Jakarta, [Tanggal Publikasi] – Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas, melalui pernyataan resminya, memberikan penjelasan mendalam terkait fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan penggunaan hasil investasi setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (Bipih) untuk membiayai keberangkatan jemaah haji lain. Menag menekankan bahwa keputusan tersebut didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan prioritas untuk menghindari potensi mudarat yang lebih besar daripada maslahatnya.
Pernyataan Menag ini menanggapi kontroversi yang muncul pasca-dikeluarkannya Fatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII Nomor 09/Ijtima’Ulama/VIII/2024. Fatwa tersebut secara tegas menyatakan haramnya pemanfaatan hasil investasi Bipih untuk kepentingan jemaah lain. Keputusan ini telah memicu berbagai diskusi dan interpretasi di kalangan masyarakat, khususnya para calon jemaah haji.
Menag menjelaskan bahwa pengelolaan dana haji, yang merupakan amanah umat, harus dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dan profesionalisme yang tinggi. Meskipun mengakui kompleksitas pengelolaan keuangan haji yang melibatkan jumlah dana yang sangat besar, Menag menegaskan perlunya pendekatan yang berlandaskan prinsip syariah dan menghindari risiko finansial yang dapat merugikan jemaah.
"Pengelolaan dana haji bukan sekadar persoalan bisnis semata," tegas Menag. "Ini menyangkut ibadah suci jutaan umat Islam Indonesia. Oleh karena itu, kita harus memastikan setiap langkah yang diambil tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga sesuai dengan kaidah syariah dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi jemaah."
Menag merinci beberapa pertimbangan yang mendasari fatwa MUI tersebut. Salah satu pertimbangan utama adalah potensi risiko investasi yang dapat mengakibatkan kerugian finansial. Investasi, meskipun berpotensi menghasilkan keuntungan, juga mengandung risiko kerugian. Jika investasi mengalami kegagalan, maka dana haji yang diperuntukkan bagi jemaah lain dapat terancam, bahkan hilang seluruhnya. Hal ini tentu akan menimbulkan kerugian besar dan ketidakadilan bagi jemaah yang bersangkutan.
"Kita tidak boleh mengabaikan potensi risiko kerugian," lanjut Menag. "Prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan syariah mengharuskan kita untuk menghindari tindakan yang berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh. Dalam konteks ini, risiko kerugian dari investasi dana haji untuk membiayai jemaah lain dinilai lebih besar daripada potensi keuntungannya."
Selain risiko finansial, Menag juga menyoroti aspek keabsahan dan kesucian dana haji. Penggunaan dana haji harus senantiasa dijaga kesuciannya agar tidak tercampur dengan unsur-unsur yang haram. Investasi yang berisiko dapat menimbulkan keraguan akan kesucian dana tersebut, sehingga berpotensi membatalkan ibadah haji jemaah yang dibiayai dengan dana tersebut.
"Berhaji dengan dana yang diragukan kesuciannya, bahkan sedikit saja, akan mengurangi nilai ibadah dan bahkan dapat membatalkan hajinya," jelas Menag. "Oleh karena itu, kita harus memastikan dana haji yang digunakan untuk membiayai jemaah tetap suci dan halal, sesuai dengan prinsip syariah."
Menag juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana haji. Penggunaan dana haji harus dapat dipertanggungjawabkan kepada seluruh jemaah dan masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dana haji dan mencegah terjadinya penyelewengan.
"Kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dana haji sangat penting," ujar Menag. "Transparansi dan akuntabilitas yang tinggi akan menjamin pengelolaan dana haji berjalan dengan baik dan sesuai dengan aturan yang berlaku."
Menag mengakui bahwa keputusan MUI ini mungkin akan menimbulkan dampak tertentu, misalnya terkait dengan upaya untuk mengurangi biaya haji. Namun, Menag menegaskan bahwa prinsip syariah dan keselamatan ibadah jemaah harus diutamakan di atas segala-galanya.
"Kita harus mencari solusi yang terbaik dan sesuai dengan prinsip syariah," kata Menag. "Meskipun mungkin ada kendala atau tantangan, kita harus tetap berkomitmen untuk mengelola dana haji dengan sebaik-baiknya dan memastikan setiap jemaah dapat menunaikan ibadah haji dengan tenang dan khusyuk."
Menag juga menyampaikan apresiasinya kepada MUI yang telah mengeluarkan fatwa tersebut. Menurutnya, fatwa MUI merupakan langkah yang tepat untuk menjaga kesucian dan keselamatan dana haji. Fatwa ini juga menunjukkan komitmen MUI dalam menjaga agar ibadah haji tetap sesuai dengan syariat Islam.
"Saya mengapresiasi langkah MUI dalam mengeluarkan fatwa ini," kata Menag. "Fatwa ini merupakan bentuk tanggung jawab MUI dalam menjaga kesucian dan keselamatan dana haji serta memastikan ibadah haji tetap sesuai dengan syariat Islam."
Menag mengajak seluruh pihak untuk memahami dan menerima fatwa MUI tersebut. Ia juga mengajak semua pihak untuk bersama-sama mencari solusi terbaik dalam pengelolaan dana haji agar tetap sesuai dengan prinsip syariah dan tidak merugikan jemaah.
"Mari kita sama-sama menjaga dan mengelola dana haji dengan sebaik-baiknya," ajak Menag. "Kita harus memastikan dana haji digunakan untuk kepentingan jemaah dan sesuai dengan prinsip syariah."
Pernyataan Menag ini diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih komprehensif terkait fatwa MUI dan meredakan kontroversi yang telah muncul. Pengelolaan dana haji yang transparan, akuntabel, dan sesuai dengan prinsip syariah merupakan kunci untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan memastikan kelancaran penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya. Ke depan, diharapkan akan ada diskusi dan kajian lebih lanjut untuk menemukan solusi optimal dalam pengelolaan dana haji yang dapat menyeimbangkan antara aspek finansial dan keabsahan syariat.