ERAMADANI.COM, JAKARTA – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyoroti persoalan tes corona di Tanah Air. Ia menyatakan ada yang salah dan perlu adanya perbaikan. Menkes pun kini tidak mau menggunakan data dari Kemenkes terkait vaksinasi.
Menkes semakin yakin bahwa metode tes corona di Indonesia itu salah setelah berdiskusi dengan para epidemiolog.
“Testing kan enggak gitu harusnya. Testing itu kan epidemiologi aku diajarin temen-temenku, bukan testing mandiri, yang dites itu yang suspek. Bukan orang yang mau pergi dites kayak Budi Sadikin mau ngadep Presiden,” jelasnya.
“Nanti 5 kali terpenuhi tuh standar WHO 1 per 1.000 penduduk per minggu, tapi enggak ada gunanya secara epidemiologi. Masalah gitu-gitu yang harus diberesin,” sambungnya.
Adapun tes corona di Indonesia memang sudah ada di atas standar WHO. Minggu lalu sudah mencapai 107,6 persen dari batas bawah.
Akan tetapi, positivity rate masih tinggi, padahal seharusnya tes naik angka ini akan turun.
Sementara saat ini masih pada kisaran angka 25-27 persen, padahal batas amannya di bawah 5 persen.
“Saya di sini enggak bisa lakukan ini sendiri, harus bisa bersama-sama. Saya bilang ke temen-temen kesehatan, jangan eksklusiflah. Dan enggak bisa pemerintah hanya bikin program tapi harus jadi gerakan yang didukung semua komponen bangsa,” tegas Menkes Budi.
Menkes Kapok dengan Data Kemenkes
Kini pun Menkes kapok menggunakan data Kemenkes sebagai acuan untuk vaksinasi corona.
Hal itu karena masih ada ketidaksinkronan antara pusat dan daerah.
“Aku kapok, aku enggak percaya data nasional. Aku secara granuallity, enggak sampai provinsi sampai kab/kota kucek semua. Ternyatanya 60 persen enggak cukup,” sambungnya, sebagaimana melansir kumparan.com.
Berdasarkan hal itu, Menkes Budi ingin menggunakan data dari lembaga lain untuk vaksinasi dan justru bukan data dari Kemenkes.
“Karena Bandung 60 persen penuh, nyuntik bisa tapi di Puncak Jaya (Papua), Kalimantan Tengah, 3.000 hari baru selesai, 8 tahun baru selesai, karena fasilitasnya enggak ada. Saya sudah lihat data kab/kota, nanti saya perbaiki strategi vaksinasinya,” tegas eks Wamen BUMN ini.
“Datanya sudah kapok, saya enggak mau lagi pakai datanya Kemenkes, di-crossing-crossing data Dukcapil dan KPU. Aku pakai datanya KPU. Kita ambil KPU manual, kemarin baru pemilihan itu Jabar, kayaknya itu yang paling current, based-nya untuk rakyat di atas 17 tahun,” jelas Menkes Budi.
Tanggapan dari Pihak MPR
Lestari Moerdijat selaku Wakil Ketua MPR memberikan komentar terkait pengakuan Menkes.
“Bahwa testing COVID-19 yang selama ini kita lakukan salah secara epidemiologi cukup mengejutkan. Tidak perlu ada polemik berkepanjangan, segera lakukan perbaikan agar upaya pengendalian COVID-19 segera membuahkan hasil yang baik,” ujar Rerie sapaan akrabnya, Minggu (24/1/21).
“Pengambilan dan pengolahan sampel yang salah, menghasilkan data yang salah pula. Akibatnya, langkah yang terambil pun tidak sesuai apa yang terjadi di lapangan,” sambung Rerie.
Rerie juga berpendapat bahwa perpanjangan pemberlakuan PPKM di Jawa-Bali belum menunjukkan terkendalinya penyebaran COVID-19.
“Bahkan catatan Satgas COVID-19 menunjukkan positivity rate harian COVID-19 mencapai rekor tertinggi pada Minggu (17/1) yakni 32,83 persen. Rasio positivity rate ini, enam kali lebih tinggi daripada standar ketetapan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang hanya 5 persen,” paparnya.
Ia berharap perbaikan masalah mendasar dalam pengendalian penyebaran COVID-19 bisa segera terlaksana.
“Dengan cara dan metodologi yang benar upaya pengendalian penyebaran virus corona di Tanah Air bisa lebih terukur dan membuahkan hasil yang lebih baik,” kata Rerie.
Rerie pun berpesan agar pemerintah tak lupa untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam setiap upaya pengendalian penyebaran COVID-19 di Tanah Air.
“Libatkan masyarakat seperti dalam bentuk disiplin menjalankan protokol kesehatan dengan menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan dengan sabun dalam keseharian,” pungkasnya. (ITM)