Jakarta, 20 Desember 2024 – Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menyimpan potensi ekonomi syariah yang luar biasa. Namun, ironisnya, penetrasi produk dan layanan keuangan syariah masih jauh dari optimal, bahkan berada di bawah 10% menurut data terbaru. Fakta ini mengemuka dalam talkshow bertajuk "Fenomena Pinjol & Judol serta Solusi Ekonomi Syariah di Kalangan Milenial" yang diselenggarakan di Hotel Swissbell Pondok Indah, Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2024). Rendahnya penetrasi ini menjadi sorotan utama, mengungkap tantangan besar yang dihadapi sektor ekonomi syariah di tengah potensi pasar yang sangat menjanjikan.
Direktur Utama Lembaga Sertifikasi Profesi Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (LSP DSN-MUI), Dr. H. Aminudin Yakub, dalam paparannya mengungkapkan kekecewaan atas minimnya pemanfaatan instrumen keuangan syariah yang telah tersedia secara lengkap. "Kita memiliki instrumen keuangan syariah yang telah dikembangkan oleh Majelis Ulama Indonesia, mulai dari perbankan, asuransi, pasar modal, penjaminan, pegadaian, perusahaan pembiayaan, hingga multi-level marketing syariah dan lembaga bisnis syariah," jelasnya. Namun, "Sayangnya, pemanfaatan instrumen-instrumen ini hingga saat ini masih di bawah 10%. Market share industri keuangan syariah belum mencapai angka tersebut," tambahnya dengan nada prihatin.
Aminudin Yakub lebih lanjut menganalisis penyebab rendahnya minat masyarakat terhadap produk keuangan syariah. Ia menunjuk tiga faktor utama: rendahnya literasi keuangan, gaya hidup konsumtif, dan preferensi terhadap solusi instan. Generasi milenial, yang seharusnya menjadi agen perubahan dan penggerak ekonomi, justru banyak terjerat dalam perangkap pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol). "Problematika kita terjebak pada angka 10% karena kurangnya literasi, preferensi terhadap solusi instan, minimnya kebiasaan berinvestasi, dan gaya hidup konsumtif," paparnya. Ia menegaskan, "Intinya, terkait fenomena judi online dan pinjol, kita semua seharusnya memahami sebagai generasi yang smart. Jika masih terjebak dalam dua hal ini, kecerdasan Anda perlu dipertanyakan."
Pernyataan Aminudin Yakub senada dengan pandangan Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. KH Asrorun Ni’am Sholeh. Ia turut menyoroti rendahnya kesadaran masyarakat akan produk keuangan syariah, padahal potensi pasarnya sangat besar. Dengan populasi Muslim mencapai 87% dari total penduduk Indonesia, ekonomi syariah memiliki peluang emas untuk berkembang pesat. "Meskipun kita mayoritas Muslim, kesadaran untuk mengakses produk keuangan syariah masih cukup rendah. Ini menjadi kesempatan bagi pelaku ekonomi syariah untuk memperluas jangkauan produknya," ujar Asrorun Ni’am. Ia menambahkan, "Secara potensial, 87% penduduk Muslim merupakan pasar ekonomi keuangan syariah. Namun, belum semuanya terjangkau dan tersadarkan untuk menggunakannya."
Ni’am menekankan pentingnya peran aktif pelaku ekonomi syariah dalam menawarkan produk-produk yang menarik dan kompetitif. Visibilitas dan aksesibilitas produk menjadi kunci utama untuk meningkatkan penetrasi pasar. "Tantangan bagi pelaku ekonomi syariah adalah menawarkan produk-produk yang visible, menarik, dan kompetitif," tegas Ni’am, yang juga menjabat sebagai ketua Pusat Studi Fatwa dan Hukum Islam (Pusfahim) UIN Jakarta. Ia menyiratkan perlunya strategi pemasaran yang lebih agresif dan inovatif untuk menjangkau segmen pasar yang lebih luas, khususnya generasi milenial yang rentan terhadap godaan pinjol dan judol.
Rendahnya penetrasi ekonomi syariah di Indonesia bukan hanya sekadar angka statistik, melainkan indikator dari permasalahan yang lebih kompleks. Kurangnya literasi keuangan menjadi akar masalah yang perlu ditangani secara serius. Banyak masyarakat, terutama di kalangan generasi muda, kurang memahami konsep dasar keuangan syariah, produk-produk yang tersedia, dan manfaatnya dibandingkan dengan produk konvensional. Ketidakpahaman ini membuat mereka cenderung memilih solusi instan dan mudah diakses, meskipun berisiko tinggi, seperti pinjol dan judol.
Gaya hidup konsumtif juga menjadi faktor penghambat. Tren belanja online yang semakin marak dan mudahnya akses kredit membuat masyarakat terjebak dalam siklus utang yang sulit dilepaskan. Kemampuan menabung dan berinvestasi masih rendah, sehingga masyarakat lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan konsumtif daripada merencanakan masa depan secara finansial. Hal ini diperparah dengan kurangnya edukasi keuangan yang komprehensif dan berkelanjutan.
Peran pemerintah dalam meningkatkan literasi keuangan syariah sangat krusial. Program edukasi yang terstruktur dan terintegrasi perlu digencarkan melalui berbagai media, baik online maupun offline. Kerjasama antara pemerintah, lembaga keuangan syariah, dan lembaga pendidikan sangat penting untuk menciptakan program edukasi yang efektif dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Materi edukasi harus disusun secara sederhana, mudah dipahami, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Selain itu, perlu ada inovasi dalam produk dan layanan keuangan syariah agar lebih menarik dan kompetitif. Produk-produk yang ditawarkan harus sesuai dengan kebutuhan dan gaya hidup masyarakat modern. Pengembangan teknologi digital juga sangat penting untuk mempermudah akses dan transaksi keuangan syariah. Platform online yang user-friendly dan aman dapat meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan produk keuangan syariah.
Lembaga keuangan syariah juga perlu meningkatkan kualitas pelayanan dan kepercayaan masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama untuk membangun kepercayaan. Pelayanan yang ramah, cepat, dan efisien dapat meningkatkan kepuasan pelanggan dan mendorong mereka untuk menggunakan produk keuangan syariah secara berkelanjutan.
Peran media massa juga sangat penting dalam mensosialisasikan produk dan layanan keuangan syariah. Publikasi berita dan artikel yang positif dan informatif dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan manfaat keuangan syariah. Kampanye edukasi melalui media sosial juga dapat menjangkau segmen pasar yang lebih luas, khususnya generasi milenial.
Kesimpulannya, rendahnya penetrasi ekonomi syariah di Indonesia merupakan tantangan besar yang membutuhkan solusi komprehensif dan kolaboratif. Peningkatan literasi keuangan, perubahan gaya hidup konsumtif, inovasi produk dan layanan, serta peran aktif pemerintah, lembaga keuangan syariah, dan media massa sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi syariah yang berkelanjutan. Potensi yang besar harus diimbangi dengan strategi yang tepat dan terintegrasi untuk mewujudkan ekonomi syariah Indonesia yang inklusif dan berdaya saing. Hanya dengan demikian, angka penetrasi di bawah 10% dapat diubah menjadi angka yang mencerminkan potensi sebenarnya dari ekonomi syariah Indonesia.