Jakarta, 2 Januari 2025 – Konflik berdarah di Jalur Gaza telah mengakibatkan penurunan populasi yang signifikan, mencapai angka 6 persen sejak dimulainya serangan Israel pada Oktober 2023. Data mengejutkan ini diungkap oleh Biro Statistik Pusat Palestina (PCBS), yang memperkirakan lebih dari 160.000 jiwa telah hilang dari populasi Gaza, sehingga jumlah penduduk kini diperkirakan hanya sekitar 2,1 juta jiwa. Angka ini didasarkan pada estimasi korban jiwa yang mencapai lebih dari 55.000 orang, termasuk lebih dari 45.000 yang dikonfirmasi Kementerian Kesehatan Gaza, serta 11.000 orang yang masih dinyatakan hilang. Lebih lanjut, PCBS mencatat sekitar 100.000 warga Palestina telah meninggalkan Gaza sejak dimulainya serangan.
Meskipun Kementerian Luar Negeri Israel membantah angka-angka tersebut dengan menyebutnya "buatan", data PCBS selaras dengan perkiraan yang dikeluarkan oleh Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA). Hingga Juli 2024, OCHA mencatat sekitar 2,1 juta penduduk masih berada di Jalur Gaza, angka yang menunjukkan keselarasan dengan temuan PCBS meskipun terdapat perbedaan metodologi dan periode pengumpulan data. Perbedaan ini menandakan kompleksitas dalam memperoleh data akurat di tengah situasi konflik yang kacau dan akses terbatas.
"Ada kerugian manusia dan material yang sangat besar," ungkap PCBS dalam laporan yang dikutip oleh Saudi Gazette, Kamis (2/1/2025). Laporan tersebut menekankan bahwa agresi Israel yang brutal dan terus-menerus terhadap seluruh Jalur Gaza menjadi penyebab utama tragedi kemanusiaan ini. Pernyataan ini menggarisbawahi keprihatinan internasional yang meluas terkait dampak konflik terhadap warga sipil.
Tragedi kemanusiaan di Gaza telah memicu gelombang kecaman internasional dan tuduhan serius terhadap Israel. Pada Januari 2024, Mahkamah Internasional (ICJ), pengadilan tertinggi PBB, telah mengeluarkan putusan yang mengharuskan Israel mencegah tindakan genosida terhadap warga Palestina. Putusan ini menjadi landasan bagi berbagai organisasi hak asasi manusia untuk menuntut pertanggungjawaban Israel atas tindakannya.
Sejumlah organisasi HAM terkemuka, termasuk Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International, telah secara terang-terangan menuduh Israel melakukan genosida di Gaza. Tuduhan ini didasarkan pada skala kematian yang luar biasa, kehancuran infrastruktur yang meluas, dan pembatasan sistematis terhadap akses terhadap sumber daya vital seperti air dan listrik.
Dalam laporan yang dirilis pada Desember 2024, HRW menuduh Israel melakukan kampanye genosida dengan secara sistematis membatasi dan menargetkan pasokan air ke Gaza. Laporan tersebut mendokumentasikan dampak mengerikan dari kebijakan ini, yang telah menyebabkan kematian banyak bayi, anak-anak, dan orang dewasa akibat kekurangan gizi, dehidrasi, dan penyakit. HRW mencatat bahwa tindakan Israel untuk memutus aliran air dan listrik, menghancurkan infrastruktur, dan mencegah distribusi pasokan penting merupakan "serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil," yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pemusnahan.
Meskipun HRW mengakui bahwa pembuktian niat adalah kunci dalam menentukan apakah genosida telah dilakukan berdasarkan hukum internasional, kelompok tersebut menyatakan bahwa "pola perilaku" yang diamati dan pernyataan dari pejabat Israel "mungkin mengindikasikan" niat genosida. Laporan ini didasarkan pada wawancara dengan lebih dari 60 warga Palestina, laporan dari karyawan utilitas, dokter dan pekerja perawatan kesehatan, pekerja bantuan, serta analisis citra satelit, foto, dan video. Kesaksian para saksi mata ini memberikan gambaran yang mengerikan tentang penderitaan yang dialami penduduk Gaza.
Amnesty International, dalam laporan terpisah, juga menuduh Israel melakukan genosida di Gaza. Tuduhan ini semakin memperkuat kecaman internasional terhadap tindakan Israel. Israel, sebagaimana telah dilakukan sebelumnya, menolak tuduhan tersebut dengan keras, mengatakan bahwa operasi militernya hanya menargetkan militan Hamas dan bukan warga sipil. Klaim ini dibantah oleh bukti-bukti yang dikumpulkan oleh berbagai organisasi HAM, yang menunjukkan dampak yang menghancurkan terhadap penduduk sipil.
Pernyataan Kementerian Luar Negeri Israel yang membantah tuduhan genosida dan mengklaim telah berupaya memfasilitasi aliran air dan bantuan kemanusiaan selama perang, berbenturan dengan temuan faktual yang disajikan oleh HRW dan Amnesty International. Perbedaan narasi ini menonjolkan kesenjangan yang besar antara klaim pemerintah Israel dan realitas di lapangan.
Konflik di Gaza juga telah memicu proses hukum internasional. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sedang berupaya menangkap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant karena diduga melakukan kejahatan perang. Langkah ini menunjukkan keseriusan tuduhan yang dilayangkan terhadap kepemimpinan Israel dan potensi konsekuensi hukum yang akan mereka hadapi.
Situasi di Gaza terus menjadi perhatian dunia. Penurunan populasi yang drastis, tuduhan genosida, dan proses hukum internasional yang sedang berlangsung menunjukkan kompleksitas dan keparahan konflik tersebut. Perlu adanya investigasi independen dan transparan untuk memastikan pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang yang terjadi, serta upaya internasional yang terkoordinasi untuk mengakhiri konflik dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada penduduk Gaza yang menderita. Keheningan internasional atas tragedi ini tidak dapat diterima, dan tuntutan keadilan bagi korban harus menjadi prioritas utama. Masa depan Gaza dan penduduknya bergantung pada tindakan tegas dan terukur dari komunitas internasional.