Jakarta – Ajaran Islam menekankan pentingnya berdoa sebagai bentuk ibadah dan komunikasi langsung dengan Allah SWT. Al-Qur’an sendiri menjanjikan pengabulan doa, seperti yang termaktub dalam surah Ghafir ayat 60: “(Artinya) Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (apa yang kamu harapkan). Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk (neraka) Jahanam dalam keadaan hina dina.” Ayat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, menjadi seruan langsung dari Allah SWT untuk hamba-Nya agar senantiasa berdoa dan memohon kepada-Nya.
Namun, praktik berdoa yang ideal tidak hanya sebatas pengucapan kata-kata, melainkan juga membutuhkan adab dan kesungguhan hati. Buya Hamka sendiri merumuskan beberapa adab tersebut, antara lain: keikhlasan dalam niat, keyakinan akan pengabulan doa, dan pemahaman bahwa kesempatan untuk berdoa itu sendiri merupakan karunia (taufik) dari Allah SWT yang menjadikan hamba lebih dekat kepada-Nya. Terkabulnya doa, dalam konteks ini, merupakan karunia tambahan.
Realitasnya, tidak semua doa dikabulkan secara instan. Seringkali, permohonan yang kita panjatkan tampaknya tak kunjung mendapat respons di dunia. Namun, ajaran Islam memberikan pemahaman yang menenangkan: doa yang tak terkabul di dunia bisa menjadi simpanan pahala di akhirat. Konsep ini dijelaskan dalam berbagai hadis Nabi Muhammad SAW.
Salah satu hadis yang relevan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih Adabul Mufrad, kemudian ditakhrij oleh Syekh Al-Albani dan diterjemahkan oleh Abu Ahsan. Hadis tersebut berbunyi (dengan redaksi yang telah disesuaikan untuk kejelasan): “Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa, selama ia tidak berdoa untuk sesuatu yang haram atau memutuskan silaturahmi, kecuali Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga hal: Doanya dikabulkan segera; doanya disimpan sebagai simpanan pahala untuk hari kemudian (akhirat); atau Allah akan menolak darinya keburukan yang setara dengan apa yang ia minta.” Abu Said Al-Khudri, yang meriwayatkan hadis ini, menambahkan, “Jika demikian, maka marilah kita perbanyak doa!” Nabi SAW menjawab, “Allah lebih banyak (memberikan).” Kesahihan hadis ini diperkuat oleh kemunculannya dalam kitab Takhrijut-Targhibi dan juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam kitab Ad-Da’awaah dari Ubadah bin Shamit.
Hadis ini memberikan perspektif yang mendalam. Ia menjelaskan bahwa doa yang tak terkabul bukanlah tanda kegagalan atau kurangnya kekuasaan Allah SWT. Sebaliknya, doa tersebut bisa menjadi investasi akhirat, sebuah tabungan pahala yang akan dibalas kelak di sisi Allah SWT. Ini memberikan penghiburan dan motivasi bagi mereka yang merasa doa-doanya belum terkabul di dunia. Kegagalan mendapatkan apa yang diinginkan di dunia tidak serta merta meniadakan nilai ibadah dan kebaikan yang terkandung dalam doa tersebut.
Hadis lain yang memperkuat konsep ini diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Nabi Muhammad SAW bersabda (dengan redaksi yang telah disesuaikan): “Tidak ada seorang mukmin pun yang mengangkat wajahnya kepada Allah SWT seraya memohon, kecuali Allah pasti akan mengabulkannya. Adakalanya dikabulkan dengan disegerakan-Nya di dunia, dan adakalanya dijadikan simpanan baginya besok di akhirat, selama ia tidak tergesa-gesa.” Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan tergesa-gesa itu?” Nabi SAW menjawab, “Dia berkata, ‘Saya telah berdoa, dan berdoa, tetapi tidak pula dikabulkan-Nya.’” Hadis ini juga dinyatakan shahih dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Abu Daud, dan Muslim.
Hadis ini menekankan pentingnya kesabaran dan keteguhan dalam berdoa. Sikap tergesa-gesa, yakni kecewa dan putus asa karena doa tak kunjung terkabul, dapat mengurangi pahala dan bahkan menghilangkan potensi simpanan pahala di akhirat. Sikap yang bijak adalah terus berdoa dengan penuh harapan dan keyakinan kepada Allah SWT, serta menerima keputusan-Nya dengan lapang dada.
Lebih jauh lagi, ajaran Islam juga menjelaskan tentang waktu-waktu mustajab untuk berdoa, yakni waktu-waktu di mana doa lebih besar kemungkinannya untuk dikabulkan. Salah satu waktu mustajab yang paling sering disebutkan adalah sepertiga malam terakhir. Rasulullah SAW bersabda (HR Bukhari dan Muslim): “Pada setiap malam Tuhan kami Tabaraka wa Ta’ala turun (ke langit dunia), ketika tinggal sepertiga malam yang akhir Dia berfirman, ‘Barang siapa yang menyeru-Ku, akan Aku perkenankan seruannya. Barang siapa yang meminta kepada-Ku, Aku perkenankan permintaannya. Dan barang siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, Aku ampuni dia.’”
Hadis ini menunjukkan bahwa Allah SWT senantiasa dekat dengan hamba-Nya dan mendengarkan doa-doa mereka. Waktu sepertiga malam terakhir dianggap sebagai waktu yang istimewa karena diyakini sebagai waktu di mana Allah SWT lebih dekat dan lebih mudah mengabulkan doa. Namun, ini tidak berarti doa di waktu lain tidak didengar atau tidak akan dikabulkan. Waktu mustajab hanyalah peningkatan peluang pengabulan, bukan jaminan mutlak.
Kesimpulannya, konsep simpanan pahala untuk doa yang tak terkabul di dunia memberikan pandangan yang seimbang dan menenangkan dalam memahami hubungan antara doa dan pengabulannya. Doa bukan hanya sekadar permintaan materi atau duniawi, melainkan juga bentuk ibadah yang menumbuhkan kedekatan dengan Allah SWT. Baik terkabul di dunia maupun disimpan sebagai pahala di akhirat, doa tetap memiliki nilai ibadah yang tinggi. Yang terpenting adalah keikhlasan, kesabaran, dan kepercayaan penuh kepada kekuasaan dan hikmah Allah SWT dalam menentukan takdir dan pengabulan doa. Dengan demikian, kita diajak untuk terus berdoa dengan semangat, tanpa khawatir akan kegagalan di dunia, karena pahala akan tetap menunggu di akhirat.