ERAMADANI.COM – Tidak mudah bagi partai politik baru hadir dan bertahan dalam konstelasi politik Indonesia yang kompetitif. Figur, basis massa, dan tentu kekuatan finansial menjadi sesuatu yang turut menentukan masa depan partai.
Tidak mudah bagi partai politik baru untuk hadir dan bertahan dalam konstelasi politik Indonesia yang sangat kompetitif. Partai Gelombang Rakyat Indonesia dan Partai Ummat, dua di antara partai baru yang muncul, akan dihadapkan pada ujian politik yang tidak ringan.
Salah satu ujian pertama dan terberat itu adalah soal popularitas partai. Tidak banyak publik yang memahami kehadiran partai politik baru. Hasil survei Kompas menangkap, mayoritas responden tidak mengetahui nama-nama partai politik baru tersebut. Dari responden yang mengaku tahu pun, hanya sedikit yang dengan benar menyebutkan nama partai politik baru.
Dari yang sedikit responden dengan benar menyebutkan nama partai politik baru itulah, nama Partai Gelora dan Partai Ummat lebih banyak muncul. Sisanya, nama-nama partai versi responden cenderung disebutkan secara salah, bahkan tidak masuk kategori nama partai politik. Dari fakta ini dapat ditarik benang merah, ada gejala kehadiran partai politik baru memang belum masuk dalam radar pengetahuan publik.
Tidak heran jika kemudian mendongkrak popularitas menjadi pekerjaan rumah terberat bagi partai untuk mengumpulkan modal politik sebelum menjalani tahapan-tahapan ujian selanjutnya, seperti pendaftaran sebagai badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM dan tentu pendaftaran sebagai partai politik peserta pemilu di Komisi Pemilihan Umum.
Dari partai-partai baru yang muncul, Partai Gelora tercatat sebagai partai yang sudah resmi berbadan hukum. Partai besutan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta itu telah disahkan Kemenkumham pada 19 Mei 2021. Sementara itu Partai Ummat yang diinisiasi oleh Mantan Ketua MPR Amien Rais ini sampai saat ini masih dalam proses pendaftaran di Kemenkumhan.
Jika mengacu pengalaman di pemilu-pemilu sebelumnya, tidak banyak partai baru yang dalam debut pertamanya sukses di pemilu. Namun, jika mengacu pada partai-partai yang bertahan saat ini, setidaknya fenomena partai baru yang sukses bertahan tidak lepas dari kekuatan sosok ketua umumnya.
Sebut saja Partai Demokrat yang pertama ikut pemilu 2004 mampu mendulang 7,4 persen di awal debutnya. Demokrat identik dengan sosok Susilo Bambang Yudhoyono, presiden terpilih di pemilihan presiden 2004.
Partai baru lainnya pasca reformasi yang bertahan hingga saat ini adalah Partai Gerindra yang di awal debutnya di Pemilu 2009 mampu mendulang 4,5 persen suara. Kemudian ada Partai Nasdem yang di awal mengikuti pemilu, yakni Pemilu 2014, berhasil meraih perolehan 6,7 persen suara.
Ketiga partai baru ini, yang lahir setelah Pemilu 1999, sampai hari ini mampu bertahan di panggung politik nasional. Satu lagi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang debut pertamanya di Pemilu 2009 sukses meraih 3,7 persen suara. Sayangnya, di Pemilu 2019, Hanura gagal meraih ambang batas parlemen, sehingga kini tidak ada lagi perwakilannya di DPR.
Sama dengan halnya Demokrat yang bertumpu pada sosok SBY, baik Gerindra, Nasdem, dan Hanura juga mengalami hal yang sama. Gerindra bertumpu pada sosok Prabowo Subianto, Nasdem pada sosok Surya Paloh, dan Hanura di awal juga bertumpu pada sosok Wiranto.
Jika melihat latar belakang partai-partai ini, semuanya adalah mantan elite politik di Partai Golkar. Bahkan Wiranto pernah menjadi calon presiden yang diusung Partai Golkar di Pemilihan Presiden 2004.
Figur penopang
Selain ditopang oleh diaspora Golkar dimana para elite partai-partai, seperti Gerindra, Hanura, dan Nasdem adalah mantan elite Partai Golkar, pengalaman partai-partai baru yang lahir setelah Pemilu 1999 dan sebagian bertahan sampai hari ini tersebut juga tidak lepas dari figur sosok yang menopangnya.
Jika merujuk soal sosok ini, tentu keberadaan Partai Gelora dan Partai Ummat, dua partai yang disebutkan responden dengan benar sebagai partai politik baru, akan menguji kekuatan figur Anis Matta dan Amien Rais.
