Pernyataan kontroversial mantan Presiden Donald Trump yang menyatakan niat Amerika Serikat untuk mengambil alih Jalur Gaza dan memindahkan penduduk Palestina telah memicu reaksi beragam di kalangan pemimpin Muslim dan Arab Amerika. Meskipun beberapa pendukung Trump tetap setia, banyak yang mengecam gagasan tersebut sebagai tidak masuk akal dan melanggar hukum internasional. Pernyataan yang dilontarkan Trump dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada Selasa, 4 Mei 2025, dan dilaporkan oleh New York Times, telah mengguncang komunitas Amerika Serikat dan memicu perdebatan sengit tentang kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah.
Trump, dalam pernyataannya yang mengejutkan, mengungkapkan rencana AS untuk mengambil alih Jalur Gaza, membangun apa yang disebutnya "Reviera of Middle East," dan memindahkan penduduk Palestina ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania. Pernyataan ini langsung menuai kecaman luas, termasuk dari Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang dengan tegas menolak rencana tersebut dan memperingatkan bahwa Gaza merupakan bagian integral dari Negara Palestina. Abbas menekankan bahwa pemindahan paksa penduduk akan merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional, seperti yang dilaporkan oleh BBC.
Reaksi dari komunitas Muslim dan Arab Amerika pun terbelah. Meskipun beberapa individu yang sebelumnya mendukung Trump dalam pemilihan presiden 2024 tetap mempertahankan dukungan mereka, banyak yang mengecam keras usulan kontroversial tersebut. Perbedaan pendapat ini mencerminkan kompleksitas dukungan terhadap Trump di dalam komunitas tersebut, serta beragam pandangan tentang solusi konflik Israel-Palestina.
Bishara Bahbah, pendiri Arab Americans for Trump, yang berperan aktif dalam menggalang dukungan untuk Trump di Michigan dan negara bagian lainnya, menyatakan kekhawatirannya. Meskipun tetap mendukung Trump, Bahbah mengakui bahwa gagasan pengambilalihan Gaza telah menimbulkan kemarahan dan penolakan yang meluas. "Kami yakin bahwa ide-idenya, betapapun bermaksud baik, telah membuat banyak orang kesal," ujar Bahbah kepada Reuters. Ia menambahkan, "Kami menentang segala bentuk pemindahan warga Palestina, baik secara sukarela maupun tidak, dari Tanah Air mereka." Meskipun demikian, Bahbah masih melihat pernyataan Trump sebagai cara terbaik untuk mencegah konflik lebih lanjut di Gaza, sebuah pandangan yang tidak dibagi oleh banyak orang.
Pandangan serupa diungkapkan oleh Rabiul Chowdhury, pendiri Muslims for Trump. Chowdhury mengakui rasa frustrasinya atas ketiadaan solusi jangka panjang yang efektif untuk perdamaian di Gaza. Namun, ia tetap mempertahankan dukungannya kepada Trump, mengatakan bahwa dibandingkan dengan kebijakan pemerintahan Biden, Trump menawarkan pilihan yang lebih baik. "Jika kita menyamakan tindakan Trump dengan tindakan Biden dan Harris, kontrasnya tidak dapat disangkal–Trump adalah pilihan yang lebih baik," tegas Chowdhury. Pernyataan ini menggarisbawahi perbedaan persepsi mengenai pendekatan terbaik dalam menangani konflik Israel-Palestina, dengan beberapa pendukung Trump melihatnya sebagai sosok yang lebih tegas dan efektif dibandingkan dengan pemerintahan Biden.
Pemerintahan Biden sebelumnya, meskipun berpihak pada Israel selama konflik Gaza, berulang kali mendesak Israel untuk meminimalkan korban sipil dan memuji kesepakatan gencatan senjata. Perbedaan pendekatan ini menjadi poin penting dalam perdebatan mengenai kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah dan menjadi salah satu alasan mengapa beberapa pendukung Trump masih melihatnya sebagai pilihan yang lebih baik, meskipun mereka menentang rencana pengambilalihan Gaza.
Namun, banyak pemimpin Muslim dan Arab Amerika mengecam keras pernyataan Trump. Osama Siblani, Juru Bicara Komite Aksi Politik Arab Amerika, mengatakan bahwa retorika Trump "gila" dan tidak akan berkontribusi pada perdamaian. "Alih-alih membantu orang untuk pulih, dia malah mencoba mengambil keuntungan dari penderitaan mereka. Saya tidak percaya seorang presiden Amerika Serikat membuat saran seperti itu," kata Siblani kepada Reuters. Pernyataan Siblani mencerminkan sentimen umum di kalangan banyak pemimpin komunitas yang melihat rencana Trump sebagai tindakan yang tidak sensitif dan tidak bertanggung jawab.
Samra’a Luqman, seorang warga Amerika keturunan Yaman yang memilih Trump pada pemilu 2024, juga menentang gagasan pengambilalihan Gaza. Meskipun demikian, ia masih menilai Trump lebih baik daripada pemerintahan Biden, menunjukkan bahwa dukungan terhadap Trump tidak selalu berarti persetujuan terhadap semua kebijakannya. Hal ini menunjukkan adanya nuansa dan kompleksitas dalam dukungan terhadap Trump di dalam komunitas Muslim dan Arab Amerika.
Pernyataan Trump telah memicu perdebatan yang lebih luas mengenai peran AS dalam konflik Israel-Palestina. Kritik tidak hanya datang dari komunitas Muslim dan Arab Amerika, tetapi juga dari berbagai kalangan internasional yang melihat rencana tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional dan tindakan yang tidak manusiawi. Rencana pemindahan paksa penduduk Palestina menimbulkan kekhawatiran serius tentang pelanggaran hak asasi manusia dan potensi terjadinya krisis kemanusiaan yang besar.
Pernyataan Trump juga menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi dan kredibilitas kebijakan luar negeri AS. Perbedaan yang tajam antara pendekatan Trump dan pemerintahan Biden menunjukkan kurangnya konsensus mengenai strategi yang tepat untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang ketidakpastian dan ketidakstabilan di kawasan tersebut.
Kesimpulannya, pernyataan Trump tentang pengambilalihan Gaza telah memicu reaksi yang beragam dan kompleks di kalangan pemimpin Muslim dan Arab Amerika. Meskipun beberapa pendukung Trump tetap setia, banyak yang mengecam rencana tersebut sebagai tidak masuk akal, tidak manusiawi, dan melanggar hukum internasional. Perdebatan ini mencerminkan perbedaan pendapat yang mendalam mengenai solusi konflik Israel-Palestina dan peran AS dalam kawasan tersebut. Pernyataan kontroversial ini juga menyoroti kompleksitas dukungan politik di dalam komunitas Muslim dan Arab Amerika, di mana loyalitas kepada seorang kandidat politik tidak selalu berarti persetujuan terhadap semua kebijakannya. Ke depan, pernyataan ini akan terus memicu perdebatan dan analisis yang mendalam mengenai masa depan kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah dan implikasi dari rencana-rencana yang kontroversial tersebut. Peristiwa ini juga akan terus dipantau secara ketat oleh komunitas internasional mengingat potensi dampaknya yang signifikan terhadap stabilitas regional dan hak asasi manusia.