Jakarta, 4 Februari 2025 – Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Internasional ke-4 di Indonesia menyajikan kisah inspiratif dari seorang peserta muda asal Kanada, Muhammad Ma’ruf Hussain. Keikutsertaannya dalam ajang bergengsi ini bukan sekadar perlombaan, melainkan cerminan perjalanan panjang seorang pemuda yang mengasah bakat tilawah di tengah komunitas Muslim minoritas di Toronto, Kanada. Kisah Ma’ruf, yang dibagikan melalui unggahan resmi Instagram @penais.kemenag, mengungkap tantangan dan keberkahan dalam mendalami seni membaca Al-Qur’an di lingkungan yang secara demografis berbeda dengan mayoritas penduduknya.
MTQ Internasional ke-4, yang dibuka secara resmi oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar pada Rabu, 29 Januari 2025, mempertemukan 60 peserta delegasi dari 38 negara di empat benua. Lomba yang mempertandingkan dua cabang utama, Tilawah dan Tahfiz Al-Qur’an, menjadi panggung bagi para qori dan hafiz terbaik dunia untuk unjuk kemampuan. Di tengah kompetisi yang ketat ini, kisah perjalanan Ma’ruf Hussain menjadi sorotan, menunjukkan bagaimana semangat dan konsistensi mampu menembus batasan geografis dan demografis.
Perjalanan Ma’ruf dalam mendalami Al-Qur’an bermula dari lingkungan keluarga yang sangat mendukung. Ia bercerita, kecintaannya pada Al-Qur’an tumbuh sejak usia 8-9 tahun, setelah keluarganya pindah ke Kanada ketika ia berusia 5-6 tahun. Ayahnya, Syaikh Qari Muhammad Muzzammil Hussain, berperan besar dalam membimbing dan membentuk minat Ma’ruf terhadap kitab suci tersebut. Dukungan orang tua ini menjadi kunci awal kesuksesannya.
“Saya awalnya tidak terlalu serius,” ungkap Ma’ruf, “sampai akhirnya ayah memasukkan saya ke madrasah saat kelas tiga.” Pengakuan sederhana ini justru menggarisbawahi pentingnya peran pendidikan formal dalam menggali dan mengembangkan potensi. Madrasah, sebagai lembaga pendidikan agama Islam, menjadi tempat Ma’ruf mengenal lebih dalam seni tilawah dan mendekatkan diri pada Al-Qur’an.
Di bawah bimbingan sang ayah, Ma’ruf mampu menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada usia yang relatif muda, antara 13 hingga 14 tahun. Prestasi ini tidak hanya menunjukkan kemampuan hafalannya yang luar biasa, tetapi juga dedikasi dan disiplin yang tinggi dalam belajar. Lebih dari sekadar menghafal, Ma’ruf juga mendalami bahasa Arab, bahasa asli Al-Qur’an, untuk memahami makna dan konteks ayat-ayat suci secara lebih komprehensif.
“Ayah selalu menempatkan saya di lingkungan para syuyukh yang membahas Al-Qur’an dan Sunnah,” kenang Ma’ruf. Lingkungan belajar yang kondusif dan penuh dengan ilmu agama ini membentuk karakter dan kepribadian Ma’ruf, tidak hanya dalam hal pemahaman agama, tetapi juga dalam aspek akhlak dan perilaku sehari-hari. Pengaruh lingkungan ini sangat krusial dalam membentuk pondasi spiritual yang kuat.
Namun, menjadi seorang Muslim di Kanada juga menghadirkan tantangan tersendiri. Sebagai minoritas, Ma’ruf harus beradaptasi dan menjaga identitas keagamaannya di tengah masyarakat yang mayoritas non-Muslim. Tantangan ini, bukanlah penghalang, melainkan justru menjadi pengalaman berharga dalam perjalanan spiritualnya.
“Interaksi dengan teman-teman non-Muslim sudah menjadi keseharian dalam hidup saya,” jelas Ma’ruf. “Mereka juga mengizinkan pembangunan masjid dan kegiatan menghafal Al-Qur’an. Ini peluang besar bagi kami untuk berdakwah.” Pernyataan ini menunjukkan sikap terbuka dan toleransi masyarakat Kanada terhadap keberagaman agama, serta peluang yang ada untuk menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang damai dan bijaksana.
Ma’ruf juga menyoroti pengaruh teknologi terhadap generasi muda, baik di negara-negara Barat maupun negara-negara Muslim. Ia mengakui adanya potensi negatif dari perkembangan teknologi yang dapat mengikis nilai-nilai agama. Namun, ia menekankan pentingnya membangun ketahanan spiritual melalui komunitas yang kuat.
“Di Kanada, ada ulama dan majelis ilmu yang membantu membentengi muslim dari pengaruh negatif,” terang Ma’ruf. Peran ulama dan lembaga keagamaan dalam membimbing dan melindungi generasi muda dari pengaruh negatif teknologi sangat penting dalam menjaga keutuhan iman dan akidah. Komunitas yang solid menjadi benteng pertahanan dalam menghadapi tantangan modernisasi.
Keikutsertaan Ma’ruf dalam MTQ Internasional di Indonesia merupakan puncak dari perjalanan panjangnya dalam mendalami tilawah. Ia mengungkapkan kekagumannya terhadap Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan komitmen yang kuat dalam memajukan seni tilawah.
“Kompetisi ini luar biasa,” pungkas Ma’ruf. “Saya menunggu setahun untuk tahap seleksi hingga akhirnya bisa tiba di sini.” Pernyataan ini menunjukkan dedikasi dan kerja keras yang telah ia lakukan untuk mencapai tahap ini. Keikutsertaannya bukan hanya sekadar mengikuti perlombaan, melainkan juga sebagai bentuk penghormatan dan apresiasi terhadap seni tilawah dan budaya Islam di Indonesia.
Kisah Ma’ruf Hussain menjadi inspirasi bagi banyak orang, khususnya bagi generasi muda Muslim di seluruh dunia. Perjalanannya menunjukkan bahwa potensi dan bakat dapat diasah dan dikembangkan di mana pun kita berada, bahkan di tengah tantangan dan keterbatasan. Keberhasilannya bukan hanya karena bakat alami, tetapi juga karena dukungan keluarga, lingkungan belajar yang kondusif, dan ketahanan spiritual yang kuat. Kisah ini juga menjadi bukti nyata bahwa Islam dapat berkembang dan dipraktikkan dengan baik di berbagai belahan dunia, terlepas dari perbedaan latar belakang budaya dan demografis. Keberadaan Ma’ruf di MTQ Internasional merupakan bukti nyata dari semangat persaudaraan Islam yang melampaui batas geografis dan budaya.