Kedua sosok ini merupakan tokoh dari kedua partai politik tersebut. Keduanya akan diuji, apakah memiliki pengaruh yang signifikan dalam memengaruhi perilaku pemilih, terutama pemilih baru atau pemilih mula dalam pemilu 2024 nanti.
Hasil survei Kompas juga merekam bagaimana aspek ketokohan dalam partai politik menempati pertimbangan paling besar dibandingkan aspek lainnya. Sebanyak 87,7 persen responden menempatkan aspek ketokohan sebagai pertimbangan mereka menentukan pilihan partai politik, bahkan sebanyak 19,7 persen diantaranya mengaku sangat mempertimbangkan aspek ini.
Aspek ketokohan dibayangi dengan aspek program kerja dari partai politik yang paling banyak menjadi pertimbangan responden dalam memilih partai politik di pemilu.
Data ini semakin menegaskan pemilih kita di satu sisi memang menempatkan program kerja partai sebagai pertimbangan, namun di sisi lain aspek siapa tokoh yang menjadi simbol personifikasi dari partai politik tersebut juga turut memengaruhi pilihan mereka di pemilu.
Kedua aspek ini juga disinggung oleh Kepala Pusat Penelitian Politik-LIPI Firman Noor dalam artikelnya berjudul Catatan untuk Partai-partai Baru di Kompas 3 Juni 2021. Dua catatan diantaranya yang ia sebutkan adalah terkait visi, misi, agenda, dan program partai yang relevan, kontekstual, dan mencerahkan.
Menurut Firman, hal itu penting karena pemilih saat ini cenderung kian memperhitungkan program kerja partrai seiring dengan semakin kritis dan pragmatisnya masyarakat.
Kemudian aspek tokoh juga disinggung dalam analisisnya tersebut. Menurut Firman, partai politik baru harus sedapat mungkin merebut dukungan tokoh-tokoh, baik pada level nasional maupun lokal. Menurutnya, keberadaan tokoh memiliki nilai praktis yang secara internal dapat mempersatukan kader dengan beragam latar belakang dan mengatasi sekat-sekat komunikasi.
Tentu, jika merujuk analisis ini menjadi sebuah tantangan bagi Partai Gelora dan Partai Ummat untuk membuktikan diri bahwa sebagai partai politik baru, mereka sanggup membangun soliditas internal dan pada akhirnya mampu memengaruhi pemilih untuk melirik partai ini. Selain tantangan tersebut, melepas diri dari sejarah dan rekam jejak politik dari sosok yang menjadi elite di kedua partai tersebut tidaklah mudah.
Publik tentu memahami, sosok Anis Matta, Fahri Hamzah, dan Mahfudz Siddiq yang menjadi elite Partai Gelora adalah mantan politisi PKS. Hal yang sama juga terjadi dalam diri inisiator pendiri Partai Ummat Amien Rais yang notabene juga tercatat sebagai pendiri dan mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional.
Keberadaan Partai Gelora dan Partai Ummat dengan sosoknya masing-masing tentu akan melahirkan pembelahan dukungan dari kedua partai dengan partai politik yang pernah mereka geluti sebelumnya.
Pada akhirnya, tantangan dan ujian politik ini bukan saja berlaku bagi partai politik baru, namun juga bagi partai politik lama namun masih gagal merebut tiket untuk berada di DPR.
Sebut saja di antaranya Partai Hanura, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, sejumlah partai yang sudah menjadi peserta pemilu berturut-turut, namun belum beruntung masuk DPR karena gagal melewati ambang batas parlemen.
Upaya PBB merekrut sejumlah artis menjelang Pemilu 2024, seperti Charly ‘ST12’, Andika ‘Kangen Band’, Dirga ‘Dadali’ hingga Aldi Taher menjadi potret partai-partai berupaya untuk merebut hati pemilih. Apalagi generasi pemilih di Indonesia ke depan akan cenderung didominasi oleh pemilih mula dan milenial.
Tentu, langkah ini tetap akan diuji apakah akan efektif atau tidak. Hal ini tak lepas dengan adanya kecenderungan pemilih kita yang makin melek informasi, sehingga cenderung memperkuat kritisisme pemilih dalam menentukan pilihan politiknya di pemilu, baik kepada partai politik, calon legislatif, maupun sosok calon di pemilihan presiden dan pilkada.
Pada akhirnya partai politik tidak bisa sekadar bekerja menjelang pemilu, namun pascapemilu dia juga harus membuktikan bahwa peran mereka hadir sebagai solusi mengatasi persoalan yang dihadapi pemilih. (LITBANG KOMPAS)