Perjalanan udara, khususnya penerbangan jarak jauh, seringkali menghadirkan tantangan bagi umat Muslim dalam menjalankan ibadah sholat. Keterbatasan ruang gerak di dalam kabin pesawat dan minimnya akses terhadap air bersih menjadikan tayammum sebagai alternatif yang perlu dipahami secara mendalam dan tepat. Tayammum, sebagai bentuk pensucian diri dengan menggunakan debu atau benda suci pengganti air wudhu, memiliki landasan hukum yang kuat dalam Al-Quran, Surah An-Nisa ayat 43:
(Ayat dalam bahasa Arab dan terjemahannya sudah dihilangkan karena tidak relevan dengan gaya penulisan jurnalistik dan akan membuat artikel terlalu panjang. Fokus akan diberikan pada penjelasan dan analisis isu.)
Ayat tersebut menjelaskan kondisi-kondisi yang membolehkan seseorang untuk bertayammum, termasuk ketika air sulit didapatkan atau dalam keadaan sakit dan bepergian. Namun, aplikasi hukum ini dalam konteks ruang terbatas dan terkontrol seperti kabin pesawat menimbulkan perdebatan di kalangan ulama.
Perdebatan Hukum Tayammum di Pesawat: Dua Pendapat yang Berbeda
Buku Fiqh untuk Profesional karya Agus Arifin memaparkan dua pandangan berbeda terkait sahnya tayammum di dalam pesawat. Pendapat pertama menyatakan tayammum di pesawat tidak sah. Argumentasi utama pendapat ini berfokus pada syarat debu yang digunakan untuk tayammum. Debu tersebut, menurut pendapat ini, haruslah terlihat secara kasat mata dan memiliki sifat fisik yang memenuhi kriteria kesucian, seperti debu halus atau tanah yang suci. Kabin pesawat, dengan sistem kebersihannya yang canggih, dianggap minim bahkan mungkin tidak memiliki debu yang memenuhi syarat tersebut. Kebersihan yang terjaga dengan penggunaan vacuum cleaner dan alat pembersih lainnya menjadikan keberadaan debu yang cukup untuk tayammum dipertanyakan.
Di sisi lain, pendapat kedua menyatakan tayammum di pesawat tetap sah. Pendapat ini menganggap bahwa meskipun pesawat dibersihkan secara intensif, partikel debu halus tetap mungkin ada di udara. Debu, sebagai partikel yang sangat kecil, selalu terbawa oleh aliran udara dan sulit dihilangkan sepenuhnya. Oleh karena itu, permukaan di dalam pesawat, walaupun tampak bersih, diyakini masih mengandung partikel debu yang cukup untuk memenuhi syarat tayammum.
Pendukung pendapat kedua mengutip kisah sahabat Abu Juhaim yang diriwayatkan dalam Fath al-Bari Syarh Shahih Bukhari. Kisah ini menceritakan bagaimana Rasulullah SAW bertayammum pada dinding sumur untuk menjawab salam seseorang, menunjukkan bahwa tayammum tidak selalu memerlukan debu yang terlihat jelas, tetapi bisa dilakukan pada permukaan yang diyakini mengandung partikel suci. Analogi ini digunakan untuk memperkuat argumen bahwa permukaan di dalam pesawat, seperti dinding, sandaran kursi, atau bahkan meja lipat, dapat digunakan untuk bertayammum karena kemungkinan masih terdapat partikel debu yang tertinggal.
Mencari Keseimbangan antara Hukum dan Praktik:
Perbedaan pendapat ini menunjukkan kompleksitas aplikasi hukum Islam dalam konteks modern. Tidak adanya kepastian hukum yang mutlak menuntut pertimbangan yang matang dan pendekatan yang bijak. Penting untuk memahami bahwa tujuan syariat adalah untuk memudahkan, bukan mempersulit, ibadah. Dalam situasi keterbatasan seperti di dalam pesawat, prioritas adalah menjaga kesucian diri untuk melaksanakan sholat.
