Azan, panggilan suci bagi umat Muslim untuk menunaikan shalat, seharusnya dilantunkan dengan penuh kehati-hatian dan pemahaman yang mendalam akan ajaran Islam. Namun, praktik-praktik di luar syariat seringkali menyertai pelafalan azan, menimbulkan kebingungan dan pemahaman yang keliru di kalangan masyarakat. Fenomena ini, yang perlu mendapat perhatian serius, telah dikaji oleh para ulama, di antaranya Sayyid Sabiq dalam karyanya, Fikih Sunnah, yang diterjemahkan oleh Syeikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi. Buku tersebut mengungkap beberapa contoh penyimpangan dari ajaran Islam yang terjadi dalam praktik azan dan iqamah.
Salah satu penyimpangan yang jamak ditemukan adalah penambahan lafaz "Sayyidana" sebelum menyebut nama Rasulullah SAW. Praktik ini, menurut Sayyid Sabiq, mengubah redaksi asli azan yang telah mapan dan disepakati. Penulisan lengkapnya dalam aksara Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin, beserta terjemahannya, menunjukkan betapa penambahan kata tersebut mengubah struktur kalimat dan, meskipun tidak mengubah makna secara signifikan, merupakan suatu penambahan yang tidak memiliki dasar dalam syariat. Penggunaan lafaz "Asyahadu anna sayyidana Muhammadan Rasulullah" (Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah) menunjukkan penambahan "sayyidana" (tuan kita) yang tidak terdapat dalam teks azan yang sahih. Meskipun niatnya mungkin untuk menunjukkan penghormatan yang lebih tinggi, penambahan ini tetap dianggap sebagai penyimpangan dari praktik yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Selain penambahan kata, Sayyid Sabiq juga mencatat praktik melagukan azan dan meliuk-liukkan suara dengan menambahkan huruf, harakat (tanda baca), atau mad (tanda panjang). Praktik ini, menurut beliau, hukumnya makruh. Makruh, dalam terminologi fikih, menunjukkan suatu perbuatan yang tidak dianjurkan dan sebaiknya dihindari. Lebih jauh, Sayyid Sabiq menekankan bahwa jika perubahan pelafalan tersebut sampai menyebabkan perubahan makna atau menimbulkan ketidakjelasan, maka hal tersebut menjadi haram (dilarang). Ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga keaslian dan kejelasan lafaz azan agar pesan panggilan shalat tersampaikan dengan tepat dan tidak menimbulkan misinterpretasi. Ketelitian dalam pelafalan azan bukan hanya soal tata bahasa Arab, tetapi juga soal menjaga kesucian dan keotentikan ajaran Islam.
Praktik non-syariat lainnya yang sering terjadi, khususnya di Indonesia, adalah membaca tasbih, nasyid, atau doa-doa tertentu melalui pengeras suara sebelum azan Subuh. Syeikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, dalam catatannya terhadap Fikih Sunnah, menegaskan bahwa praktik ini, yang seringkali terjadi menjelang azan Subuh, termasuk bid’ah (inovasi dalam agama yang tidak memiliki dasar). Al-Iqna dan Syarah-nya, kitab rujukan Mazhab Hambali, juga mendukung pandangan ini dengan menyatakan bahwa bacaan-bacaan di luar azan sebelum waktu shubuh, termasuk tasbih, nasyid, dan doa melalui pengeras suara, bukanlah termasuk sunnah. Penggunaan pengeras suara, khususnya, memperparah masalah karena dapat mengganggu ketenangan masyarakat yang sedang beristirahat. Ini menunjukkan bahwa praktik tersebut tidak hanya menyimpang dari ajaran Islam, tetapi juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan sekitar.
Lebih lanjut, bacaan shalawat atas Nabi Muhammad SAW melalui pengeras suara setelah azan juga menjadi sorotan. Meskipun membaca shalawat sendiri hukumnya sunnah, Ibnu Hajar dalam Al-Fatawa Al-Kubra menyatakan bahwa membiasakan membaca shalawat dengan pengeras suara setelah setiap azan dapat dikategorikan sebagai bid’ah. Ini menunjukkan bahwa niat yang baik pun tidak selalu menjamin kesesuaian dengan ajaran Islam. Konteks dan cara pelaksanaan suatu amalan sangat penting untuk menentukan hukumnya. Membaca shalawat secara pribadi atau dalam jamaah dengan cara yang sederhana dan sesuai sunnah jauh lebih dianjurkan daripada membacanya dengan pengeras suara secara rutin setelah setiap azan.
Kesimpulannya, praktik-praktik non-syariat dalam pelafalan azan, seperti penambahan lafaz "Sayyidana", melagukan azan, membaca tasbih atau nasyid sebelum azan Subuh, dan membaca shalawat dengan pengeras suara setelah azan, perlu mendapat perhatian serius dari seluruh umat Muslim. Meskipun niat di balik praktik-praktik tersebut mungkin baik, yaitu untuk meningkatkan ketakwaan atau menunjukkan penghormatan yang lebih besar, tetap penting untuk berpegang teguh pada ajaran Islam yang sahih dan menghindari praktik-praktik yang tidak memiliki dasar dalam Al-Quran dan Sunnah. Keaslian dan kesederhanaan dalam pelaksanaan ibadah, termasuk pelafalan azan, harus selalu diutamakan. Masyarakat perlu dididik dan diberikan pemahaman yang benar tentang ajaran Islam terkait azan agar praktik-praktik non-syariat ini dapat dihindari dan keotentikan ajaran Islam dapat terjaga. Peran para ulama dan tokoh agama sangat penting dalam memberikan bimbingan dan edukasi kepada masyarakat agar mereka dapat memahami dan menjalankan ibadah dengan benar sesuai dengan syariat Islam. Semoga artikel ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya menjaga kesucian dan keotentikan ajaran Islam dalam pelaksanaan ibadah, khususnya dalam pelafalan azan.