Jakarta, 3 Januari 2025 – Usulan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2025 sebesar Rp 93,3 juta yang diajukan Menteri Agama, Nasaruddin Umar, memicu gelombang protes dari berbagai kalangan, termasuk Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera mengambil langkah konkret meringankan beban jamaah haji yang diproyeksikan mengalami kenaikan signifikan.
Dalam jumpa pers di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2025), Gus Yahya menyampaikan keprihatinan organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut terhadap rencana kenaikan biaya haji yang hampir mencapai Rp 10 juta dari tahun sebelumnya (Rp 56,04 juta pada 2024). Ia menegaskan bahwa kenaikan ini bukan semata-mata akibat peningkatan biaya di Arab Saudi, melainkan lebih disebabkan oleh fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap riyal Arab Saudi.
"Kalau dilihat dari harga-harga di sana, menurut teman-teman yang terlibat dalam pengelolaan haji, sebenarnya perubahan harga di Arab Saudi itu tidak terlalu signifikan. Harga-harga di sana relatif stabil. Masalahnya ada pada nilai tukar rupiah terhadap riyal yang berubah-ubah," tegas Gus Yahya. Ia menekankan bahwa fluktuasi nilai tukar ini merupakan cerminan kondisi ekonomi nasional yang lebih luas, dan bukan hanya masalah efisiensi manajemen penyelenggaraan haji semata.
Gus Yahya menjelaskan bahwa seluruh rangkaian ibadah haji berlangsung di Arab Saudi dan menggunakan mata uang riyal. Oleh karena itu, setiap perubahan nilai tukar rupiah terhadap riyal akan berdampak langsung pada besaran biaya yang harus ditanggung oleh jamaah dalam rupiah. Kenaikan biaya dalam rupiah, menurutnya, merupakan konsekuensi langsung dari pelemahan nilai tukar rupiah, bukan karena inflasi di Arab Saudi.
"Jadi, biaya dalam rupiah naik bukan karena harga di Arab Saudi, tetapi karena fluktuasi nilai tukar," papar Gus Yahya dengan lugas. Pernyataan ini sekaligus membantah anggapan bahwa kenaikan biaya haji semata-mata disebabkan oleh inefisiensi pengelolaan dana haji. PBNU, menurut Gus Yahya, memahami kompleksitas pengelolaan haji, namun tetap mendesak pemerintah dan DPR untuk memprioritaskan keringanan bagi jamaah.
Lebih lanjut, Gus Yahya menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan DPR dalam menentukan besaran biaya haji. Ia berharap kedua lembaga negara tersebut dapat bekerja sama untuk menemukan solusi yang paling adil dan meringankan beban jamaah, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia saat ini. PBNU, sebagai organisasi yang memiliki basis massa yang sangat luas, memahami bahwa ibadah haji merupakan rukun Islam yang wajib bagi mereka yang mampu secara finansial. Oleh karena itu, peningkatan biaya haji yang signifikan berpotensi menghambat akses masyarakat untuk menunaikan ibadah tersebut.
"Kita harus memahami bahwa ini bukan hanya soal manajemen yang efisien, tetapi juga kinerja ekonomi nasional. Pemerintah dan DPR perlu bekerja sama untuk menetapkan biaya haji yang paling meringankan bagi jamaah, sejalan dengan situasi ekonomi yang ada," tambahnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa PBNU tidak hanya fokus pada aspek teknis pengelolaan haji, tetapi juga memperhatikan konteks ekonomi makro dan dampaknya terhadap masyarakat luas.
Usulan BPIH sebesar Rp 93,3 juta yang diajukan Menteri Agama didasarkan pada asumsi nilai tukar Dolar Amerika Serikat (USD) sebesar Rp 16.000 dan Riyal Arab Saudi (SAR) sebesar Rp 4.266,67. Sementara itu, Bipih (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) yang akan ditanggung jamaah mencapai Rp 65,3 juta. Selisih antara BPIH dan Bipih akan ditanggung oleh pemerintah melalui dana abadi umat. Namun, kenaikan Bipih sebesar hampir Rp 10 juta dari tahun sebelumnya tetap menjadi sorotan utama dan memicu kekhawatiran akan daya beli masyarakat.
Pernyataan Gus Yahya juga menyiratkan kritik halus terhadap kinerja pemerintah dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Ia secara implisit menghubungkan fluktuasi nilai tukar dengan kemampuan pemerintah dalam mengelola ekonomi nasional. Dengan demikian, desakan PBNU kepada pemerintah dan DPR tidak hanya sebatas meminta penurunan biaya haji, tetapi juga menyoroti pentingnya menjaga stabilitas ekonomi makro agar tidak membebani masyarakat, khususnya dalam konteks pelaksanaan ibadah haji.
Kenaikan biaya haji ini menimbulkan berbagai spekulasi dan pertanyaan di masyarakat. Beberapa pihak mempertanyakan transparansi dan efisiensi pengelolaan dana haji. Sementara itu, pihak lain menekankan pentingnya pemerintah memberikan subsidi yang lebih besar agar biaya haji tetap terjangkau bagi masyarakat. Debat publik mengenai hal ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga keputusan final mengenai BPIH 2025 ditetapkan.
PBNU, sebagai organisasi keagamaan yang berpengaruh, perannya dalam menyuarakan aspirasi jamaah haji sangat signifikan. Desakan Gus Yahya kepada pemerintah dan DPR diharapkan dapat mendorong kedua lembaga tersebut untuk mempertimbangkan kembali usulan BPIH dan mencari solusi yang lebih adil dan meringankan beban jamaah. Perhatian PBNU terhadap isu ini menunjukkan betapa pentingnya aksesibilitas ibadah haji bagi masyarakat Indonesia, dan bagaimana hal tersebut terkait erat dengan stabilitas ekonomi dan kebijakan pemerintah.
Lebih dari sekedar masalah biaya, isu ini menyangkut aksesibilitas ibadah haji bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Kenaikan biaya yang signifikan berpotensi menghambat niat jutaan umat Islam yang ingin menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu, perdebatan mengenai BPIH 2025 tidak hanya menyangkut angka-angka, tetapi juga menyangkut keadilan, aksesibilitas, dan keberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya. PBNU, dengan desakannya yang tegas, berharap agar pemerintah dan DPR dapat memberikan solusi yang bijak dan memperhatikan aspirasi seluruh jamaah haji. Ke depan, diharapkan akan ada mekanisme yang lebih transparan dan akuntabel dalam pengelolaan dana haji, sehingga dapat mencegah terjadinya kenaikan biaya yang terlalu signifikan di tahun-tahun mendatang. Perhatian terhadap stabilitas nilai tukar rupiah juga menjadi kunci penting dalam menjaga agar biaya haji tetap terjangkau bagi masyarakat.