Perdebatan seputar status najis air mani telah berlangsung lama di kalangan ulama Islam. Cairan kental berwarna putih yang keluar akibat rangsangan syahwat ini, meski memiliki konsekuensi ritual berupa mandi junub bagi umat Muslim, menimbulkan perbedaan pendapat yang signifikan mengenai kesuciannya. Pemahaman yang komprehensif mengenai isu ini memerlukan pengkajian mendalam berbagai hadits, pendapat mazhab, dan pemahaman kontekstual hukum Islam.
Pendapat Jumhur Ulama: Air Mani sebagai Najis
Sebagian besar ulama (jumhur), termasuk mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, menetapkan air mani sebagai najis. Pendapat ini bersandar pada beberapa dalil, terutama hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA. Dalam hadits tersebut, Aisyah RA menceritakan bagaimana beliau membersihkan bekas air mani Rasulullah SAW yang mengering di pakaian beliau, lalu Rasulullah SAW tetap melaksanakan salat. Hadits ini, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, menjadi rujukan utama bagi mereka yang berpendapat air mani najis. Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun bekas air mani telah mengering, proses pembersihan tetap dilakukan sebelum salat.
Selain hadits Aisyah RA, atsar (perkataan) dari Abu Hurairah RA juga memperkuat pendapat ini. Abu Hurairah RA berfatwa bahwa jika air mani terlihat, maka cukup membersihkan bagian yang terkena, namun jika tidak terlihat, maka seluruh pakaian harus dicuci. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib RA yang menyamakan status air mani dengan air kencing, yang secara umum disepakati sebagai najis. Argumentasi ini memperkuat pandangan jumhur ulama yang menganggap air mani sebagai najis dan memerlukan proses penyucian.
Pendapat Mazhab Syafi’i: Pengecualian terhadap Air Mani
Berbeda dengan jumhur ulama, mazhab Syafi’iyyah berpendapat bahwa air mani bukanlah najis. Mereka berargumen bahwa meskipun semua cairan yang keluar dari kemaluan, baik depan maupun belakang, pada umumnya dianggap najis, air mani dan turunannya dikecualikan. Pendapat ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA, di mana Rasulullah SAW ditanya tentang hukum air mani yang mengenai pakaian. Beliau menjawab bahwa air mani hukumnya sama seperti dahak atau lendir, cukup dilap dengan kain. Karena dahak dan lendir tidak termasuk najis, maka analogi ini digunakan untuk menyatakan bahwa air mani juga tidak termasuk najis.
Perbedaan penafsiran hadits ini menjadi inti perdebatan. Jumhur ulama menekankan pada tindakan Aisyah RA yang membersihkan bekas air mani, sementara mazhab Syafi’i lebih fokus pada perumpamaan Rasulullah SAW dengan dahak dan lendir. Perbedaan interpretasi ini menunjukkan kompleksitas dalam memahami dan menerapkan hukum fiqih, di mana konteks dan pemahaman terhadap hadits menjadi kunci utama.
Membedakan Mani, Wadi, dan Madzi: Perbedaan Cairan dan Hukumnya
Selain air mani (mani), terdapat dua jenis cairan lain yang keluar dari kemaluan, yaitu wadi dan madzi. Ketiga cairan ini, meskipun memiliki kesamaan sebagai cairan yang keluar dari kemaluan, memiliki perbedaan karakteristik dan hukum.
Mani, seperti yang telah dijelaskan, merupakan cairan kental berwarna putih yang keluar disertai kenikmatan seksual. Status najisnya masih diperdebatkan, tergantung pada mazhab yang dianut.
Madzi, berbeda dengan mani, merupakan cairan encer dan bening yang keluar akibat rangsangan seksual, tanpa disertai kenikmatan. Madzi, menurut sebagian besar ulama, termasuk najis dan memerlukan penyucian. Karena sifatnya yang mudah keluar, madzi dianggap sebagai najis yang sulit dihindari, tetapi tetap memerlukan penyucian sesuai dengan ketentuan syariat.
Wadi, merupakan cairan putih kental dan keruh yang keluar setelah atau bersamaan dengan air seni. Ulama umumnya sepakat bahwa wadi termasuk najis dan memerlukan penyucian. Ketiga cairan ini, meskipun berbeda karakteristiknya, menunjukkan pentingnya pemahaman yang tepat tentang jenis cairan yang keluar dari kemaluan untuk menentukan tata cara penyucian yang benar.
Tata Cara Penyucian dan Tingkatan Najis
Proses penyucian najis, termasuk air mani jika dianggap najis, bervariasi tergantung pada jenis dan tingkat najis. Najis dikategorikan menjadi tiga tingkat: mukhaffafah (najis ringan), mutawasithah (najis sedang), dan mughallazah (najis berat). Air mani, jika dianggap najis, mungkin termasuk dalam kategori mutawasithah, yang memerlukan pencucian hingga bersih dari warna, bau, dan rasa. Namun, jika hanya bekas air mani yang kering, cukup dengan mengeriknya, sesuai dengan hadits Aisyah RA.
Penyucian najis mukhaffafah cukup dengan memercikkan air suci. Najis mutawasithah ainiyah memerlukan pencucian menyeluruh, sedangkan mutawasithah hukmiyah cukup dengan membasuh dan mengalirkan air suci. Najis mughallazah, yang merupakan najis paling berat, memerlukan pencucian sebanyak tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah atau debu, baru kemudian dibasuh dengan air suci.
Kesimpulan:
Perdebatan mengenai status najis air mani mencerminkan kompleksitas hukum Islam dan pentingnya memahami berbagai perspektif ulama. Meskipun terdapat perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan mazhab Syafi’i, keduanya menekankan pentingnya kesucian dan pelaksanaan ibadah sesuai dengan ketentuan syariat. Pemahaman yang komprehensif mengenai perbedaan pendapat ini, serta tata cara penyucian najis, menjadi hal yang krusial bagi setiap muslim dalam menjalankan ibadah dan menjaga kesucian diri. Penting untuk mengkaji lebih lanjut berbagai sumber fiqih dan berdiskusi dengan ulama yang berkompeten untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Pada akhirnya, pentingnya menjaga kebersihan dan kesucian diri merupakan prinsip fundamental dalam Islam, terlepas dari perbedaan pendapat mengenai status najis air mani.