Jakarta – Peristiwa perluasan Masjid Nabawi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab RA menyimpan kisah inspiratif yang mencerminkan kepemimpinan bijaksana dan ketaatan pada ajaran Islam. Kisah ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan pelajaran berharga tentang keadilan, negosiasi, dan keutamaan musyawarah dalam menyelesaikan konflik, bahkan yang melibatkan tokoh-tokoh sentral di awal perkembangan Islam.
Umar bin Khattab RA, khalifah kedua setelah Rasulullah SAW, dikenal karena ketegasannya yang tak kenal kompromi dalam menegakkan hukum dan keadilan. Namun, di balik sikap tegasnya itu tersimpan kebijaksanaan yang mendalam. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Umar RA tergerak untuk melaksanakan wasiat Nabi untuk memperluas Masjid Nabawi, tempat ibadah utama umat Islam. Masjid yang menjadi saksi bisu perjalanan dakwah Rasulullah SAW itu, dirasakan Umar RA, membutuhkan perluasan untuk menampung semakin banyaknya jamaah yang beribadah.
Niat mulia Umar RA ini kemudian menghadapkannya pada sebuah dilema. Rumah paman Rasulullah SAW, Abbas bin Abdul Muthalib, terletak berdekatan dengan Masjid Nabawi. Untuk merealisasikan rencana perluasan masjid, Umar RA menyadari bahwa tanah milik Abbas tersebut menjadi kunci keberhasilan proyek tersebut.
Dengan keberanian dan ketegasan yang menjadi ciri khasnya, Umar RA menemui Abbas bin Abdul Muthalib. Ia menyampaikan maksudnya dengan lugas, mengutip wasiat Rasulullah SAW dan menjelaskan pentingnya perluasan Masjid Nabawi bagi umat Islam. Umar RA menawarkan solusi: rumah Abbas akan diganti dengan lahan yang lebih luas sebagai kompensasi.
Namun, Abbas bin Abdul Muthalib menolak tawaran tersebut. Sikap penolakan ini bukan didasari atas keserakahan atau ketidaksetujuan atas perluasan masjid, melainkan lebih kepada prinsip dan hak kepemilikan. Penolakan ini memicu reaksi tegas dari Umar RA yang menyatakan akan mengambil rumah tersebut secara paksa.
Pernyataan Umar RA ini bukan sekadar ancaman kosong. Sebagai khalifah, ia memiliki otoritas untuk melakukannya. Namun, Abbas bin Abdul Muthalib, dengan bijaknya, tidak membiarkan situasi ini berlanjut ke tindakan sepihak. Ia mengajukan solusi alternatif: penyelesaian melalui jalur musyawarah dengan melibatkan seorang penengah yang adil dan bijaksana.
Abbas bin Abdul Muthalib kemudian menunjuk Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai penengah. Pilihan ini bukanlah pilihan sembarangan. Hudzaifah ibn al-Yaman merupakan sosok yang dihormati dan disegani, bahkan menduduki posisi penting di pemerintahan Umar RA sebagai penasihat. Kepercayaan Abbas bin Abdul Muthalib kepada Hudzaifah menunjukkan komitmennya pada penyelesaian damai dan adil.
Pertemuan antara Umar RA, Abbas bin Abdul Muthalib, dan Hudzaifah ibn al-Yaman pun terlaksana. Kedua pihak menyampaikan argumen dan pandangan masing-masing di hadapan Hudzaifah. Di sinilah peran Hudzaifah sebagai penengah menjadi krusial. Ia tidak sekadar mendengarkan, tetapi juga memberikan hikmah dan pelajaran berharga yang mampu meredam ketegangan dan mengarahkan pada solusi yang bijaksana.
Hudzaifah ibn al-Yaman kemudian menceritakan kisah Nabi Daud AS dan upaya perluasan Baitul Maqdis. Dalam kisah tersebut, Nabi Daud AS bermaksud memperluas Baitul Maqdis dan menemukan sebuah rumah yang menghalangi rencana tersebut. Rumah itu milik seorang anak yatim. Nabi Daud AS awalnya ingin mengambil rumah tersebut secara paksa, namun Allah SWT menegurnya dan mengingatkan pentingnya keadilan dan menghindari tindakan zalim. Kisah Nabi Daud AS ini menjadi pelajaran berharga bagi Umar RA dan Abbas bin Abdul Muthalib.
Mendengar kisah tersebut, Umar RA dan Abbas bin Abdul Muthalib tertegun. Kisah Nabi Daud AS menjadi pengingat akan pentingnya keadilan dan menghindari tindakan yang dapat menimbulkan ketidakadilan, betapapun mulia tujuannya. Umar RA, dengan kebijaksanaan yang terpuji, menyadari kesalahannya dan menarik kembali ancamannya untuk mengambil rumah Abbas bin Abdul Muthalib secara paksa.
Peristiwa ini menandai titik balik dalam perselisihan tersebut. Abbas bin Abdul Muthalib, tergerak oleh hikmah yang disampaikan Hudzaifah ibn al-Yaman dan menyadari keutamaan memperluas Masjid Nabawi, akhirnya menyerahkan rumahnya untuk dipergunakan sebagai lahan perluasan masjid. Penyerahan ini bukan dilakukan karena paksaan, melainkan atas dasar kesadaran dan keikhlasan.
Peristiwa perluasan Masjid Nabawi ini menjadi bukti nyata bagaimana kepemimpinan yang tegas dapat dipadukan dengan kebijaksanaan dan musyawarah. Umar RA, meskipun dikenal tegas, menunjukkan sikap rendah hati dan mau menerima masukan. Ia tidak memaksakan kehendaknya, tetapi mencari solusi yang adil dan diterima semua pihak. Abbas bin Abdul Muthalib, di sisi lain, menunjukkan sikap bijaksana dan komitmennya pada kepentingan umat Islam yang lebih luas.
Kisah ini juga menggarisbawahi pentingnya musyawarah dalam menyelesaikan konflik. Hudzaifah ibn al-Yaman, sebagai penengah, berperan penting dalam meredakan ketegangan dan mengarahkan pada solusi yang damai dan adil. Perannya sebagai penasihat khalifah juga menunjukkan pentingnya peran penasihat yang bijaksana dalam pengambilan keputusan.
Lebih dari sekadar perluasan fisik bangunan masjid, peristiwa ini menandai perluasan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya keadilan, musyawarah, dan keikhlasan dalam beramal. Kisah ini menjadi warisan berharga bagi umat Islam, mengajarkan bagaimana menyelesaikan konflik dengan bijaksana dan mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Keteladanan Umar RA dan Abbas bin Abdul Muthalib, serta peran penting Hudzaifah ibn al-Yaman, menjadi inspirasi bagi pemimpin dan masyarakat dalam membangun kehidupan yang harmonis dan berlandaskan keadilan. Peristiwa ini juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga nilai-nilai luhur Islam, seperti keadilan, musyawarah, dan keikhlasan, dalam setiap aspek kehidupan. Kisah ini menjadi bukti bahwa bahkan dalam situasi yang penuh tantangan, solusi yang adil dan damai dapat tercapai melalui dialog, musyawarah, dan pemahaman yang mendalam akan ajaran agama. Inilah warisan berharga yang dapat dipetik dari kisah perluasan Masjid Nabawi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab RA.