 Masjid di Tanah Suci dalam Khazanah Sunnah Nabi karya Brilly El-Rasheed, menunjukkan kebesaran jiwa Rasulullah yang mampu menebarkan cahaya hidayah bahkan di tengah penderitaan.
Percakapan tersebut menjadi titik balik bagi Addas. Ia terkesan oleh akhlak dan keilmuan Rasulullah, dan akhirnya memeluk Islam. Sebagai bentuk penghormatan dan mengenang peristiwa tersebut, di lokasi bekas rumah Addas kini berdiri sebuah masjid yang diberi nama Masjid Addas. Masjid ini menjadi simbol kemenangan iman dan bukti nyata bahwa bahkan di tengah cobaan yang paling berat sekalipun, cahaya Islam tetap bersinar.
Peristiwa di Thaif mengajarkan kita banyak hal. Ketabahan Rasulullah dalam menghadapi penolakan dan kekerasan, kesabarannya dalam berdakwah, dan keikhlasannya dalam menjalankan amanah kenabian, merupakan teladan yang patut kita teladani. Kisah ini juga mengingatkan kita akan pentingnya kesabaran dan keteguhan hati dalam menghadapi tantangan dan cobaan hidup. Thaif, kota yang dulunya menjadi saksi bisu atas penderitaan Rasulullah, kini menjadi simbol keteguhan iman dan kemenangan dakwah Islam. Kisah ini bukan hanya sekadar catatan sejarah, tetapi juga sebuah pelajaran berharga yang relevan hingga saat ini. Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan, serta senantiasa tabah dalam menghadapi segala rintangan dan cobaan dalam kehidupan.