Sunan Gunung Jati, nama yang harum dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa, menyimpan misteri di balik identitasnya yang kaya akan julukan dan gelar. Lebih dikenal dengan nama Syarif Hidayatullah, sosok ini bukan hanya seorang penyebar agama yang ulung, tetapi juga pendiri Kesultanan Cirebon, sebuah kerajaan Islam yang berpengaruh di Nusantara. Namun, siapa sebenarnya Sunan Gunung Jati, dan bagaimana perjalanan hidupnya yang begitu monumental?
Silsilah dan Kelahiran Sang Sultan:
Berbagai sumber sejarah mencatat, Syarif Hidayatullah, atau Sunan Gunung Jati, diperkirakan lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Silsilahnya yang mulia menjadi salah satu faktor penting dalam pengaruhnya. Ayahnya, Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang mubaligh dan musafir terkemuka asal Gujarat, India, dikenal di kalangan Sufi dengan gelar Syekh Maulana Akbar. Silsilah keluarga Syekh Maulana Akbar terhubung langsung dengan Rasulullah SAW melalui Imam Husain, sebuah silsilah yang memberikan legitimasi keagamaan dan wibawa yang tinggi bagi Sunan Gunung Jati.
Ibunya, Nyai Rara Santang, menambah kompleksitas dan signifikansi sejarah Sunan Gunung Jati. Nyai Rara Santang adalah putri dari Prabu Siliwangi, penguasa Kerajaan Pajajaran, dan Nyai Subang Larang. Keterkaitan dengan kerajaan Hindu terbesar di Jawa Barat ini memberikan Sunan Gunung Jati akses dan pengaruh yang signifikan dalam proses Islamisasi Jawa. Hubungan keluarga ini juga menghubungkannya dengan tokoh-tokoh penting lainnya, seperti Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang (Cakrabuwana atau Mbah Kuwu Cirebon Girang), yang pernah berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang mubaligh asal Baghdad. Perpaduan darah bangsawan Pajajaran dan keturunan Rasulullah SAW menjadikan Sunan Gunung Jati figur yang unik dan berpengaruh dalam konteks sosial-politik dan keagamaan saat itu.
Pluralitas Nama dan Gelar:
Keunikan Sunan Gunung Jati juga tercermin dari banyaknya nama dan gelar yang melekat padanya. Selain Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunung Jati, ia juga dikenal sebagai Muhammad Nuruddin, Syekh Nurullah, Sayyid Kamil, Bulkiyyah, Syekh Madzukurullah, dan Makdum Jati. Beberapa babad bahkan menyebutnya dengan nama Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Israil, Said Kamil, dan Maulana Syekh Makdum Rahmatullah. Pluralitas nama ini mencerminkan kompleksitas peran dan pengaruhnya di berbagai lapisan masyarakat dan wilayah. Nama-nama ini juga menunjukkan perjalanan spiritual dan politiknya yang panjang dan beragam. Perdebatan seputar nama Falatehan atau Fatahillah yang juga dikaitkan dengannya masih menjadi bahan kajian para sejarawan hingga kini, menunjukkan betapa kompleks dan menariknya riwayat hidup tokoh ini.
Perjalanan Dakwah dan Politik:
Perjalanan hidup Sunan Gunung Jati bukan hanya perjalanan spiritual, tetapi juga perjalanan politik yang penuh strategi dan diplomasi. Pada tahun-tahun awal pemerintahannya, ia mengunjungi kakeknya, Prabu Siliwangi, di Pajajaran. Meskipun Prabu Siliwangi tidak memeluk Islam, ia tidak menghalangi cucunya untuk menyebarkan agama tersebut. Hal ini menunjukkan kebijaksanaan dan toleransi yang penting dalam konteks penyebaran Islam di Jawa.
Dari Pajajaran, Sunan Gunung Jati melanjutkan perjalanan dakwahnya ke Serang, sebuah wilayah yang telah memiliki basis masyarakat Muslim berkat kedatangan para pedagang Arab dan Gujarat. Ia tidak bekerja sendirian. Keterlibatannya dalam berbagai musyawarah di Masjid Demak dengan para wali lainnya menunjukkan kolaborasi dan strategi dakwah yang terencana dan terintegrasi. Hubungan eratnya dengan Sultan Demak dan para wali Songo menjadi kunci keberhasilannya dalam mendirikan Kesultanan Pakungwati di Cirebon dan memproklamirkan dirinya sebagai sultan pertama.
