Jakarta – Nama Rabi’ bin Khaitsam dikenal dalam sejarah Islam sebagai teladan pemuda saleh yang keteguhan imannya tak tergoyahkan, bahkan di tengah godaan yang dirancang secara sistematis. Kisah hidupnya, yang termaktub dalam kitab Siyar Alam an-Nubala karya Imam Az-Zahabi dan dirangkum dalam buku Kumpulan Kisah Teladan, menawarkan pelajaran berharga tentang kekuatan spiritual dan konsekuensi moral dalam menghadapi fitnah.
Rabi’ bin Khaitsam bukanlah sosok anonim. Ia dikenal luas sebagai seorang tabiin – generasi setelah sahabat Nabi Muhammad SAW – yang ahli ibadah dan dikenal dengan kesederhanaan serta ketawadhuannya. Langkah kakinya terukur, pandangan matanya teduh dan tertunduk, mencerminkan kerendahan hati dan fokusnya pada ibadah. Kealiman dan kesalehannya bukan hanya sebatas ritual, melainkan terpancar dalam setiap aspek kehidupannya. Ia dikenal ramah, murah senyum, dan santun dalam pergaulan. Namun, keutamaan akhlak dan keteguhan imannya justru menjadi bumerang bagi sebagian orang.
Sebuah kelompok yang tenggelam dalam kenistaan dan maksiat merasa terusik oleh cahaya kesalehan Rabi’. Kehidupan Rabi’ yang kontras dengan gaya hidup mereka menjadi duri dalam daging. Mereka merasa terancam, bukan oleh kekuatan fisik Rabi’, melainkan oleh kekuatan moralnya yang mampu menginspirasi dan menggugah hati. Dari rasa iri dan dendam inilah, tercetus rencana licik untuk menjatuhkan reputasi pemuda saleh tersebut.
Strategi mereka terbilang licik dan terencana. Mereka tak menggunakan kekerasan atau ancaman fisik, melainkan memanfaatkan kelemahan manusia: godaan syahwat. Mereka menyewa seorang wanita cantik jelita, dengan tubuh molek dan kulit mempesona. Wanita ini bukan sembarang wanita; ia dipilih karena kecantikannya yang mampu membuai hati dan menggoyahkan iman yang lemah. Kelompok tersebut mempersiapkan wanita tersebut dengan teliti. Ia dipakaikan pakaian sutra terbaik, dihiasi perhiasan yang memikat, dan diberi wewangian yang harum semerbak. Semua ini dirancang untuk membangkitkan hasrat dan menguji ketahanan spiritual Rabi’.
Malam itu, wanita tersebut diutus untuk mendekati Rabi’. Ia menunggu di depan rumah Rabi’, menanti kedatangan pemuda saleh itu dari masjid. Strategi mereka sederhana namun efektif: mendekati Rabi’ dengan cara yang seolah-olah membutuhkan pertolongan. Saat Rabi’ pulang, wanita itu meminta setetes air minum. Dengan tenang dan tanpa curiga, Rabi’ memberikan air yang diminta. Permintaan air hanyalah pembuka jalan bagi rencana besar mereka. Dengan licik, wanita itu meminta izin untuk masuk dan duduk sebentar sambil minum air. Rabi’, dengan sifatnya yang ramah dan penuh welas asih, mengizinkan wanita itu masuk.
Begitu pintu tertutup, wanita itu melepas cadar dan kain hitamnya, mengungkapkan kecantikan yang memukau. Di sinilah intinya: ujian iman Rabi’ dimulai. Ia dihadapkan pada godaan yang dirancang secara profesional, menggunakan senjata yang paling ampuh bagi manusia: kecantikan dan rayuan. Bayangkan betapa besar godaan yang dihadapi Rabi’. Namun, di tengah godaan yang mengguncang jiwa, Rabi’ tetap teguh pendirian. Ia tidak terbuai oleh kecantikan fisik, melainkan tetap berpegang teguh pada ajaran agama.
