Surat Yusuf, surat ke-12 dalam Al-Qur’an yang terdiri dari 111 ayat, menyimpan kisah Nabi Yusuf AS yang penuh liku dan hikmah. Ayat ke-28 surat ini menjadi titik balik penting dalam narasi, mengungkap kebenaran di balik tuduhan Zulaikha, istri Al-Aziz, terhadap Nabi Yusuf. Ayat ini, dengan segala kompleksitasnya, telah memicu beragam penafsiran, bahkan kontroversi, hingga kini.
Berikut teks Arab, transliterasi Latin, dan terjemahan Surat Yusuf ayat 28:
Arab: فَلَمَّا رَأَىٰ قَمِيصَهُۥ قُدَّ مِن دُبُرٍ قَالَ إِنَّهُۥ مِن كَيْدِكُنَّ إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ
Latin: Fa lammā ra’ā qamīṣahu qudda min duburin qāla innahu min kaydikunna inna kaydakunna ‘aẓīm.
Terjemahan (Literal): "Maka ketika dia (Al-Aziz) melihat bajunya (Yusuf) koyak di bagian belakang, dia berkata, ‘Sesungguhnya ini adalah tipu dayamu (hai kaum wanita), sesungguhnya tipu dayamu benar-benar hebat.’"
Tafsir Kementerian Agama RI:
Tafsir Kemenag RI menjelaskan ayat ini sebagai puncak pengungkapan kebenaran. Setelah baju Nabi Yusuf ditemukan koyak di bagian belakang, Al-Aziz, sang menteri, menyadari kebohongan Zulaikha. Koyaknya baju tersebut menjadi bukti pembantah tuduhan Zulaikha yang menuduh Nabi Yusuf melakukan percobaan perzinahan. Proses penyelidikan yang melibatkan Al-Aziz dan keluarganya telah mengungkap fakta sebenarnya. Zulaikha, bukannya menjadi korban, justru menjadi dalang di balik tuduhan tersebut.
Tafsir Kemenag melanjutkan dengan menjelaskan reaksi Al-Aziz pasca terungkapnya kebenaran. Ia memerintahkan Nabi Yusuf untuk melupakan kejadian tersebut dan tidak menceritakannya kepada siapa pun. Selain itu, Al-Aziz juga menasihati istrinya, Zulaikha, agar bertaubat kepada Allah SWT atas dosa dan kebohongannya. Ayat ini, menurut tafsir Kemenag, menekankan pentingnya pengakuan kesalahan dan pertobatan.
Tafsir Quraish Shihab (Tafsir Al-Mishbah):
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menawarkan perspektif yang lebih nuanced. Beliau menyinggung adanya perbedaan penafsiran terhadap frasa "inna kaydakunna ‘aẓīm" (sesungguhnya tipu dayamu benar-benar hebat). Sebagian ulama, menurut Shihab, menafsirkan frasa ini sebagai bukti buruknya sifat wanita dan kecenderungan mereka untuk menipu. Pandangan ini, lanjut Shihab, seringkali digunakan untuk mendukung anggapan bahwa wanita lebih mudah tergoda oleh iblis dan lebih berbahaya rayuannya dibandingkan setan itu sendiri. Pendapat ini seringkali dikaitkan dengan Surat An-Nisa ayat 76 yang menyebutkan bahwa "Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah."
Namun, Shihab secara tegas menolak penafsiran tersebut. Ia menekankan bahwa menghubungkan ayat ini dengan Surat An-Nisa ayat 76 merupakan kesalahan interpretasi yang mengabaikan konteks. Menggunakan ayat ini untuk menjustifikasi pandangan negatif terhadap wanita secara keseluruhan adalah sebuah generalisasi yang tidak adil dan tidak berdasar. Shihab berpendapat bahwa ayat ini semata-mata menggambarkan situasi spesifik yang terjadi antara Zulaikha dan Nabi Yusuf, bukan sebagai representasi karakteristik seluruh wanita.
Fathi Muhammad Ath-Thahir Ghayati:
Fathi Muhammad Ath-Thahir Ghayati dalam bukunya, Haakadza Yablugh Al-Hubb Bainahuma (yang diterjemahkan oleh Nashirul Haq), menguatkan kritik terhadap penafsiran yang menghubungkan "tipu daya wanita" dalam Surat Yusuf ayat 28 dengan "tipu daya setan" dalam Surat An-Nisa ayat 76. Ghayati menganggap pemahaman seperti itu sebagai kekeliruan besar dalam penafsiran. Ia menekankan perbedaan konteks yang signifikan antara kedua ayat tersebut.
Menganggap wanita lebih buruk daripada setan berdasarkan perbandingan ini, menurut Ghayati, merupakan bentuk diskriminasi gender yang tidak dapat dibenarkan. Pandangan ini, lanjutnya, menciptakan citra negatif terhadap wanita, seolah-olah mereka adalah makhluk jahat yang harus diwaspadai dan dihadapi dengan strategi khusus. Ghayati menegaskan bahwa konteks Surat Yusuf ayat 28 adalah kasus spesifik yang tidak dapat digeneralisasi untuk menggambarkan seluruh kaum wanita.
Kontroversi dan Implikasinya:
Perbedaan penafsiran Surat Yusuf ayat 28 ini memiliki implikasi yang signifikan. Penafsiran yang menonjolkan "tipu daya wanita" telah berkontribusi pada persepsi negatif dan diskriminatif terhadap perempuan dalam beberapa kalangan. Hal ini memperkuat stereotip yang merugikan dan menghambat upaya untuk mencapai kesetaraan gender. Oleh karena itu, penting untuk memahami konteks ayat ini secara tepat dan menghindari generalisasi yang tidak berdasar.
Ayat ini bukan sekadar tentang "tipu daya wanita" secara umum, melainkan tentang tindakan spesifik Zulaikha dalam konteks cerita Nabi Yusuf. Zulaikha, sebagai manusia biasa, memiliki kelemahan dan melakukan kesalahan. Kisah ini justru mengajarkan tentang pentingnya kejujuran, pertobatan, dan pengakuan kesalahan. Al-Aziz, sebagai figur otoritas, juga menunjukkan keadilan dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Kesimpulan:
Surat Yusuf ayat 28 merupakan ayat yang kaya makna dan telah memicu berbagai penafsiran. Penting bagi kita untuk memahami konteks ayat ini dan menghindari penafsiran yang bias dan diskriminatif. Tafsir yang benar harus mempertimbangkan seluruh aspek cerita, termasuk latar belakang, karakter tokoh, dan pesan moral yang ingin disampaikan. Menghubungkan ayat ini dengan ayat lain tanpa memperhatikan konteksnya dapat menyebabkan kesimpulan yang keliru dan merugikan. Oleh karena itu, kajian yang mendalam dan komprehensif sangat diperlukan untuk memahami makna sebenarnya dari ayat ini dan menghindari generalisasi yang dapat memperkuat stereotip negatif terhadap perempuan. Wallahu a’lam.