Damaskus, Suriah – Dunia menyaksikan babak baru yang mencekam dalam sejarah Suriah. Setelah berminggu-minggu pertempuran sengit, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok militan Islam yang pernah berafiliasi dengan al-Qaeda, secara mengejutkan telah menguasai Suriah. Pengumuman kemenangan ini disampaikan langsung oleh pemimpin HTS, Abu Mohammed al-Jolani, di Masjid Umayyah, Damaskus, sebuah simbol penting sejarah dan keagamaan Suriah, menandai berakhirnya era pemerintahan keluarga Assad yang berlangsung selama lebih dari setengah abad.
Deklarasi kemenangan al-Jolani disambut dengan campuran ketakutan dan ketidakpastian. Dalam pidatonya yang disiarkan oleh Al-Jazeera pada Senin, 9 Desember 2024, al-Jolani melukiskan gambaran suram tentang pemerintahan Bashar al-Assad, menuduh rezim tersebut melakukan penahanan massal terhadap warga sipil tanpa proses hukum yang adil. "Rezim telah memenjarakan ribuan warga sipilnya sendiri secara tidak adil dan tanpa melakukan kejahatan apa pun," tegasnya, seraya menambahkan, "Kami (masyarakat Suriah) adalah pemilik sah (negara ini). Kami telah berjuang dan hari ini kami diganjar dengan kemenangan ini." Pernyataan ini, meskipun dibalut retorika pembebasan, menimbulkan kekhawatiran akan potensi pelanggaran HAM yang lebih besar di bawah kekuasaan HTS.
Al-Jolani menggambarkan pengambilalihan kekuasaan ini sebagai "sejarah baru" yang ditulis di wilayah tersebut. Klaim ini, bagaimanapun, jauh dari merayakan pembebasan, melainkan menandai dimulainya era yang penuh dengan ketidakpastian dan ancaman bagi stabilitas regional. Suriah, negara yang terletak di jantung Timur Tengah, berbatasan dengan Turki, Irak, Yordania, Israel, dan Lebanon, selama ini menjadi titik panas konflik dan perebutan pengaruh geopolitik. Kejatuhan rezim Assad ke tangan HTS berpotensi memicu gelombang baru ketidakstabilan dan kekerasan, mengancam perdamaian regional dan internasional.
Kronologi Kejatuhan Rezim Assad:
Peristiwa yang mengarah pada kekalahan mendadak Presiden Bashar al-Assad bermula dari sebuah serangan besar-besaran yang dilancarkan oleh koalisi oposisi bersenjata Suriah yang dipimpin HTS, didukung oleh beberapa faksi sekutu yang diduga mendapat dukungan dari Turki. Serangan yang diberi nama "Operasi Pencegahan Agresi" ini dimulai pada 27 November 2024, dengan target utama di Idlib dan provinsi tetangga Aleppo. Kecepatan dan keganasan serangan ini mengejutkan banyak pihak. Dalam waktu kurang dari tiga hari, Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah, jatuh ke tangan oposisi.
Keberhasilan awal ini memberikan momentum yang luar biasa bagi HTS dan sekutunya. Mereka melancarkan serangan kilat yang sistematis, memanfaatkan kelemahan internal rezim Assad yang telah lama terbebani oleh perang saudara yang berkepanjangan. Kurang dari dua minggu, pasukan HTS berhasil menguasai wilayah-wilayah kunci di Suriah, termasuk kota-kota strategis dan infrastruktur vital. Puncaknya, pada Minggu dini hari, 8 Desember 2024, pasukan HTS menyerbu Damaskus, ibu kota Suriah. Presiden Bashar al-Assad, yang telah berkuasa sejak tahun 2000, dilaporkan meninggalkan Damaskus tanpa diketahui tujuannya.
