Rasulullah SAW, teladan bagi seluruh umat manusia, tidak hanya dikenal karena kepemimpinan dan kebijaksanaannya yang agung, tetapi juga karena kelembutan dan romantisme dalam kehidupan rumah tangganya. Khususnya hubungan beliau dengan Aisyah RA, istri tercinta yang dinikahi di usia belia, menunjukkan dimensi kemanusiaan Nabi yang begitu indah dan inspiratif. Cinta dan kasih sayang beliau kepada Aisyah RA terpancar, antara lain, melalui panggilan-panggilan sayang yang penuh makna dan kelembutan. Panggilan-panggilan ini, jauh dari sekadar sapaan biasa, merupakan cerminan kedalaman cinta dan penghormatan Rasulullah SAW kepada sang istri.
Berbagai literatur hadits dan buku-buku keagamaan, seperti "Agungnya Taman Cinta Sang Rasul" karya Ustadzah Azizah Hefni dan "Misteri Bidadari Surga" karya Joko Syahban, mengungkapkan sejumlah panggilan sayang yang digunakan Rasulullah SAW untuk Aisyah RA. Masing-masing panggilan tersebut memiliki konteks dan makna yang unik, menunjukkan betapa mendalamnya pemahaman dan kecintaan Rasulullah SAW terhadap pribadi Aisyah RA.
Salah satu panggilan sayang yang paling dikenal adalah "Humaira". Kata ini, yang berarti "pipi yang kemerah-merahan", merupakan isim tasghir (bentuk kata yang menunjukkan makna sesuatu yang mungil dan menunjukkan kasih sayang), berasal dari kata "hamra" (merah). Panggilan ini sangat tepat menggambarkan kecantikan Aisyah RA yang memiliki kulit putih bersih, namun pipinya akan memerah ketika ia tersipu malu, marah, atau tertawa. Keindahan yang dinamis ini ditangkap dengan indah oleh Rasulullah SAW dalam panggilan sayang tersebut. Penggunaan "Humaira" tidak hanya terjadi secara pribadi, tetapi juga di hadapan para sahabat, menunjukkan betapa Rasulullah SAW tidak ragu untuk mengekspresikan kasih sayangnya secara terbuka.
Sebuah kisah menarik dalam buku "Misteri Bidadari Surga" menggambarkan momen mesra Rasulullah SAW dan Aisyah RA saat menyaksikan pertunjukan tombak para pemain Habsyah di dekat masjid. Rasulullah SAW memanggil, "Wahai Humaira! Apakah engkau suka melihat mereka?" Aisyah RA menjawab, "Ya." Kemudian, dengan penuh kelembutan, Rasulullah SAW berdiri di pintu, dan Aisyah RA menghampiri beliau, meletakkan dagunya di atas bahu Rasulullah SAW, dan menyandarkan wajahnya pada pipi beliau. Adegan ini menggambarkan keintiman dan kasih sayang yang begitu dalam antara keduanya, di mana panggilan "Humaira" menjadi pengikat kehangatan di antara mereka.
Selain "Humaira", Rasulullah SAW juga memanggil Aisyah RA dengan panggilan "Muwaffaqah", yang berarti "diberi petunjuk" atau "yang berhasil". Panggilan ini mencerminkan penghargaan Rasulullah SAW terhadap kecerdasan, ketelitian, dan kepekaan Aisyah RA dalam memahami ajaran Islam. Dalam sebuah riwayat Ibnu Abbas, Rasulullah SAW menjelaskan tentang pahala bagi mereka yang mendahului orang lain dalam amal kebaikan. Aisyah RA kemudian menambahkan pertanyaan, dan Rasulullah SAW menjawabnya dengan panggilan "Muwaffaqah", menunjukkan kedekatan dan kepercayaan yang tinggi antara keduanya. Panggilan ini bukan sekadar ungkapan sayang, tetapi juga penghargaan terhadap ketajaman intelektual Aisyah RA.
Rasulullah SAW juga terkadang memanggil Aisyah RA dengan sebagian namanya, yaitu "Aisy". Kesederhanaan panggilan ini menunjukkan kedekatan dan keintiman yang sangat dalam, seolah-olah hanya di antara mereka berdua. Panggilan ini menunjukkan sebuah hubungan yang tidak formal, tetapi penuh dengan kasih sayang yang tulus.
Salah satu panggilan sayang yang paling unik dan mengharukan adalah "Ummu Abdullah", yang berarti "ibu Abdullah". Aisyah RA, yang ditakdirkan Allah SWT tidak memiliki keturunan dari Rasulullah SAW, tetap diberi gelar kehormatan ini. Hal ini terjadi setelah kelahiran Abdullah bin Zubair, ketika Aisyah RA membawanya kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW kemudian membasahi bibir bayi tersebut dengan ludahnya dan menyebut Aisyah RA sebagai "Ummu Abdullah". Panggilan ini bukan hanya menunjukkan kasih sayang Rasulullah SAW, tetapi juga penghormatan yang tinggi terhadap peran Aisyah RA dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Gelar ini terus digunakan hingga wafatnya Aisyah RA, menunjukkan betapa mendalamnya pengaruh peristiwa ini dalam kehidupan mereka.
Panggilan-panggilan sayang ini bukan sekadar ungkapan kasih sayang biasa, tetapi merupakan refleksi dari kepribadian Rasulullah SAW yang penuh dengan kelembutan, kasih sayang, dan penghormatan kepada istri-istrinya. Beliau tidak segan untuk mengekspresikan perasaan cintanya dengan cara yang indah dan mengharukan. Penting untuk dicatat bahwa panggilan-panggilan ini hanya digunakan oleh Rasulullah SAW sendiri, menunjukkan eksklusivitas dan keistimewaan hubungan antara beliau dan Aisyah RA.
Studi mengenai panggilan-panggilan sayang ini memberikan kita gambaran yang lebih lengkap tentang kehidupan rumah tangga Rasulullah SAW. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dan kebijaksanaan beliau tidak hanya terbatas pada urusan negara dan agama, tetapi juga tercermin dalam kehidupan pribadinya yang penuh dengan cinta, kasih sayang, dan kelembutan. Kisah ini menjadi inspirasi bagi kita semua untuk menjalin hubungan yang harmonis dan penuh dengan cinta dalam keluarga kita. Panggilan-panggilan sayang ini bukan hanya sebuah tradisi, tetapi juga sebuah seni dalam mengekspresikan kasih sayang yang dapat kita pelajari dan terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Lebih dari itu, kisah ini menunjukkan bahwa kekuasaan cinta dan kasih sayang dapat menciptakan hubungan yang kuat dan langgeng, seperti yang terjalin antara Rasulullah SAW dan Aisyah RA. Semoga kisah ini dapat menjadi teladan bagi kita semua dalam membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.