Yerusalem, 31 Desember 2024 – Data mengejutkan yang dirilis oleh Departemen Wakaf Islam di Al-Quds mengungkap peningkatan dramatis jumlah penyerbuan ekstremis Israel ke kompleks Masjid Al-Aqsa sepanjang tahun 2024. Lebih dari 53.000 pemukim ekstremis Israel, angka yang mencengangkan, telah melanggar kesucian situs suci umat Islam tersebut, sebuah tindakan yang secara terang-terangan mengabaikan hukum internasional dan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati. Serangan ini menandai eskalasi signifikan dari tindakan provokatif Israel yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, dan menimbulkan kekhawatiran serius atas stabilitas regional dan keamanan umat Islam di seluruh dunia.
Laporan tersebut, yang dikutip oleh berbagai media internasional termasuk Al Jazeera Arabic dan Anadolu Agency, mengungkapkan pola penyerbuan yang sistematis dan terencana. Bukan hanya angka yang mengejutkan, namun juga konsistensi tindakan ini sepanjang tahun. Insiden terbaru, yang melibatkan Menteri Komunikasi Israel Shlomo Karhi dan sejumlah besar pemukim ilegal, terjadi pada Minggu, 29 Desember 2024. Mereka tidak hanya memasuki kompleks Masjid Al-Aqsa, tetapi juga melakukan ritual keagamaan di terowongan bawah Tembok Barat (Tembok Al-Buraq) di bawah pengawasan ketat aparat kepolisian Israel. Kehadiran polisi Israel yang memberikan perlindungan dan pengawalan kepada para pemukim ini semakin menggarisbawahi sifat sistematis dan terencana dari tindakan provokatif tersebut.
Peningkatan jumlah penyerbuan ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Jika pada tahun 2023 angka penyerbuan mencapai 48.223, dan pada tahun 2022 lebih dari 48.000, maka angka 53.000 lebih di tahun 2024 menunjukkan peningkatan yang signifikan dan mengkhawatirkan. Angka ini juga jauh melampaui angka sekitar 35.000 penyerbuan pada tahun 2021. The Siasat Daily melaporkan bahwa penyerbuan ini terjadi hampir setiap hari, kecuali hari Jumat dan Sabtu, dan meningkat secara signifikan selama hari libur Yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan tersebut bukan hanya insiden sporadis, tetapi merupakan bagian dari strategi yang terencana untuk mengklaim dan mengendalikan situs suci tersebut.
Serangan-serangan ini merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional dan perjanjian-perjanjian yang ada. Perjanjian Wadi Araba tahun 1994 antara Yordania dan Israel secara jelas menetapkan tanggung jawab Yordania atas situs-situs suci Islam dan Kristen di Al-Quds. Peran ini ditegaskan kembali dalam perjanjian tahun 2013 antara Raja Yordania Abdullah II dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, yang menempatkan Masjid Al-Aqsa di bawah administrasi Wakaf Islam Yerusalem, yang diawasi oleh Kementerian Wakaf, Urusan Islam, dan Tempat-Tempat Suci Yordania. Meskipun pengunjung Yahudi secara historis diizinkan untuk mengunjungi kompleks tersebut dengan izin Wakaf, tindakan sepihak Israel yang semakin sering terjadi telah secara efektif mengabaikan dan mengabaikan kewenangan Wakaf Islam.
Klaim Israel tentang "status quo historis" yang hanya mengizinkan umat Islam untuk beribadah di Al-Aqsa, sementara yang lain hanya diizinkan untuk berkunjung, telah dipertanyakan secara luas. Bukti video yang beredar secara luas menunjukkan pemukim Yahudi secara terang-terangan melakukan ibadah dan ritual keagamaan di dalam kompleks Masjid Al-Aqsa di bawah perlindungan polisi Israel. Hal ini menunjukkan bahwa klaim "status quo historis" tersebut telah diputarbalikkan dan dimanipulasi untuk membenarkan tindakan ilegal dan provokatif.
Situasi ini semakin diperburuk oleh eskalasi konflik Israel-Palestina sejak 7 Oktober 2023. Pasukan Israel telah memberlakukan pembatasan ketat akses ke Masjid Al-Aqsa, khususnya pada hari Jumat, dengan memasang penghalang di pintu masuk Kota Tua Yerusalem dan gerbang luar Masjid Al-Aqsa. Pembatasan ini secara tidak proporsional memengaruhi warga Palestina, sementara pemukim Israel terus mendapat akses yang mudah dan terlindungi. Bahkan orang lanjut usia pun mengalami kesulitan untuk melewati pos-pos pemeriksaan yang ketat ini.
Tindakan Israel ini bukan hanya pelanggaran terhadap hukum internasional dan perjanjian yang telah disepakati, tetapi juga merupakan provokasi yang dapat memicu kekerasan dan ketidakstabilan regional. Peningkatan jumlah penyerbuan ke Masjid Al-Aqsa, yang dilakukan secara sistematis dan terencana, menunjukkan niat Israel untuk mengubah status quo dan mengklaim kontrol atas situs suci tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang masa depan perdamaian dan keamanan di wilayah tersebut.
Komunitas internasional harus mengambil tindakan tegas untuk menghentikan pelanggaran berkelanjutan ini. Tekanan diplomatik yang kuat diperlukan untuk mendesak Israel agar menghormati hukum internasional, perjanjian yang telah disepakati, dan hak-hak umat Islam untuk beribadah dengan damai di Masjid Al-Aqsa. Kegagalan untuk bertindak akan mengirimkan pesan yang berbahaya, bahwa tindakan ilegal dan provokatif dapat dilakukan tanpa konsekuensi.
Lebih lanjut, penting untuk menekankan bahwa Masjid Al-Aqsa merupakan situs suci bagi umat Islam di seluruh dunia. Serangan-serangan ini bukan hanya masalah lokal, tetapi merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan global. Oleh karena itu, komunitas internasional harus bersatu dalam mengecam tindakan Israel dan mendesak agar segera dihentikan. Kebebasan beribadah merupakan hak asasi manusia yang fundamental, dan tindakan Israel telah secara terang-terangan melanggar hak tersebut.
Ke depan, pengawasan internasional yang lebih ketat terhadap situasi di Masjid Al-Aqsa sangat diperlukan. Mekanisme pemantauan yang efektif harus dibentuk untuk memastikan bahwa Israel menghormati kewajiban internasionalnya dan tidak melakukan tindakan yang dapat memicu kekerasan lebih lanjut. Penting juga untuk memastikan bahwa komunitas internasional terus memberikan dukungan kepada Palestina dan membantu mereka dalam melindungi hak-hak mereka, termasuk hak untuk beribadah dengan damai di tempat-tempat suci mereka.
Kesimpulannya, angka 53.000 lebih penyerbuan ekstremis Israel ke Masjid Al-Aqsa sepanjang tahun 2024 merupakan bukti nyata dari pelanggaran berkelanjutan terhadap hukum internasional dan perjanjian yang telah disepakati. Tindakan ini tidak hanya merupakan penghinaan terhadap kesucian situs suci umat Islam, tetapi juga merupakan ancaman serius terhadap perdamaian dan keamanan regional. Komunitas internasional harus bertindak tegas dan segera untuk menghentikan tindakan provokatif ini dan melindungi hak-hak umat Islam untuk beribadah dengan damai di Masjid Al-Aqsa. Kegagalan untuk melakukannya akan memiliki konsekuensi yang sangat serius bagi stabilitas regional dan keamanan global.