Laporan dari kantor berita Rusia, yang dikutip oleh BBC, menyebutkan bahwa al-Assad dan keluarganya telah tiba di Moskow dan diberikan suaka oleh pemerintah Rusia "atas dasar pertimbangan kemanusiaan." Langkah ini menimbulkan spekulasi mengenai peran Rusia dalam konflik Suriah dan implikasi geopolitik yang lebih luas. Kehadiran al-Assad di Moskow juga menunjukkan betapa runtuhnya rezimnya terjadi dengan cepat dan tak terduga.
Siapa HTS dan Ancaman yang Dibawanya?
Hayat Tahrir al-Sham (HTS) bukanlah aktor baru dalam konflik Suriah. Kelompok ini merupakan koalisi kelompok militan Islam yang awalnya berafiliasi dengan al-Qaeda. Bermula sebagai Jabhat al-Nusra selama Perang Saudara Suriah yang dimulai pada tahun 2011, HTS telah mengalami beberapa perubahan nama dan struktur organisasi. Namun, inti ideologisnya tetap mengkhawatirkan, dengan komitmennya terhadap interpretasi garis keras Islam dan penggunaan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan politiknya.
Abu Mohammed al-Jolani, pemimpin HTS, telah lama menjadi tokoh kunci dalam konflik Suriah. Ia memimpin Jabhat al-Nusra sebelum merger yang membentuk HTS. Meskipun HTS telah mencoba untuk menjauhkan diri dari citra al-Qaeda, Barat masih menganggap HTS sebagai organisasi teroris. Hal ini menunjukkan betapa berbahayanya pengambilalihan kekuasaan oleh HTS bagi keamanan regional dan internasional.
Kemenangan HTS menimbulkan kekhawatiran serius tentang masa depan Suriah. Kelompok ini memiliki rekam jejak pelanggaran HAM yang mengerikan, termasuk pembunuhan warga sipil, penculikan, dan penghancuran infrastruktur. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pemerintahan yang didominasi kelompok-kelompok ekstremis seperti HTS seringkali disertai dengan penindasan, ketidakadilan, dan pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis.
Implikasi Regional dan Internasional:
Kejatuhan rezim Assad dan munculnya HTS sebagai kekuatan dominan di Suriah memiliki implikasi yang luas bagi kawasan dan dunia internasional. Stabilitas regional yang sudah rapuh kini semakin terancam. Potensi meningkatnya aktivitas teroris, aliran pengungsi, dan konflik antar kelompok bersenjata merupakan beberapa ancaman yang perlu diwaspadai.
Peran Turki dalam konflik ini juga patut mendapat perhatian. Dugaan dukungan Turki terhadap beberapa faksi sekutu HTS menimbulkan pertanyaan tentang tujuan strategis Ankara dan potensi implikasinya bagi hubungan Turki dengan negara-negara lain di kawasan tersebut. Peran Rusia, yang memberikan suaka kepada al-Assad, juga perlu dikaji lebih lanjut. Langkah ini menunjukkan kompleksitas hubungan antara Rusia, Suriah, dan negara-negara lain yang terlibat dalam konflik tersebut.
Ke depan, dunia internasional perlu merespon situasi ini dengan langkah-langkah yang terkoordinasi dan efektif. Diplomasi, bantuan kemanusiaan, dan upaya pencegahan terorisme menjadi krusial untuk mencegah Suriah menjadi basis bagi kelompok-kelompok ekstremis dan melindungi warga sipil dari kekerasan. Namun, tantangannya sangat besar, mengingat kompleksitas konflik Suriah dan kepentingan berbagai aktor yang terlibat.
Kejatuhan Suriah ke tangan HTS bukanlah sekadar pergantian rezim, melainkan sebuah tragedi yang berpotensi memicu krisis kemanusiaan dan ketidakstabilan regional yang lebih besar. Dunia internasional harus bertindak cepat dan tegas untuk mencegah skenario terburuk dan memastikan bahwa rakyat Suriah tidak lagi menjadi korban konflik yang tak berujung. Masa depan Suriah kini berada di ujung tanduk, dan respons internasional yang terkoordinasi dan efektif menjadi kunci untuk menentukan nasib negara yang telah lama dilanda perang ini.