Strategi dakwah Sunan Gunung Jati tidak hanya berfokus pada aspek keagamaan semata. Ia membangun infrastruktur penting untuk mendukung penyebaran Islam dan memperkuat kerajaan. Pembangunan masjid agung di Cirebon dan masjid-masjid lainnya di wilayah kekuasaannya menjadi pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan. Ia juga membangun keraton, mengembangkan jalur transportasi laut, sungai, dan darat, serta membentuk pasukan keamanan yang handal. Semua ini menunjukkan visi kepemimpinan yang komprehensif dan berwawasan jauh ke depan.
Sunan Gunung Jati sebagai Guru dan Pemimpin:
Dalam tahun-tahun awal dakwahnya di Cirebon, Sunan Gunung Jati menggantikan posisi Syekh Datuk Kahfi di Gunung Sembung sebagai guru agama. Ia mendapatkan gelar Syekh Maulana Jati, yang kemudian disingkat menjadi Syekh Jati, menunjukkan pengakuan dan penerimaan masyarakat terhadap kepemimpinannya. Ia aktif bermusyawarah dengan tokoh-tokoh agama lainnya, seperti Syekh Nurruljati, dan memberikan pelajaran serta nasihat kepada para pangeran, seperti Pangeran Kendal, Pangeran Kajoran, dan Pangeran Makdum. Ia juga berdiskusi dengan Syekh Ampel Denta mengenai berbagai ilmu agama, menunjukkan kerendahan hati dan semangat belajar yang tinggi.
Jangkauan dakwah Sunan Gunung Jati sangat luas. Ia memberikan pelajaran kepada Syekh Nataullah di Nusakambangan, berdakwah di Madura, mengajak Raja Keling yang beragama Buddha untuk memeluk Islam, serta menyebarkan ajaran Islam di Campa. Ia bahkan memberikan pelajaran kepada Sunan Kalijaga, menunjukkan peran pentingnya dalam jaringan dakwah para wali Songo.
Peran Sunan Gunung Jati tidak hanya sebagai penyebar agama, tetapi juga sebagai pemimpin yang bijaksana dalam menyelesaikan konflik. Ia berperan penting dalam menyelesaikan perselisihan ajaran antara Syekh Siti Jenar dan para wali lainnya. Sebagai pemimpin yang arif, ia mengadakan sidang agama yang melibatkan para wali Songo untuk menyatukan ajaran-ajaran Islam yang berkembang di Jawa, menunjukkan kepemimpinannya yang mampu merangkul perbedaan dan menjaga persatuan umat.
Ekspansi Wilayah dan Legasi:
Sebagai Sultan, Sunan Gunung Jati tidak hanya fokus pada penyebaran agama, tetapi juga pada perluasan wilayah kekuasaannya. Ia menaklukkan wilayah Galuh, Kuningan, dan Telaga, memperluas pengaruh Kesultanan Cirebon dan memperkuat posisinya sebagai kekuatan politik utama di Jawa Barat.
Sunan Gunung Jati meninggalkan warisan yang sangat besar bagi perkembangan Islam dan Indonesia. Ia bukan hanya seorang penyebar agama yang ulung, tetapi juga seorang pemimpin politik yang handal, seorang diplomat yang ulung, dan seorang negarawan yang visioner. Kesultanan Cirebon yang didirikannya menjadi salah satu kerajaan Islam terkuat di Nusantara, dan pengaruhnya masih terasa hingga saat ini. Kisah hidupnya yang kaya akan dinamika dan kompleksitas menjadi inspirasi bagi generasi penerus dalam membangun bangsa yang beradab dan bermartabat. Riset dan kajian lebih lanjut mengenai sosok Sunan Gunung Jati masih sangat diperlukan untuk mengungkap lebih banyak detail dan mengoreksi berbagai interpretasi yang mungkin bias. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah Islam di Indonesia, dan studinya akan terus relevan bagi pemahaman sejarah dan kebudayaan bangsa.