Stockholm, Swedia – Dunia dikejutkan oleh kabar tewasnya Salwan Momika (38), warga negara Irak yang dikenal luas karena aksi pembakaran Al-Qur’an yang dilakukannya di Swedia. Momika ditemukan tewas ditembak di sebuah apartemen di Södermalm, Stockholm, pada Rabu malam, 29 Januari 2025. Kematian kontroversial ini terjadi beberapa jam sebelum pengadilan distrik Stockholm dijadwalkan membacakan putusan atas kasus pembakaran kitab suci umat Islam tersebut, sebuah peristiwa yang memicu gelombang protes dan kecaman internasional.
Laporan awal dari berbagai media internasional, termasuk BBC dan Reuters, menyebutkan bahwa Momika sedang melakukan siaran langsung di media sosial saat peristiwa penembakan terjadi. Detail mengenai insiden ini masih samar, namun kehebohan yang ditimbulkan sangat signifikan, mengingat Momika adalah figur kontroversial yang telah menjadi pusat perdebatan global mengenai kebebasan berekspresi versus penghinaan agama.
Seorang juru bicara kepolisian Swedia, yang enggan disebutkan namanya, membenarkan adanya penembakan yang mengakibatkan kematian seorang pria di Södermalm. Namun, pihak kepolisian hingga saat ini masih enggan memberikan rincian lebih lanjut terkait kronologi kejadian, identitas pelaku penembakan, dan motif di baliknya. Keengganan ini memicu spekulasi dan beragam teori konspirasi yang beredar luas di media sosial dan berbagai platform online. Kejelasan informasi yang minim dari pihak berwenang justru semakin memperkeruh suasana dan meningkatkan kekhawatiran akan potensi eskalasi konflik.
Kecepatan respon aparat kepolisian Swedia patut diapresiasi. Hanya dalam waktu kurang dari 24 jam setelah insiden penembakan, lima orang telah ditangkap oleh pihak berwenang. Penangkapan ini menandakan keseriusan kepolisian Swedia dalam mengusut kasus ini hingga tuntas dan membawa para pelaku ke meja hijau. Namun, identitas para tersangka dan keterkaitan mereka dengan peristiwa penembakan masih belum diungkapkan secara resmi oleh pihak berwenang. Kehati-hatian ini bisa dimaklumi mengingat sensitivitas kasus dan potensi dampaknya terhadap stabilitas keamanan di Swedia dan bahkan di tingkat internasional.
Penundaan pembacaan putusan pengadilan terhadap Momika setelah kematiannya semakin memperkuat dugaan bahwa peristiwa ini tidaklah sederhana. Pengadilan Distrik Stockholm secara resmi mengumumkan penundaan tersebut setelah "dikonfirmasi bahwa salah satu terdakwa telah meninggal." Pernyataan singkat ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai proses hukum selanjutnya dan bagaimana kasus pembakaran Al-Qur’an yang telah menimbulkan kontroversi luas ini akan ditangani. Apakah kasus ini akan dihentikan sepenuhnya? Ataukah akan ada upaya untuk menuntut pihak-pihak yang terlibat dalam penembakan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini masih belum terjawab dan menanti kejelasan dari pihak berwenang.
Aksi pembakaran Al-Qur’an yang dilakukan Momika pada tahun 2023 telah memicu kemarahan dan kecaman dari berbagai kalangan, terutama umat Islam di seluruh dunia. Aksi tersebut dilakukan pada Hari Raya Idul Adha, sebuah hari besar yang sangat sakral bagi umat Islam, di depan sebuah masjid di Stockholm. Ironisnya, aksi tersebut dilakukan di bawah pengawasan dan perlindungan polisi Swedia, yang memicu kontroversi besar mengenai interpretasi kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama.
Tidak hanya sekali, Momika melakukan aksi serupa. Ia kembali melakukan pembakaran Al-Qur’an di depan gedung parlemen Swedia pada 31 Juli 2023, dan di depan Kedutaan Besar Iran di Swedia pada awal Agustus 2023. Semua aksi ini dilakukan di tempat-tempat publik dan mendapat izin dari pihak berwenang Swedia. Keputusan pemerintah Swedia untuk memberikan izin atas aksi-aksi tersebut telah menuai kecaman internasional yang meluas. Banyak negara mengecam keras kebijakan Swedia yang dianggap telah mengabaikan sentimen keagamaan dan memicu potensi konflik antarumat beragama.
Peristiwa ini kembali membuka perdebatan sengit mengenai batas-batas kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama. Swedia, bersama dengan Denmark, menjadi negara yang paling sering dikritik karena menerapkan interpretasi kebebasan berekspresi yang dianggap terlalu longgar, sehingga memungkinkan aksi-aksi yang dianggap menyinggung dan menghina agama tertentu. Banyak pihak berpendapat bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh digunakan sebagai alat untuk memprovokasi dan melukai perasaan umat beragama. Mereka menekankan pentingnya menjaga kerukunan antarumat beragama dan menghormati kesucian keyakinan masing-masing.
Kematian Momika menambah kompleksitas isu ini. Apakah kematiannya akan meredam ketegangan atau justru memicu eskalasi konflik? Pertanyaan ini masih menjadi teka-teki. Di satu sisi, kematiannya bisa dianggap sebagai penutup dari sebuah bab kontroversial. Namun, di sisi lain, kematian yang penuh misteri ini berpotensi memicu reaksi keras dari berbagai pihak, baik yang mendukung maupun yang menentang aksi Momika. Kemungkinan besar, investigasi menyeluruh dan transparan dari pihak berwenang Swedia sangat dibutuhkan untuk mencegah spekulasi dan menjaga stabilitas keamanan.
Peristiwa ini juga menyoroti tantangan yang dihadapi negara-negara Barat dalam menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan kebutuhan untuk menghormati keragaman agama dan budaya. Menemukan titik tengah yang dapat diterima oleh semua pihak merupakan tugas yang kompleks dan membutuhkan dialog yang intensif dan penuh pengertian. Kegagalan dalam menemukan keseimbangan ini dapat berdampak buruk pada kohesi sosial dan stabilitas keamanan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Ke depan, dunia internasional akan mencermati langkah-langkah yang akan diambil oleh pemerintah Swedia dalam menangani kasus ini. Transparansi dan keadilan dalam proses investigasi dan penegakan hukum sangat krusial untuk mencegah munculnya spekulasi dan menjaga kepercayaan publik. Kejadian ini juga menjadi pengingat pentingnya dialog antaragama dan upaya bersama untuk membangun pemahaman dan toleransi di tengah perbedaan keyakinan. Hanya dengan demikian, dunia dapat berharap untuk menciptakan lingkungan yang damai dan harmonis bagi semua orang, terlepas dari latar belakang agama dan kepercayaan mereka. Kematian Salwan Momika menjadi tragedi yang menyoroti kompleksitas isu kebebasan berekspresi dan toleransi agama di era globalisasi. Semoga peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk lebih bijak dalam bersikap dan bertindak, serta untuk senantiasa mengedepankan nilai-nilai perdamaian dan kerukunan.