Jakarta, 21 Februari 2025 – Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Ina Ammania, mendesak revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah untuk mengatasi penyalahgunaan kuota petugas haji. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panja RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) Komisi VIII DPR RI, Kamis (20/2/2025), Ammania mengungkapkan kekhawatirannya terhadap praktik aji mumpung dalam penentuan petugas haji.
"Tentang kuota untuk pendamping atau petugas haji, saya mohon ini direvisi," tegas Ammania dalam RDP yang disiarkan secara daring. "Ada anggota DPRD yang notabene petugas, menggunakan anggaran negara. Tentunya ini tidak boleh, tetapi kami melihat praktik seperti ini terjadi."
Ammania menuding adanya praktik di mana petugas haji, yang seharusnya mengawasi dan melayani jemaah, justru memanfaatkan kesempatan tersebut untuk kepentingan pribadi. Ia menyoroti temuan di lapangan yang menunjukkan beberapa petugas haji lebih banyak mendampingi keluarga atau pejabat, bukannya fokus pada tugas utama mereka.
"Tahun-tahun kemarin, kami temukan pengawasan yang tidak maksimal. Mengapa? Karena (petugas) mendampingi keluarga atau pejabat lainnya," ungkap Ammania. Kondisi ini, menurutnya, menghambat efektivitas pengawasan dan pelayanan terhadap jemaah haji.
Ia menekankan perlunya revisi UU untuk mencegah penyalahgunaan kuota petugas haji. "Ini harus jelas dimasukkan ke dalam Undang-Undang. Jangan sampai kuota petugas haji menjadi ajang aji mumpung," tegasnya. Ammania mendesak agar revisi UU PIHU secara eksplisit mengatur mekanisme penentuan petugas haji yang transparan dan akuntabel, mencegah praktik nepotisme dan penyalahgunaan wewenang. Hal ini penting untuk memastikan bahwa petugas haji yang terpilih benar-benar berkompeten dan berdedikasi untuk melayani jemaah.
Lebih lanjut, Ammania juga kembali menyuarakan usulannya yang disampaikan pada RDPU Komisi VIII DPR RI pada Selasa (18/2/2025) terkait pembatasan usia untuk pendamping dan pembimbing jemaah haji. Ia berpendapat, usia pendamping yang lebih muda akan lebih efektif dalam membantu jemaah, terutama jemaah lanjut usia, yang kerap menghadapi berbagai kendala fisik dan kesehatan selama ibadah haji.
"Saya pernah menanyakan usia jemaah haji dan pendampingnya. Usia jemaah 65 tahun, sementara pendampingnya 76 tahun," jelas Ammania. "Pendamping seharusnya lebih muda, misalnya di bawah 50 atau 40 tahun, agar lebih mampu membantu jemaah yang lebih tua."
Selain batasan usia, Ammania juga menyoroti pentingnya pengaturan syarat kesehatan bagi pendamping dan pembimbing haji dalam revisi UU. Menurutnya, petugas haji yang sehat secara fisik dan mental sangat penting untuk memastikan pelayanan yang optimal kepada jemaah. Kondisi kesehatan yang prima akan memungkinkan petugas haji untuk mampu menghadapi berbagai tantangan selama menjalankan tugasnya di Tanah Suci, termasuk memberikan pertolongan pertama jika diperlukan.
Usulan-usulan Ammania ini sejalan dengan upaya DPR RI untuk merevisi UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, mengakui bahwa UU tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi terkini dan membutuhkan revisi komprehensif.
"Pertanyaannya, kenapa perlu revisi? Karena memang tidak lagi relevan. UU ini tidak bisa menjawab kebutuhan kita," kata Marwan dalam diskusi publik Revisi UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah di DPP PKB, Jakarta Pusat, Rabu (19/2/2025). Marwan menjabarkan beberapa poin yang dianggap tidak relevan, meliputi kelembagaan, penyelenggaraan ibadah haji, proses ibadah itu sendiri, dan pengelolaan keuangan haji.
Revisi UU PIHU ini diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan dalam penyelenggaraan ibadah haji, termasuk masalah kuota petugas, usia dan kesehatan petugas, serta transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan. Dengan revisi yang komprehensif, diharapkan penyelenggaraan ibadah haji di masa mendatang dapat berjalan lebih efektif, efisien, dan memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh jemaah.
Analisis dan Implikasi:
Usulan revisi UU PIHU oleh Ina Ammania dan dukungan dari Komisi VIII DPR RI mencerminkan kesadaran akan pentingnya reformasi dalam sistem penyelenggaraan ibadah haji. Praktik aji mumpung dan penyalahgunaan kuota petugas haji merupakan masalah serius yang perlu ditangani secara tegas. Revisi UU ini diharapkan dapat menciptakan sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan optimal bagi jemaah.
Pembatasan usia dan syarat kesehatan bagi petugas haji juga merupakan langkah penting untuk memastikan kualitas pelayanan. Petugas haji yang lebih muda dan sehat secara fisik dan mental akan lebih mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat dan memberikan pelayanan yang maksimal kepada jemaah, terutama jemaah lanjut usia yang membutuhkan bantuan lebih banyak.
Revisi UU PIHU ini juga memiliki implikasi yang luas, tidak hanya pada aspek pelayanan jemaah, tetapi juga pada aspek keuangan dan tata kelola. Dengan sistem yang lebih transparan dan akuntabel, diharapkan dapat mencegah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan dana haji. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana haji yang merupakan dana umat.
Keberhasilan revisi UU PIHU ini sangat bergantung pada komitmen semua pihak, termasuk DPR, pemerintah, dan seluruh stakeholder terkait. Proses revisi harus dilakukan secara partisipatif dan melibatkan berbagai pihak untuk memastikan bahwa revisi UU tersebut benar-benar mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi seluruh jemaah haji. Harapannya, revisi UU ini akan menghasilkan sistem penyelenggaraan ibadah haji yang lebih baik dan memberikan pengalaman ibadah haji yang lebih bermakna bagi seluruh umat muslim Indonesia. Proses pengawasan pasca revisi juga perlu diperkuat untuk memastikan implementasi aturan yang baru berjalan sesuai dengan tujuannya. Keberhasilan revisi ini akan menjadi tolok ukur keberhasilan DPR dan pemerintah dalam melayani kebutuhan umat.