Pesantren, pilar pendidikan dan pembentukan karakter Nusantara selama berabad-abad, kini menghadapi tantangan besar: bagaimana beradaptasi dengan tuntutan era modern tanpa mengorbankan jati dirinya yang kaya akan tradisi lokal. Pertanyaan ini menjadi titik tolak untuk mengurai kompleksitas permasalahan yang membayangi dunia pesantren saat ini. Permasalahan inti bukanlah sekadar marginalisasi, melainkan bagaimana lembaga pendidikan tradisional ini dapat bertransformasi menuju integrasi yang harmonis dengan sistem global modern.
Meluruskan Pandangan: Marginalisasi, Bukan Konspirasi, Melainkan Transformasi Peradaban
Seringkali, muncul narasi yang menuding adanya marginalisasi sistematis pesantren oleh negara. Pandangan ini, meskipun diiringi rasa simpati terhadap pesantren, mengarah pada kesimpulan yang menyederhanakan realitas. Ia seolah-olah menempatkan pesantren sebagai pihak yang "berhak" atas pengakuan, seakan-akan telah "mengutangi" negara. Namun, realitas jauh lebih kompleks. Marginalisasi yang dialami pesantren bukanlah hasil konspirasi jahat, melainkan konsekuensi dari proses transformasi peradaban menuju modernitas.
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan unik Nusantara, tumbuh subur dari akar budaya lokal yang berbeda dengan model pesantren di belahan dunia Islam lainnya. Tidak seperti di Timur Tengah, Persia, Asia Selatan, atau Afrika, pesantren merupakan produk budaya lokal yang unik, lahir dari struktur sosial, budaya, dan politik Nusantara yang khas. Sebelum era kolonial, pesantren menjadi satu-satunya pusat pendidikan, tempat anak-anak dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk bangsawan dan putra raja, menimba ilmu.
Namun, kedatangan kolonialisme Eropa mengubah lanskap pendidikan dan sosial budaya Nusantara. Struktur tradisional, termasuk pesantren dan keraton, tergeser oleh konstruksi modern yang dipaksakan oleh penjajah. Bukannya tanpa perlawanan. Pesantren, bersama elemen masyarakat pribumi lainnya, aktif melawan dominasi kolonial. Resistensi ini, meskipun heroik, mengakibatkan pesantren tertinggal dalam mengadopsi sistem pendidikan modern.
Gerakan seperti Taman Siswa yang digagas Ki Hajar Dewantara menjadi contoh nyata perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial. Keraton Yogyakarta pun mengambil langkah inovatif dengan mengirim Muhammad Darwis ke Mekkah untuk mempelajari modernisasi pendidikan dari Syekh Khatib al-Minangkabawi. Darwis, yang kemudian dikenal sebagai Haji Ahmad Dahlan, mendirikan Muhammadiyah, sebuah organisasi yang berhasil mengintegrasikan modernisasi pendidikan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai lokal, menghindari sepenuhnya terbawa arus pendidikan kolonial.
Memahami konteks sejarah ini krusial. Permasalahan pesantren bukan semata-mata akibat kebijakan negara, melainkan bagian dari proses transformasi peradaban yang kompleks dan penuh dinamika. Jalan ke depan membutuhkan strategi yang mampu menjembatani tradisi pesantren dengan tuntutan zaman modern tanpa mengorbankan akar budayanya.
Transformasi Pesantren: Menghadapi Tantangan Globalisasi
Sejak era kolonial, salah satu ciri khas pesantren adalah etos perlawanan terhadap sistem modern yang diusung penjajah. Perlawanan ini, meski gigih, tidak mampu sepenuhnya menghentikan dampak dominasi kolonial yang memiliki sumber daya jauh lebih besar.
Lembaga pendidikan modern seperti Muhammadiyah, awalnya hanya mengadopsi struktur formal pendidikan modern, namun tetap mempertahankan konten lokal. Namun, seiring waktu, sistem pendidikan Muhammadiyah bertransformasi menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional yang modern. Sebaliknya, pesantren tradisional cenderung menolak sistem pendidikan kolonial. Akibatnya, generasi pesantren tradisional tertinggal dalam pendidikan formal.
