ERAMADANI.COM, – 73 tahun lalu, tepatnya 15 November 1946 perundingan Linggarjati antara Indonesia-Belanda berakhir, dengan ditandatanganinya perjanjian secara de facto.
Belanda mengakui Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Kedua negara juga sepakat nantinya akan membentuk Republik Indonesia Serikat.
Serta, Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commanwealth persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Dilansir dari Kompas.com, proses perundingan selama enam hari, kedua delegasi Indonesia dan Belanda beradu diplomasi di meja perundingan yang berlangsung sejak 10 November 1946.
Dalam perundingan itu, Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook.
Sementara Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan tersebut.
Pro dan Kontra Perundingan Linggarjati
Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata.
Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.
Walaupun demikian, pihak Indonesia tetap berusaha untuk mempertahankan “bayi republik” yang baru berumur satu tahun.
Sementara itu, pihak Belanda memperlihatkan bahwa pemerintahannya masih setengah hati melepas negeri bekas jajahannya.
Delegasi Indonesia tak nampak seperti negara bekas jajahan di depan perundingan, yang ada hanyalah dua bangsa merdeka yang tengah beradu strategi diplomasi.
Dalam artikel “45 Tahun Lalu Perundingan Linggarjati” yang dimuat di Harian Kompas, 8 November 1991, yang ditulis Suganda, disebutkan bahwa Bung Karno dan rombongan datang ke Cirebon, kemudian Kuningan pada 10 November 1946.
Tidak diketahui secara pasti alasan Syahrir memilih Linggarjati, Kuningan, sebagai tempat pertemuan bersejarah itu. Namun, disebutkan bahwa panorama indah dan udara sejuk kaki Gunung Ciremai diharapkan bisa meredam otak yang tengah memanas.
Persetujuan Linggarjati
Pada akhirnya, naskah perundingan itu disebut “Persetujuan Linggarjati” karena baru memaraf naskah itu.
Menurut Abdurrachman Surjomihardjo dalam artikelnya “Makna Sejarah Perjanjian Linggarjati” yang dimuat di Harian Kompas, 20 Maret 1992, perjanjian ini dapat dipandang sebagai waktu “istirahat untuk bernapas” bagi Indonesia yang tengah menghadapi pergolakan dahsyat.
Bagi Belanda, persetujuan Linggarjati digunakan untuk melaksanakan kebijaksanaannya sendiri setelah tentara Inggris pergi. A
Akan tetapi, dugaan mereka salah karena persetujuan Linggarjati adalah antara dua negara yang merdeka dengan disaksikan Inggris.
Naskah Perjanjian Linggarjati baru ditandatangani kedua belah pihak pada 25 Maret 1947 silam.
Perdebatan Syahrir mengakui bahwa naskah perjanjian itu melahirkan sikap pro dan kontra. Banyak yang menganggap keputusan itu justru melemahkan Indonesia.
Selain itu, keberadaan Indonesia harus menjadi bagian federasi dari Kerajaan Belanda dan tentu saja akan membatasi ruang gerak Indonesia.
Belanda berusaha membuat kesulitan-kesulitan baru dengan mencabut pernyataan-pernyataan dalam pertemuan. Bahkan, Belanda memaksakan kehendaknya dengan kekerasan seperti yang dilakukan mereka dalam serangan umum pada Juli 1947 (Aksi Polisionil), empat bulan setelah perjanjian ditandatangani. (MYR)