Konsumsi makanan halal dan thayyib (baik) merupakan prinsip fundamental dalam ajaran Islam. Namun, pertanyaan mengenai kehalalan sejumlah hewan seringkali menimbulkan perdebatan, salah satunya adalah bulus ( Trionychidae), sejenis kura-kura berpunggung lunak yang memiliki nilai ekonomi dan pengobatan tradisional. Artikel ini akan mengkaji secara mendalam status kehalalan bulus berdasarkan pandangan ulama, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta implikasinya terhadap praktik konsumsi dan konservasi satwa ini.
Bulus: Antara Kuliner dan Khasiat Obat
Bulus, yang juga dikenal sebagai labi-labi, merupakan reptil yang hidup di perairan tawar dan daratan. Hewan ini telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat, baik sebagai sumber protein maupun bahan baku pengobatan tradisional. Daging bulus dipercaya memiliki khasiat tertentu, sementara minyaknya digunakan dalam beberapa produk kosmetik untuk melembutkan kulit dan mengatasi masalah kulit seperti gatal-gatal. Popularitasnya sebagai bahan pangan dan obat tradisional ini telah mendorong perburuan bulus di alam liar, menimbulkan kekhawatiran terhadap kelestarian populasinya.
Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Kehalalan Bulus
Kehalalan bulus dalam perspektif Islam menjadi perdebatan di kalangan ulama. Tidak adanya hadits Rasulullah SAW yang secara eksplisit membahas kehalalan atau keharaman bulus menjadi salah satu penyebabnya. Perbedaan pendapat ini muncul dari interpretasi terhadap hukum umum tentang hewan yang boleh dikonsumsi dan penafsiran terhadap hadits-hadits yang berkaitan dengan hewan air dan darat.
MUI, dalam situs resminya, mencatat adanya perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab fiqih. Sebagai contoh, kitab al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa mengutip pandangan Imam Malik dari mazhab Maliki yang menyatakan bahwa kura-kura, termasuk bulus, diperbolehkan diburu oleh orang yang sedang ihram. Hal ini mengindikasikan bahwa Imam Malik menganggap kura-kura sebagai hewan halal, meskipun tanpa disembelih. Namun, pandangan ini berbeda dengan pendapat Ibnu Nafi’ yang menekankan perlunya penyembelihan kura-kura sebelum dikonsumsi, sehingga tidak boleh diburu oleh orang yang sedang ihram. Lebih lanjut, Imam Malik sendiri dalam kitab al-Mabsuth menyatakan bahwa kura-kura darat tidak boleh diburu oleh orang yang sedang ihram. Perbedaan pendapat ini menunjukkan kompleksitas dalam menentukan status kehalalan bulus berdasarkan referensi klasik fiqih.
Fatwa MUI Nomor 51 Tahun 2019: Kehalalan Bersyarat
Menimbang perbedaan pendapat tersebut, MUI akhirnya mengeluarkan Fatwa Nomor 51 Tahun 2019 yang memberikan kejelasan mengenai status kehalalan bulus. Fatwa ini menyatakan bahwa bulus halal untuk dikonsumsi (ma’kul al-lahmi) dengan syarat disembelih sesuai dengan syariat Islam, yakni dengan menyebut nama Allah. Syarat penyembelihan ini menjadi poin penting yang membedakan pandangan MUI dengan beberapa pendapat ulama yang memperbolehkan konsumsi bulus tanpa penyembelihan. Fatwa ini memberikan kepastian hukum bagi umat Islam yang ingin mengonsumsi bulus, sekaligus menekankan pentingnya mengikuti prosedur syariat dalam penyembelihan hewan.
Penjelasan Lebih Lanjut dalam Fatwa MUI:
Fatwa MUI Nomor 51 Tahun 2019 memberikan definisi yang jelas mengenai bulus yang dimaksud, yaitu hewan darat yang berhabitat di air, bukan hewan amfibi. Hewan ini bernapas menggunakan paru-paru dan termasuk dalam suku Trionychidae. Fatwa tersebut kemudian menetapkan dua ketentuan hukum utama:
-
Kehalalan Bersyarat: Bulus halal dikonsumsi dengan syarat disembelih secara syar’i. Ini menegaskan pentingnya mengikuti prosedur penyembelihan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk memastikan kehalalan daging bulus.
-
Perlindungan Satwa Langka: Fatwa ini juga menekankan pentingnya perlindungan bulus di daerah-daerah yang telah ditetapkan sebagai satwa langka. Konsumsi bulus harus mempertimbangkan aspek konservasi dan kelestarian lingkungan.
Fatwa MUI juga memberikan beberapa rekomendasi, antara lain himbauan kepada umat Islam untuk menjadikan fatwa ini sebagai pedoman, serta permintaan kepada pemegang otoritas untuk menggunakan fatwa ini sebagai acuan dalam proses sertifikasi halal produk yang mengandung bulus. Rekomendasi yang sangat penting adalah himbauan untuk melakukan budidaya dan penangkaran bulus guna menjaga kelestarian populasinya dan memenuhi kebutuhan industri pangan tanpa mengancam keberadaannya di alam liar.
Implikasi terhadap Konsumsi dan Konservasi
Fatwa MUI Nomor 51 Tahun 2019 memberikan solusi atas permasalahan kehalalan bulus, namun juga menyoroti pentingnya keseimbangan antara kebutuhan manusia dan pelestarian lingkungan. Meskipun bulus dinyatakan halal dengan syarat tertentu, konsumsinya harus dilakukan secara bijak dan bertanggung jawab. Perburuan bulus secara liar harus dihindari untuk mencegah kepunahan spesies ini. Budidaya dan penangkaran bulus menjadi solusi yang ideal untuk memenuhi kebutuhan pasar tanpa merusak ekosistem.
Industri pangan yang menggunakan bulus sebagai bahan baku perlu memperhatikan aspek keberlanjutan dan konservasi. Sertifikasi halal yang mengacu pada Fatwa MUI menjadi jaminan bagi konsumen akan kehalalan dan keamanan produk yang dikonsumsi. Selain itu, pemerintah dan lembaga terkait perlu berperan aktif dalam pengawasan dan perlindungan bulus di habitat aslinya.
Kesimpulan
Status kehalalan bulus telah memperoleh kejelasan melalui Fatwa MUI Nomor 51 Tahun 2019. Kehalalannya bersifat bersyarat, yaitu harus disembelih sesuai syariat Islam. Namun, aspek konservasi dan keberlanjutan juga menjadi pertimbangan penting dalam konsumsi bulus. Budidaya dan penangkaran bulus merupakan solusi yang ideal untuk memenuhi kebutuhan pasar tanpa mengancam kelestarian spesies ini. Kerjasama antara pemerintah, lembaga terkait, industri pangan, dan masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan pemanfaatan bulus sambil menjaga kelestarian lingkungan. Konsumsi bulus harus didasarkan pada prinsip-prinsip syariat Islam dan tanggung jawab lingkungan yang tinggi.