Reaksi Rabi’ sungguh mengejutkan. Bukannya terlena oleh rayuan wanita tersebut, ia justru memberikan nasihat yang mendalam dan menggetarkan. Ia mengawali nasihatnya dengan mengutip ayat Al-Qur’an: "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya." Rabi’ mengingatkan wanita tersebut bahwa kecantikan yang dimilikinya adalah ciptaan Allah SWT yang indah, namun keindahan itu akan sia-sia jika berakhir di neraka. Ia mengingatkan wanita tersebut tentang akibat dosa dan konsekuensi perbuatannya di akhirat.
Lebih lanjut, Rabi’ menggambarkan kengerian penyakit kusta yang dapat merusak keindahan fisik dan malaikat maut yang dapat menjemput kapan saja dalam keadaan berdosa. Gambaran tersebut bukan dimaksudkan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mengingatkan wanita tersebut akan realitas kehidupan dan kematian. Nasihat Rabi’ bukan hanya sebatas peringatan, melainkan juga sebuah ajakan untuk bertobat dan kembali kepada jalan Allah SWT. Kata-kata Rabi’ menusuk kalbu wanita tersebut, membuatnya tersadar akan kesia-siaan perbuatannya. Air mata penyesalan membasahi pipinya. Ia menyadari betapa besar dosa yang hampir ia lakukan dan betapa besar pertolongan Allah SWT yang masih diberikan kepadanya.
Dengan penuh penyesalan, wanita itu kembali mengenakan cadarnya dan meninggalkan rumah Rabi’. Ia meninggalkan godaan dan rayuan duniawi, dan memilih jalan taubat yang penuh dengan pengorbanan. Kisah ini tidak berakhir di sini. Perubahan yang terjadi pada wanita tersebut sungguh luar biasa. Ia bertobat dengan sungguh-sungguh, meninggalkan kehidupan maksiat dan menggantinya dengan ibadah yang tekun. Ia mengisi harinya dengan salat, zikir, dan puasa, menunjukkan penyesalan yang mendalam dan tekad yang kuat untuk memperbaiki diri.
Ironisnya, kelompok yang merencanakan fitnah terhadap Rabi’ justru terkejut dengan hasil yang didapat. Mereka gagal menjatuhkan Rabi’, malah wanita yang mereka sewa untuk menjebak Rabi’ justru bertobat karena nasihatnya. Rencana mereka berbalik menjadi berkah bagi wanita tersebut dan menjadi bukti nyata akan kekuatan iman Rabi’. Mereka mengakui kegagalan mereka dengan kalimat yang menyiratkan kekaguman: "Kita ingin menjatuhkan Rabi’, tapi justru dia yang membuat wanita itu bertobat!"
Akhir hidup wanita tersebut pun menjadi penutup yang indah dari kisah ini. Ia wafat dalam keadaan sujud, menunjukkan ketaatan dan kedekatannya dengan Allah SWT. Tubuhnya yang kurus kering menggambarkan pengorbanannya dan kesungguhannya dalam beribadah. Ia wafat dalam keadaan yang menggambarkan kerendahan hati dan ketaatannya kepada Allah SWT, sebagaimana batang kurma yang kokoh di tengah padang pasir.
Kisah Rabi’ bin Khaitsam bukan hanya sekadar cerita masa lalu, melainkan pelajaran berharga yang relevan hingga saat ini. Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya keteguhan iman di tengah godaan, kekuatan nasihat yang bijak, dan konsekuensi moral dari setiap pilihan hidup. Rabi’ bin Khaitsam menjadi contoh nyata bagaimana kesalehan dan keteguhan iman mampu menangkal godaan dan bahkan mengubah hidup orang lain. Kisahnya menginspirasi kita untuk senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan menjaga diri dari pengaruh negatif lingkungan sekitar. Ia adalah bukti nyata bahwa kebaikan akan selalu menang, meski terkadang melalui jalan yang tak terduga.