Peristiwa Isra Miraj, perjalanan Nabi Muhammad SAW yang luar biasa dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa hingga Sidratul Muntaha, merupakan salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah Islam. Perjalanan ini, yang terjadi pada malam 27 Rajab—menurut pendapat yang paling masyhur, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hazm, setelah kepulangan Nabi dari Thaif—tidak hanya menandai perjalanan fisik, namun juga perjalanan spiritual yang mengagumkan. Perjalanan ini, yang diabadikan dalam berbagai hadits dan rujukan Al-Qur’an, menawarkan jendela kecil untuk memahami keagungan ciptaan Allah SWT dan batas-batas pemahaman manusia.
Berangkat dari Masjidil Haram di Makkah, Nabi Muhammad SAW menaiki Buraq, hewan tunggangan ajaib yang digambarkan lebih besar dari keledai namun lebih kecil dari bagal, berwarna putih bersih. Perjalanan menuju Baitul Maqdis di Palestina berlangsung dengan kecepatan yang tak terbayangkan, menyingkapkan keajaiban alam semesta yang tak terjangkau oleh akal manusia biasa. Setelah menunaikan salat di Masjidil Aqsa, perjalanan spiritual Nabi SAW berlanjut, menuju Sidratul Muntaha, titik puncak perjalanan Isra Miraj.
Hadits Hamad ibn Salamah dari Tsabit dari Anas RA, yang dianggap paling kuat dan bebas dari perselisihan, menjelaskan bahwa Rasulullah SAW diangkat ke Sidratul Muntaha melewati tujuh lapisan langit. Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan spiritual yang menyingkapkan rahasia-rahasia alam semesta dan keagungan kekuasaan Allah SWT. Deskripsi Sidratul Muntaha dalam berbagai literatur keagamaan, seperti kitab al-Isra’ wa al-Mi’raj karya Ibnu Hajar al-Asqalani dan Imam as-Suyuthi (yang diterjemahkan oleh Arya Noor Amarsyah), menawarkan gambaran yang menakjubkan, namun tetap menyimpan misteri yang mendalam.
Sidratul Muntaha digambarkan sebagai pohon yang maha agung. Daun-daunnya selebar telinga gajah, dan buah-buahnya sebesar kendi. Keindahannya begitu luar biasa, hingga tak ada satupun makhluk yang mampu menggambarkannya secara utuh. Kitab Qishash Al-Anbiya lil Athfal karya Hamid Ahmad Ath-Thahir (terjemahan Masturi Irham dan M. Asmui Taman) bahkan menggambarkan betapa besarnya pohon ini: seandainya seorang pengendara kuda berlari kencang di bawah naungannya selama seratus tahun, ia tak akan sampai ke ujungnya. Posisi Sidratul Muntaha sebagai titik tertinggi di alam semesta, sebelum ‘Arsy Allah, menunjukkan kedudukannya yang sangat istimewa dalam kosmologi Islam.
Ayat Al-Qur’an surah An-Najm ayat 16 memberikan sedikit petunjuk tentang keberadaan Rasulullah SAW di Sidratul Muntaha: "Maka dia (Jibril) melihatnya (Nabi Muhammad) di dekat Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal." (Terjemahan bebas). Ayat ini mengisyaratkan pertemuan Nabi Muhammad SAW dengan Jibril di dekat Sidratul Muntaha, menunjukkan betapa dekatnya Nabi SAW dengan kehadiran Ilahi di tempat tersebut.
Tafsir ayat ini beragam. Al-Baghawi, seperti dikutip dari Nuzhah al-Majalis wa Muntakhab an-Nafa’is karya Syekh ash-Shafuri (terjemahan Jamaluddin), menafsirkan "sesuatu yang melingkupinya" sebagai kupu-kupu emas. Pendapat lain menyebutkan cahaya keagungan yang tirainya terbuat dari permata, yaqut, dan zamrud. Gambaran ini menunjukkan betapa megah dan sucinya tempat tersebut.
Keistimewaan Sidratul Muntaha, menurut Syekh ash-Shafuri, terletak pada tiga hal: bayangan yang dipanjangkan, makanan yang lezat, dan aroma yang harum. Ketiga hal ini diumpamakan sebagai tiga pilar iman: perbuatan, niat, dan perkataan. Bayangan diumpamakan sebagai perbuatan karena iman terwujud melalui perbuatan, rasanya diumpamakan sebagai niat karena samar dan tersembunyi, serta aromanya diumpamakan sebagai perkataan karena perkataan yang baik akan menyebarkan aroma kebaikan.
Kedatangan Nabi Muhammad SAW di Sidratul Muntaha ditandai dengan cahaya yang turun seperti tetesan awan, menginformasikan para malaikat tentang kehadiran beliau. Para malaikat pun segera mengucapkan salam, diibaratkan seperti belalang yang bertebaran di surga Ma’wa. Kejadian ini menggambarkan betapa besarnya pengaruh kehadiran Nabi SAW, bahkan sampai ke alam malaikat.
Nama "Sidratul Muntaha" sendiri menyimpan misteri. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa nama ini diberikan karena manusia yang mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW akan berhenti di sana, menunjukkan batas pemahaman manusia. Pendapat lain menyatakan bahwa nama ini menunjukkan puncak kemuliaan yang dicapai oleh siapapun yang sampai di sana. Wallahu a’lam.
Kesimpulannya, Sidratul Muntaha tetap menjadi misteri yang penuh keagungan. Gambaran-gambaran yang ada dalam hadits dan tafsir Al-Qur’an hanya memberikan sekilas gambaran tentang keagungan dan keistimewaannya. Perjalanan Isra Miraj dan keberadaan Sidratul Muntaha mengajarkan kita tentang kebesaran Allah SWT, batas-batas pemahaman manusia, dan pentingnya mencari ilmu dan mendekatkan diri kepada-Nya. Peristiwa ini menjadi pengingat akan keajaiban alam semesta dan kekuasaan Ilahi yang tak terbatas. Misteri Sidratul Muntaha akan tetap menjadi renungan bagi umat manusia sepanjang masa, mengingatkan kita akan betapa kecilnya kita di hadapan keagungan Sang Pencipta.