Jakarta – Al-Qur’an, sebagai pedoman hidup umat Islam, secara tegas melarang perilaku boros yang dikenal dengan istilah tabzir. Bukan sekadar larangan biasa, tabzir dalam konteks ajaran Islam merupakan perbuatan zalim yang berdampak negatif, baik secara individu maupun sosial. Pemahaman yang komprehensif terhadap konsep tabzir sangat krusial untuk membangun kehidupan yang berlandaskan prinsip keadilan, keseimbangan, dan ketakwaan.
Berbeda dengan pandangan sekuler yang mungkin mendefinisikan boros semata-mata sebagai pengeluaran berlebihan tanpa mempertimbangkan manfaatnya, Islam memandang tabzir dari perspektif yang lebih luas dan mendalam. Bukan hanya soal jumlah pengeluaran, tetapi juga tujuan dan dampak dari pengeluaran tersebut. Seperti yang dijelaskan dalam buku "Akidah Akhlak Madrasah Aliyah Kelas XI" karya H. Aminudin dan Harjan Syuhada, Islam tidak melarang kenikmatan hidup yang halal, seperti menikmati makanan lezat, berpakaian indah, atau berhias diri. Namun, batas antara kenikmatan yang diridhoi Allah SWT dan perilaku tabzir terletak pada prinsip kesederhanaan dan menghindari pemborosan.
Buku "Mengubah Nasib dengan Al-Qur’an: Kumpulan Ayat Al-Qur’an yang Memotivasi Hidup" karya Didik Andriawan, S.T., mengungkapkan inti permasalahan ini dengan gamblang: pemboros adalah teman setan. Pernyataan ini bukan sekadar metafora, melainkan refleksi dari konsekuensi spiritual dan moral dari perilaku tabzir. Ia menunjukkan bahwa pemborosan berakar pada sifat-sifat tercela yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman.
Para ulama terdahulu telah memberikan penafsiran yang mendalam terhadap makna tabzir. Abdullah ibn Mas’ud, salah satu sahabat Nabi SAW yang dikenal dengan keilmuannya, mendefinisikan tabzir sebagai pengeluaran harta di luar kepentingan yang benar. Mujahid RA menambahkan nuansa penting: pengeluaran harta yang seluruhnya digunakan untuk kebaikan bukanlah tabzir, namun sekecil apa pun pengeluaran untuk hal yang batil sudah termasuk tabzir. Qatadah RA lebih lanjut menjelaskan bahwa tabzir meliputi pengeluaran harta untuk tujuan maksiat, kepentingan yang tidak benar, dan perbuatan yang merusak.
Ayat Al-Qur’an yang paling sering dikutip untuk menjelaskan tabzir adalah Surah Al-Isra’ ayat 26:
"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros."
Tafsir Tarbawi: Nilai-nilai Pendidikan dalam Al-Qur’an karya Prof. Dr. H. Salman Harun menjelaskan bahwa tabzir dalam ayat ini merujuk pada pengeluaran uang untuk hal-hal yang tidak perlu. Memberikan kepada kerabat, orang miskin, dan orang yang sedang dalam perjalanan haruslah sesuai kebutuhan. Kelebihan dari kebutuhan tersebut termasuk mubazir atau boros. Namun, bagi pemberi, pengeluaran berapa pun untuk kebaikan tidak termasuk mubazir. Contohnya, kisah Abu Bakar RA yang menyerahkan seluruh hartanya dan Utsman bin Affan RA yang menyerahkan setengah hartanya untuk keperluan perang membela diri dari serangan musuh. Rasulullah SAW menerima sumbangan tersebut dan tidak menganggapnya sebagai pemborosan, menunjukkan bahwa niat dan tujuan mulia dapat melampaui batasan kuantitatif dalam bersedekah.
Allah SWT dengan tegas melarang perilaku boros dalam firman-Nya: "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-Isra’: 27). Ayat ini menegaskan hubungan erat antara tabzir dan sifat-sifat setan, menunjukkan bahwa pemborosan merupakan manifestasi dari ketidaktaatan dan pengingkaran kepada Allah SWT.
Untuk menghindari tabzir, Islam menganjurkan hidup tawassuth (seimbang). Surah Al-A’raf ayat 31 mengajarkan:
"(Hai anak Adam), pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan."
Ayat ini menekankan pentingnya keseimbangan antara memenuhi kebutuhan dan menghindari kelebihan. Pakaian yang indah diperbolehkan, makan dan minum yang lezat juga diperbolehkan, tetapi semuanya harus dalam batas kewajaran dan tidak berlebihan. Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan, karena hal itu dapat mengarah pada tabzir dan berbagai dampak negatif lainnya.
Buku "Dari Mana Masuknya Setan" karya Abdul Hamid Al Bilali mengklasifikasikan tabzir ke dalam tiga jenis:
-
Boros dalam Harta: Ini merupakan bentuk tabzir yang paling umum dipahami. Asyhab meriwayatkan dari Malik bahwa tabzir adalah mengambil harta dari yang hak, tetapi menafkahkannya tidak pada haknya. Pemborosan harta ini hukumnya haram.
-
Mubazir dalam Kesehatan: Rasulullah SAW bersabda, "Ada dua nikmat yang kebanyakan orang tertipu olehnya yaitu, nikmat sehat dan waktu luang." (HR Bukhari). Banyak orang yang diberi kesehatan, tetapi tidak memanfaatkannya untuk beribadah dan beramal saleh. Mereka baru menyesal ketika sakit, merupakan bentuk pemborosan nikmat kesehatan yang diberikan Allah SWT.
-
Mubazir dalam Waktu: Imam Ibnul-Jauzi menjelaskan bahwa seseorang bisa saja sehat tetapi tidak memiliki kesempatan untuk beramal, atau kaya tetapi tidak sehat. Jika kedua hal ini bertemu, tetapi ia malas dan meninggalkan ketaatan, maka ia telah memboroskan waktu dan kesempatan yang berharga.
Kesimpulannya, tabzir bukan hanya sekadar pemborosan materi, melainkan mencakup pemborosan waktu, kesehatan, dan segala potensi yang diberikan Allah SWT. Ia merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam karena berakar pada sifat-sifat tercela dan berdampak negatif terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang tabzir dan penerapan prinsip tawassuth dalam kehidupan sehari-hari sangat penting bagi setiap muslim untuk mencapai kehidupan yang diridhoi Allah SWT. Hidup sederhana, berhemat, dan memanfaatkan segala potensi dengan sebaik-baiknya merupakan wujud nyata dari menghindari tabzir dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.