Jakarta – Ajaran Islam senantiasa menekankan pentingnya amal saleh, betapapun kecilnya. Setiap kebaikan, sekecil buih di lautan, memiliki bobot yang signifikan di sisi Allah SWT. Memberikan bantuan kepada sesama, meski hanya sepotong roti, bukan sekadar tindakan filantropi biasa, melainkan jembatan menuju keridaan Ilahi. Sabda Rasulullah SAW, "Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya" (HR Bukhari dan Muslim), merupakan penegasan akan pahala yang melimpah ruah bagi mereka yang ikhlas berbagi. Hadits ini mengajarkan bahwa pertolongan kepada orang lain, baik berupa harta, tenaga, maupun perhatian, bukan hanya meringankan beban mereka, tetapi juga menarik pertolongan dan keberkahan dari Allah SWT.
Kisah sepotong roti, seperti yang dikisahkan oleh Abu Burdah saat wafatnya Abu Musa, dan termaktub dalam "Uyun Al-Hikayat Min Qashash As-Shalihin wa Nawadir Az-Zahidin" karya Imam Ibnul Jauzi (terjemahan Abdul Hayyi Al-Kattani), menjadi metafora yang menguatkan ajaran tersebut. Kisah ini menawarkan refleksi mendalam tentang timbangan amal di hadapan Allah SWT, di mana kebaikan sekecil apa pun dapat menimbang berat dosa yang jauh lebih besar.
Kisah ini bermula dari seorang lelaki yang tekun beribadah selama kurang lebih 70 tahun. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di tempat ibadah, hanya meninggalkan tempat tersebut pada hari-hari tertentu yang telah ia tetapkan. Dedikasi dan konsistensinya dalam menjalankan ibadah tampaknya menunjukkan ketakwaan yang dalam. Namun, kehidupan spiritual yang tampak sempurna ini tercoreng oleh sebuah kesalahan fatal. Ia tergoda oleh seorang wanita dan terjerumus dalam dosa zina selama tujuh hari.
Kejatuhan moral ini menimbulkan penyesalan yang mendalam di hati lelaki tersebut. Ia segera bertobat, meninggalkan tempat ibadahnya, dan memilih jalan pengembaraan sebagai bentuk taubat dan penyucian diri. Sepanjang perjalanannya, ia tetap menjalankan ibadah dengan khusyuk, menunjukkan kesungguhannya dalam mencari ampunan Allah SWT. Setiap langkah kakinya diiringi oleh salat dan sujud, menunjukkan keseriusannya dalam bertobat.
Suatu hari, dalam pengembaraannya, ia sampai di sebuah pondok kecil dan bermalam di sana bersama 12 orang fakir miskin. Kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang membuat ia merebahkan diri di antara mereka. Di malam yang sama, seorang rahib yang dikenal dermawan datang membagikan roti kepada para fakir miskin tersebut. Satu persatu, rahib itu memberikan sepotong roti kepada masing-masing orang yang berada di pondok itu, termasuk lelaki yang sedang bertobat tersebut. Sang rahib, yang tidak menyadari masa lalu lelaki itu, menganggapnya sebagai salah satu dari para fakir miskin yang membutuhkan.
Setelah semua roti dibagikan, ternyata ada satu orang yang terlewat dan tidak mendapatkan bagian. Orang itu menanyakan kepada rahib mengapa ia tidak mendapatkan roti. Rahib itu menjelaskan bahwa roti yang dibawanya sudah habis terbagi, dan ia tidak pernah memberikan lebih dari satu potong roti kepada setiap orang.
Pada saat itulah, lelaki yang bertobat itu menunjukkan keikhlasan hatinya. Tanpa ragu, ia memberikan sepotong roti miliknya kepada orang yang tidak mendapatkan bagian. Tindakan sederhana ini, yang tampak sepele bagi beberapa orang, justru menjadi titik balik dalam kisah hidupnya. Keesokan harinya, lelaki yang bertobat itu meninggal dunia.
Di akhirat, amal ibadah lelaki itu selama 70 tahun dibandingkan dengan dosa zina yang dilakukannya selama tujuh malam. Hasilnya mengejutkan. Ternyata, dosa tujuh malam itu lebih berat daripada ibadah selama 70 tahun. Namun, keajaiban terjadi ketika dosa tersebut dibandingkan dengan kebaikan memberikan sepotong roti. Kebaikan kecil itu, yang dilakukan dengan ikhlas, justru lebih berat timbangannya daripada dosa zina selama tujuh malam.
Kisah ini memberikan pelajaran yang berharga bagi kita semua. Ia menunjukkan bahwa kebaikan, betapapun kecilnya, memiliki nilai yang tak terhingga di sisi Allah SWT. Keikhlasan dalam berbuat baik adalah kunci utama untuk mendapatkan ridho Allah. Tindakan sederhana seperti memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan, meski hanya sepotong roti, dapat menjadi amal besar yang menentukan timbangan amal di akhirat.
Lebih dari itu, kisah ini juga mengajarkan kita tentang pentingnya bertobat dengan sungguh-sungguh. Kesalahan yang telah dilakukan di masa lalu tidak harus menghantui kita selama-lamanya. Dengan penyesalan yang tulus dan perbuatan baik yang terus-menerus, kita dapat mencari ampunan Allah SWT dan menjalani hidup yang lebih bermakna.
Sepotong roti dalam kisah ini bukan sekadar makanan, melainkan simbol kebaikan yang mampu menghapus dosa. Ia menjadi pengingat bahwa kebaikan bukan diukur dari besarnya harta benda yang diberikan, melainkan dari keikhlasan hati dan niat yang tulus untuk membantu sesama. Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk selalu berbuat kebaikan, mengingat bahwa setiap tindakan ikhlas, sekecil apapun, dapat menjadi amal besar yang membawa keberkahan dan mendekatkan kita kepada keridaan Allah SWT. Semoga kita selalu diberi kemampuan untuk mengupayakan kebaikan dan menjauhi keburukan.