Menjelang Ramadan 1446 H/2025 M, Indonesia kembali dihadapkan pada potensi perbedaan penetapan awal puasa antara pemerintah, yang diwakili Kementerian Agama (Kemenag), dan Persyarikatan Muhammadiyah. Perbedaan ini, yang telah berulang selama beberapa tahun terakhir, berakar pada perbedaan metodologi penentuan awal bulan kamariah. Kemenag, mengacu pada Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004, menggabungkan metode rukyah (pengamatan hilal) dan hisab (perhitungan astronomis) dalam sidang isbat untuk menentukan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah. Sementara itu, Muhammadiyah konsisten menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal, yang dikembangkan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, berfokus pada perhitungan posisi bulan secara faktual di langit.
Kemenag: Sidang Isbat sebagai Penentu Akhir
Kemenag telah mengumumkan rencana pelaksanaan sidang isbat untuk penetapan awal Ramadan 1446 H pada Jumat, 28 Februari 2025, di Auditorium H.M. Rasjidi, Jakarta Pusat. Direktur Jenderal Bimas Islam Kemenag, Abu Rokhmad, menegaskan bahwa sidang ini akan melibatkan berbagai pihak, termasuk perwakilan organisasi masyarakat Islam (ormas), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), ahli falak, serta perwakilan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Agung. Proses sidang akan diawali dengan pemaparan data hisab, dilanjutkan dengan verifikasi hasil rukyatul hilal (pengamatan hilal) dari berbagai lokasi di Indonesia. Setelah musyawarah, keputusan resmi mengenai awal Ramadan akan diumumkan kepada publik. Abu Rokhmad menyampaikan harapannya agar umat Islam di Indonesia dapat memulai ibadah puasa secara serentak tahun ini.
Data hisab yang dimiliki Kemenag menunjukkan indikasi kuat akan terlihatnya hilal pada 28 Februari 2025. Ijtimak (konjungsi matahari-bulan) diprediksi terjadi sekitar pukul 07.44 WIB, dan pada saat matahari terbenam, ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan berada di atas ufuk, berkisar antara 3° 5,91′ hingga 4° 40,96′, dengan sudut elongasi antara 4° 47,03′ hingga 6° 24,14′. Direktur Urais Binsyar pada Ditjen Bimas Islam Kemenag, Arsad Hidayat, menjelaskan bahwa meskipun data hisab menunjukkan indikasi kuat, keputusan final tetap menunggu hasil sidang isbat. Hasil hisab tersebut akan dikonfirmasi melalui pemantauan hilal di 125 titik di seluruh Indonesia.
Namun, potensi perbedaan tetap ada. Mengacu pada kriteria Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) – yang menjadi salah satu rujukan pemerintah dalam sidang isbat – terdapat kemungkinan perbedaan penetapan awal Ramadan. Peneliti bidang astronomi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin, dalam blog pribadinya, menganalisis bahwa meskipun hilal berpotensi terlihat pada 28 Februari 2025, kriteria MABIMS yang mensyaratkan tinggi hilal minimal 3 derajat dan sudut elongasi minimal 6,4 derajat, mungkin tidak terpenuhi di seluruh wilayah Indonesia. Beliau mengemukakan kemungkinan bahwa pemerintah akan menetapkan 1 Ramadan 1446 H jatuh pada 2 Maret 2025, meskipun di beberapa wilayah, seperti Aceh, kriteria MABIMS sudah terpenuhi pada 28 Februari 2025.
Muhammadiyah: Penetapan Awal Ramadan 1 Maret 2025
Berbeda dengan Kemenag, PP Muhammadiyah telah menetapkan awal Ramadan 1446 H jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025. Keputusan ini tertuang dalam Maklumat PP Muhammadiyah Nomor 1/MLM/I.0/E/2025 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1446 Hijriah, yang diumumkan Sekretaris PP Muhammadiyah, Muhammad Sayuti, dalam konferensi pers pada 12 Februari 2025. Menurut Sayuti, berdasarkan hasil hisab hakiki wujudul hilal, pada saat matahari terbenam Jumat, 28 Februari 2025, bulan telah berada di atas ufuk di seluruh wilayah Indonesia, sehingga hilal telah wujud. Dengan demikian, 1 Ramadan 1446 H ditetapkan pada Sabtu, 1 Maret 2025. Puasa menurut perhitungan Muhammadiyah akan berlangsung selama 30 hari, hingga Minggu, 30 Maret 2025, dan Idul Fitri jatuh pada Senin, 31 Maret 2025.
Analisis Perbedaan Metodologi dan Implikasinya
Perbedaan penetapan awal Ramadan antara Kemenag dan Muhammadiyah berakar pada perbedaan metodologi yang digunakan. Kemenag menggunakan pendekatan komprehensif yang menggabungkan hisab dan rukyah, dengan sidang isbat sebagai mekanisme pengambilan keputusan final. Proses ini bertujuan untuk mengakomodasi berbagai perspektif dan memastikan keputusan yang diterima secara luas. Namun, pendekatan ini juga rentan terhadap perbedaan interpretasi dan potensi penundaan keputusan.
Sebaliknya, Muhammadiyah menggunakan metode hisab yang lebih deterministik, berfokus pada perhitungan astronomis yang akurat. Metode ini memberikan kepastian dan kejelasan lebih awal, namun mungkin kurang mengakomodasi aspek pengamatan langsung (rukyah). Perbedaan ini bukan sekadar perbedaan teknis, melainkan juga mencerminkan perbedaan epistemologi dan pendekatan dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.
Perbedaan penetapan awal Ramadan, meskipun berpotensi menimbulkan dinamika sosial, bukanlah hal yang baru dan patut dipahami sebagai perbedaan ijtihad. Kedua lembaga, Kemenag dan Muhammadiyah, memiliki dasar argumentasi yang kuat dalam metodologi yang mereka gunakan. Yang penting adalah bagaimana perbedaan ini dikelola dengan bijak, menjaga ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan menghindari polarisasi. Toleransi, saling menghormati, dan pemahaman yang mendalam terhadap perbedaan metodologi menjadi kunci dalam menghadapi potensi perbedaan ini. Umat Islam diharapkan dapat tetap fokus pada esensi ibadah Ramadan, yaitu meningkatkan ketakwaan dan memperkuat hubungan dengan Allah SWT, terlepas dari perbedaan tanggal awal puasa. Semoga perbedaan ini tidak mengurangi kekhusyukan dan keutamaan ibadah di bulan suci Ramadan.