Oleh karena itu, pilihan untuk bertayammum di pesawat sebaiknya didasarkan pada pertimbangan yang mempertimbangkan kedua pendapat tersebut. Jika seseorang yakin menemukan debu yang terlihat dan memenuhi syarat kesucian, maka tayammum dapat dilakukan dengan tenang. Namun, jika debu sulit ditemukan, maka menggunakan permukaan yang bersih dan suci di dalam pesawat, seperti bagian dinding atau permukaan kursi yang tampak bersih, dapat menjadi pilihan yang diperbolehkan berdasarkan pendapat kedua. Yang terpenting adalah niat yang tulus untuk menunaikan ibadah dan usaha maksimal untuk memenuhi syarat-syarat tayammum sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang ada.
Tata Cara Tayammum di Pesawat:
Tata cara tayammum pada dasarnya sama, baik dilakukan di tempat terbuka maupun di dalam pesawat. Namun, adaptasi terhadap keterbatasan ruang di pesawat perlu diperhatikan. Berikut langkah-langkah yang dapat dipraktikkan:
-
Niat: Membaca niat tayammum dengan khusyuk, baik dalam hati maupun diucapkan. Niat tayammum (dalam bahasa Arab, latin, dan artinya) harus dibacakan dengan benar.
-
Menepukkan Tangan: Menepukkan kedua telapak tangan ke permukaan yang dipilih (dinding, sandaran kursi, meja lipat) dengan memastikan permukaan tersebut bersih dan suci.
-
Menyapu Wajah: Menyapu seluruh wajah dengan kedua telapak tangan yang telah ditepukkan ke permukaan yang suci, meliputi dahi hingga dagu dan area samping wajah.
-
Menepukkan Tangan Kembali: Menepukkan kembali kedua telapak tangan ke permukaan yang berbeda dari sebelumnya. Hal ini penting untuk memastikan terdapat partikel debu yang cukup untuk pensucian.
-
Menyapu Tangan: Menyapu tangan kanan hingga siku dengan telapak tangan kiri, dan sebaliknya.
Tata Cara Sholat di Pesawat:
Sholat di pesawat memerlukan adaptasi terhadap keterbatasan ruang. Berikut panduan praktisnya:
-
Niat: Meniatkan sholat sesuai jenis sholat yang akan dikerjakan.
-
Takbiratul Ihram: Mengucapkan "Allahu Akbar" sambil mengangkat kedua tangan.
-
Membaca Doa Iftitah dan Surah Al-Fatihah: Membaca doa iftitah dan surah Al-Fatihah serta surah pendek lainnya. Posisi duduk tegak dan tenang sangat dianjurkan.
-
Rukuk dan Sujud: Rukuk dan sujud dapat dilakukan dengan sedikit membungkukkan badan ke depan, sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan ruang. Yang terpenting adalah menunjukkan rasa khusyuk dan menjaga kesempurnaan gerakan sholat sesuai kemampuan.
-
Duduk di Antara Dua Sujud dan Tahiyat Akhir: Duduk dengan tenang dan khusyuk, membaca doa duduk di antara dua sujud dan tahiyat akhir.
-
Salam: Mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri.
-
Doa: Berdoa setelah salam.
Kesimpulan:
Tayammum di pesawat merupakan solusi praktis bagi umat Muslim yang menghadapi keterbatasan air selama perjalanan udara. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, penting untuk mencari keseimbangan antara hukum dan praktik. Dengan memahami kedua pandangan dan mempertimbangkan kondisi yang ada, umat Muslim dapat menjalankan ibadah sholat dengan tenang dan khusyuk, sekaligus menjaga kesucian diri dalam keterbatasan ruang dan sumber daya. Yang paling utama adalah niat yang ikhlas dan usaha maksimal untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Konsultasi dengan ulama atau ahli fiqh dapat membantu mendapatkan penjelasan yang lebih lengkap dan memperjelas keraguan yang mungkin muncul.