Padang dan Maluku, 27 Februari 2025 – Keunikan keberagaman budaya dan pemahaman keagamaan di Indonesia kembali terpancar dalam perayaan awal Ramadan tahun ini. Berbeda dengan mayoritas umat Islam di Indonesia yang akan memulai ibadah puasa pada Jumat, 28 Februari 2025, warga Negeri Wakal di Maluku dan jemaah Tarekat Naqsabandiyah di Padang telah lebih dulu memasuki bulan suci tersebut. Tadi malam, lantunan ayat suci Al-Quran menggema dalam shalat Tarawih yang menandai dimulainya ibadah puasa bagi kedua kelompok ini. Keputusan ini didasarkan pada perhitungan hisab masing-masing yang telah dipegang teguh secara turun-temurun.
Di Negeri Wakal, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, gema takbir dan salawat mengiringi pelaksanaan shalat Tarawih pertama. Suasana khusyuk menyelimuti masjid-masjid dan mushola, menandai dimulainya ibadah puasa bagi warga setempat. Foto-foto yang beredar memperlihatkan kerumunan jamaah yang khidmat menjalankan ibadah, menunjukkan semangat keimanan yang tinggi di tengah perbedaan penentuan awal Ramadan. Perhitungan hisab yang digunakan oleh masyarakat Negeri Wakal, yang telah diwariskan secara turun-temurun, menetapkan awal Ramadan 1446 Hijriah jatuh pada hari Kamis, 27 Februari 2025. Tradisi ini telah berlangsung selama bergenerasi, menunjukkan konsistensi dan ketaatan mereka pada metode perhitungan yang diyakini kebenarannya. Tidak ada laporan mengenai adanya perbedaan pendapat yang signifikan di dalam masyarakat Negeri Wakal terkait penetapan awal Ramadan ini. Kesatuan dan kebersamaan dalam menjalankan ibadah menjadi pemandangan yang menonjol.
Sementara itu, di Kota Padang, Sumatera Barat, suasana serupa juga terlihat di kalangan jemaah Tarekat Naqsabandiyah. Di Surau Baru, Pauh, jamaah melaksanakan shalat Tarawih pertama dengan khusyuk dan khidmat. Tarekat Naqsabandiyah, yang dikenal dengan pendekatan spiritualitas dan ritualistiknya yang khas, juga telah menetapkan awal Ramadan 1446 Hijriah pada hari Kamis, 27 Februari 2025. Keputusan ini diambil berdasarkan perhitungan hisab yang mereka gunakan, yang berbeda dengan metode yang digunakan oleh pemerintah dan sebagian besar organisasi Islam di Indonesia. Perbedaan metode hisab ini merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan perbedaan penetapan awal Ramadan antara Tarekat Naqsabandiyah dengan mayoritas umat Islam di Indonesia.
Perbedaan penentuan awal Ramadan antara kelompok-kelompok ini dengan pemerintah dan organisasi Islam lainnya menunjukkan kompleksitas dalam menentukan awal bulan suci bagi umat Islam di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh perbedaan metode perhitungan hisab, baik yang berbasis rukyat (pengamatan hilal) maupun hisab (perhitungan astronomis). Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Agama, umumnya menggunakan metode kombinasi rukyat dan hisab dalam menentukan awal Ramadan. Metode ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan dan keseragaman dalam pelaksanaan ibadah puasa di seluruh Indonesia. Namun, beberapa kelompok masyarakat, seperti warga Negeri Wakal dan jemaah Tarekat Naqsabandiyah, memilih untuk tetap menggunakan metode perhitungan hisab tradisional yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Perbedaan ini bukan semata-mata perbedaan teknis dalam perhitungan astronomis, melainkan juga mencerminkan perbedaan pemahaman keagamaan dan kultural. Bagi warga Negeri Wakal, metode perhitungan yang mereka gunakan merupakan bagian integral dari identitas budaya dan tradisi mereka. Hal yang sama juga berlaku bagi jemaah Tarekat Naqsabandiyah, di mana metode hisab yang mereka gunakan merupakan bagian dari ajaran dan praktik keagamaan mereka. Oleh karena itu, perbedaan ini tidak perlu dipandang sebagai pertentangan atau perselisihan, melainkan sebagai bentuk keberagaman dalam pemahaman dan praktik keagamaan di Indonesia.
Keberagaman ini justru memperkaya khazanah budaya dan keagamaan Indonesia. Keberadaan kelompok-kelompok yang menjalankan ibadah puasa lebih awal menunjukkan pluralitas dan toleransi yang tinggi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan dalam penentuan awal Ramadan tidak menghalangi semangat kebersamaan dan persatuan di antara umat Islam di Indonesia. Justru, perbedaan ini menjadi pengingat akan pentingnya saling menghormati dan menghargai perbedaan pendapat dalam konteks keagamaan.
Meskipun terdapat perbedaan dalam penentuan awal Ramadan, semangat keimanan dan ibadah tetap menjadi hal yang utama. Baik warga Negeri Wakal maupun jemaah Tarekat Naqsabandiyah, menjalankan ibadah puasa dengan penuh khusyuk dan keikhlasan. Mereka tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan kultural yang mereka anut. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan dalam metode perhitungan tidak mengurangi esensi dari ibadah puasa itu sendiri, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ke depan, perlu adanya dialog dan komunikasi yang lebih intensif antara pemerintah, organisasi Islam, dan kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki perbedaan dalam penentuan awal Ramadan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik dan mengurangi potensi kesalahpahaman. Penting untuk diingat bahwa perbedaan pendapat dalam hal ini tidak perlu menjadi sumber konflik, melainkan sebagai kesempatan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan di antara umat Islam di Indonesia. Saling menghormati dan menghargai perbedaan merupakan kunci utama dalam menjaga kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Peristiwa ini juga menjadi pengingat akan pentingnya edukasi publik mengenai berbagai metode perhitungan hisab dan rukyat. Dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat dapat lebih bijak dalam menyikapi perbedaan penentuan awal Ramadan dan menghindari potensi kesalahpahaman atau konflik. Pemerintah dan organisasi Islam memiliki peran penting dalam memberikan edukasi publik yang komprehensif dan objektif mengenai hal ini.
Kesimpulannya, perbedaan penentuan awal Ramadan di Negeri Wakal dan kalangan Jemaah Naqsabandiyah menunjukkan kekayaan budaya dan keagamaan di Indonesia. Perbedaan ini bukan menjadi sumber perpecahan, melainkan menunjukkan keberagaman yang menunjukkan kekuatan persatuan dan toleransi di Indonesia. Dengan saling menghormati dan memahami, perbedaan ini dapat dijadikan sebagai momentum untuk memperteguh ukhuwah islamiyah dan menciptakan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Semoga bulan Ramadan tahun ini menjadi bulan yang penuh berkah bagi seluruh umat Islam di Indonesia, tanpa terkecuali.