Hingga tahun 1945, akses pendidikan formal bagi santri tradisional sangat terbatas. Sementara itu, di kalangan masyarakat lain, tokoh seperti Sumitro Djojohadikusumo telah meraih gelar doktor ekonomi dari universitas di Amerika. Kesenjangan pendidikan formal ini menciptakan jurang pemisah yang signifikan antara pesantren dan kelompok masyarakat lainnya.
Baru pada tahun 1960-an, santri tradisional mulai mengenyam pendidikan formal, namun tetap menghadapi berbagai kendala, termasuk hambatan mentalitas yang sulit beradaptasi dengan sistem modern. Kisah Kiai Ali Maksum, seorang intelektual pesantren terkemuka, yang merasa tidak nyaman mengajar di IAIN karena harus mengenakan celana panjang, menggambarkan tantangan adaptasi ini.
Lulusan sarjana dari kalangan pesantren baru muncul secara signifikan pada pertengahan tahun 1970-an, sebagian besar dari IAIN. Sebelum periode ini, jumlah sarjana dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) sangat terbatas, sementara kalangan modernis telah lebih dulu mendominasi ruang akademik dan intelektual.
Memahami konteks sejarah ini penting untuk merumuskan solusi yang tepat. Kita perlu menghindari kesimpulan yang terburu-buru dan menghindari anggapan bahwa pesantren secara otomatis menjadi solusi alternatif untuk segala permasalahan. Dunia telah berubah, dan kita hidup di era globalisasi. Integrasi ke dalam sistem global menjadi keharusan, seperti yang telah dilakukan Arab Saudi. Pesantren pun harus memikirkan posisinya dalam konteks global ini.
Integrasi, Bukan Afirmasi: Mencari Solusi yang Tepat Sasaran
Transformasi dari model tradisional menuju integrasi dengan sistem global modern inilah akar dari banyak tuntutan afirmasi dan pengakuan yang muncul dari kalangan pesantren. Keluhan tentang sulitnya lulusan pesantren diterima di perguruan tinggi negeri, misalnya, mengarah pada lahirnya Undang-Undang Pesantren. Kebijakan seperti penerimaan mahasiswa kedokteran tanpa tes bagi hafiz Quran, meskipun bermaksud baik, justru menunjukkan kesalahan dalam membaca peta masalah.
Permasalahan sesungguhnya bukan terletak pada kurangnya afirmasi, melainkan pada bagaimana mengintegrasikan sistem tradisional ke dalam sistem modern. Kita harus memikirkan bagaimana pesantren dapat menyelaraskan praktik tradisionalnya dengan tuntutan sistem pendidikan modern, baik nasional maupun global, yang semakin terstandar dengan ukuran internasional seperti World University Rankings (WUR). Globalisasi telah menggeser fokus pendidikan ke arah standar global, bukan hanya relevansi lokal.
Integrasi ini tentu membawa konsekuensi. Ada hal yang bisa diperoleh sebagai insentif integrasi, namun ada pula yang harus dilepaskan. Tantangannya terletak pada kemampuan pesantren untuk menentukan mana yang harus dipertahankan dan bagaimana berintegrasi dengan sistem modern tanpa kehilangan jati diri dan memperoleh manfaat darinya.
Masalah utama pesantren bukanlah represi politik di masa Orde Baru, meskipun itu pernah terjadi, melainkan bagaimana melakukan proses transformasi menuju integrasi sistem pendidikan pesantren ke dalam sistem global. Ini membutuhkan visi yang jelas dan pendekatan strategis agar pesantren dapat terus berkembang dan menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan identitasnya. Hanya dengan memahami akar permasalahan dan merumuskan strategi yang tepat, pesantren dapat mencapai transformasi yang sukses dan berkelanjutan.