ERAMADANI.COM, JAKARTA – Pemerintah membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk peremajaan kelapa sawit dan mendukung progam biodiesel sejak 2015. Meski demikian, alokasi untuk peremajaan sawit rakyat terbilang kecil, hanya 8,1 persen atau sekitar Rp 2,73 triliun selama empat tahun.
Adapun lembaga itu di bawah Kementerian Keuangan yang bertujuan memungut dana ekspor dari pengusaha kelapa sawit.
Abra Tallatov selaku peneliti Institute of Development and Economics Finance (INDEF) mengatakan, selama 2015 hingga 2019 pungutan atas ekspor yang berhasil BPDPKS kumpulkan mencapai Rp 47,2 triliun.
Juga ada penambahan dari pendapatan dana pengelolaan tersebut, sehingga totalnya mencapai Rp 51 triliun.
Namun, ternyata alokasi untuk peremajaan sawit rakyat masih kecil.
Sementara alokasi terbanyak dari pungutan itu tersalurkan untuk program biodesel yang mencapai 89 persen atau sekitar Rp 30,2 triliun.
Oleh karenanya, lebih banyak masuk ke kantong pengusaha sawit swasta dan produsen biofuel.
Lantas sisanya untuk pengembangan dan penelitian sebesar 0,8 persen atau Rp 284 miliar serta sarana dan prasarana 0,01 persen atau Rp 1,7 miliar.
Kemudian untuk promosi dan kemitraan 0,62 persen atau Rp 208 miliar dan pengembangan sumber daya manusia 0.42 persen atau Rp 104 miliar.
“Mestinya pungutan ekspor yang diambil pemerintah termasuk dari perkebunan rakyat harusnya kembali lagi (lebih banyak) ke lahan sawit rakyat,” kata Abra Tallatov, mengutip kumparan.com.
Ancaman Deforestasi
Program sejak 2015 itu sudah pemerintah masukkan dalam rencana strategis hingga 2025.
Terkait hal itu, Arkian Suryadarma selaku Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, kebijakan biodiesel ini akan berdampak pada lingkungan yaitu memicu adanya deforestasi hutan.
Deforestasi itu berkaitan dengan semakin banyaknya membutuhkan lahan luas.
Pemerintah memerlukan penambahan lahan sebanyak 5,2 juta hektar untuk kebijakan B30.
Sementara apabila kebijakan B50, maka membutuhkan lahan seluas 9,2 juta hektar untuk produksi minyak kelapa sawit (CPO). Hingga kini, total lahan sawit mencapai 16 juta hektar.
“Dengan adanya tambahan kebutuhan untuk biodiesel akan adanya risiko kenaikan potensi deforestasi lebih besar untuk memenuhi kebutuhan CPO untuk produksi biodiesel,” jelas Arkian.
Lebih lagi apabila pemerintah merealisasikan program ini hingga 100 persen atau B100, maka kebutuhan lahan untuk menanam sawit semakin luas.
“Bukan hanya dari Kalimantan atau Sumatera yang sudah banyak perkebunan sawit, tetapi ini akan menggeser ke daerah-daerah baru seperti Papua,” pungkasnya. (ITM)