Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Khadijah binti Khuwailid RA merupakan peristiwa monumental dalam sejarah Islam, sebuah ikatan suci yang meletakkan dasar bagi perjalanan kenabian dan penyebaran risalah ilahi. Lebih dari sekadar pernikahan, peristiwa ini menandai perpaduan dua jiwa mulia yang saling melengkapi, membentuk pondasi bagi keluarga dan ummat yang akan mengubah dunia. Kisah pernikahan mereka, yang diwarnai dengan kemuliaan karakter kedua tokoh, menawarkan pelajaran berharga tentang cinta, kepemimpinan, dan keteladanan.
Khadijah RA, bukan sekadar wanita kaya dan berpengaruh di Mekkah, melainkan sosok yang dikaruniai kecerdasan, kebijaksanaan, dan keimanan yang luar biasa. Ia berasal dari keluarga bangsawan Quraisy, keluarga Khuwailid, yang dikenal memiliki kedudukan tinggi dan kekayaan melimpah. Kelahirannya, lima belas tahun sebelum insiden penyerangan pasukan gajah ke Mekkah, menunjukkan posisinya dalam konteks sejarah pra-Islam. Muhammad Abduh Yamani, dalam karyanya Khadijah Binti Khuwailid, bahkan menggambarkannya sebagai wanita suci yang terhormat, sebuah gambaran yang didukung oleh reputasi keluarganya yang terpandang dan kekayaan yang dimilikinya.
Pertemuan Rasulullah SAW, yang saat itu berusia 25 tahun, dengan Khadijah RA, yang berusia 40 tahun, bukanlah pertemuan biasa. Kala itu, Rasulullah SAW menjalankan bisnis perdagangan, menjajakan barang dagangannya ke berbagai tempat, termasuk Syam. Perjalanan dagang ke Syam yang ditemani Maisarah, salah seorang hamba sahaya Khadijah RA, menjadi titik awal kisah cinta mereka. Maisarah, yang menyaksikan sendiri kejujuran, amanah, dan akhlak mulia Rasulullah SAW selama perjalanan, kemudian menceritakan hal tersebut kepada majikannya.
Kesan mendalam yang terpatri di hati Maisarah menginspirasi Khadijah RA untuk mengambil inisiatif. Ia bukan hanya terkesan dengan kemampuan Rasulullah SAW dalam berdagang, tetapi juga terpesona oleh karakter dan kepribadian beliau. Khadijah RA, dengan keberanian dan ketegasan yang mencerminkan kemandiriannya, mengirim utusan kepada Rasulullah SAW, menyatakan ketertarikannya dan menawarkan diri untuk menjadi istrinya. Ucapan Khadijah RA kepada Rasulullah SAW, yang tercatat dalam berbagai riwayat, menunjukkan ketulusan hatinya: "Sepupuku, aku menyukaimu karena kekerabatanmu, kedudukanmu di antara kaummu, sikap amanahmu, kemuliaan akhlakmu, dan kejujuran perkataanmu."
Ungkapan tersebut bukan sekadar pujian, melainkan pengakuan akan kualitas kepemimpinan dan karakter Rasulullah SAW yang telah teruji. Khadijah RA, dengan ketajaman pandangannya, mengenali potensi besar yang tersimpan dalam diri Rasulullah SAW, jauh sebelum beliau diangkat menjadi Nabi. Pernyataan cinta Khadijah RA yang berani dan lugas ini menjadi contoh langka dalam konteks sosial Arab pra-Islam, di mana perempuan umumnya memiliki peran yang lebih pasif.
Setelah mendengar lamaran Khadijah RA, Rasulullah SAW, dengan bijaksana, menceritakan hal tersebut kepada paman-pamannya. Hamzah bin Abdul Muththalib, salah seorang paman Rasulullah SAW yang dikenal sebagai sosok yang gagah berani dan berpengaruh, kemudian mengambil peran penting dalam prosesi pernikahan ini. Beliau menemui Khuwailid bin Asad, ayah Khadijah RA, untuk menyampaikan pinangan Rasulullah SAW. Peran Hamzah bin Abdul Muththalib menunjukkan pentingnya dukungan keluarga dalam membentuk ikatan pernikahan yang kuat dan harmonis.
Mahar yang diberikan Rasulullah SAW kepada Khadijah RA, menurut beberapa riwayat seperti yang tercantum dalam Sirah Nabawiyah: Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani, berupa 20 ekor unta betina muda. Jumlah ini, meskipun terkesan sederhana dibandingkan dengan kekayaan Khadijah RA, menunjukkan kesederhanaan dan ketulusan hati Rasulullah SAW. Mahar tersebut bukan sekadar simbol materi, melainkan bukti komitmen dan keseriusan beliau dalam membangun rumah tangga yang sakinah.
Pernikahan Rasulullah SAW dan Khadijah RA bukanlah pernikahan biasa. Ia merupakan perpaduan antara kepemimpinan spiritual dan dukungan emosional yang kuat. Selama masa pernikahan mereka, Rasulullah SAW tidak pernah menikahi wanita lain hingga Khadijah RA wafat. Kesetiaan dan cinta yang mendalam antara keduanya menjadi teladan bagi pasangan muslim di seluruh dunia. Khadijah RA bukan hanya menjadi istri, tetapi juga sahabat, penasihat, dan pendukung setia Rasulullah SAW dalam menjalankan dakwahnya. Ia memberikan dukungan finansial dan moral yang tak ternilai harganya, membantu Rasulullah SAW menghadapi berbagai tantangan dan cobaan dalam menyebarkan ajaran Islam.
Dari pernikahan suci ini, lahirlah beberapa anak, baik laki-laki maupun perempuan. Terdapat perbedaan pendapat mengenai urutan dan nama anak-anak mereka dalam berbagai riwayat. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa anak laki-laki Rasulullah SAW dengan Khadijah RA adalah Qasim, Thayyib, dan Thahir, sementara anak perempuannya adalah Ruqayyah, Zainab, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Ibnu Hisyam, di sisi lain, menyebutkan Qasim sebagai anak laki-laki sulung, diikuti Thayyib dan Thahir. Sedangkan anak perempuannya, menurut Ibnu Hisyam, adalah Ruqayyah, Zainab, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Perbedaan-perbedaan kecil ini tidak mengurangi keagungan kisah pernikahan mereka.
Yang penting untuk dicatat adalah bahwa anak-anak laki-laki mereka, Qasim, Thayyib, dan Thahir, meninggal dunia pada masa jahiliyah. Namun, semua anak perempuan mereka, Ruqayyah, Zainab, Ummu Kultsum, dan Fatimah, hidup hingga masa Islam. Mereka memeluk Islam dan menjadi bagian penting dalam sejarah perkembangan Islam, mendukung ayah mereka dalam menyebarkan risalah Allah SWT. Fatimah RA, anak perempuan bungsu mereka, menjadi istri Ali bin Abi Thalib RA dan mewarisi keteladanan dan kemuliaan kedua orang tuanya.
Pernikahan Rasulullah SAW dan Khadijah RA bukan hanya peristiwa sejarah, tetapi juga sebuah kisah cinta yang penuh inspirasi. Ia mencerminkan kekuatan cinta yang tulus, kepemimpinan yang bijaksana, dan dukungan yang tak tergoyahkan. Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya memilih pasangan hidup yang memiliki karakter mulia, dan tentang peran penting keluarga dalam membentuk kehidupan yang harmonis dan bermakna. Lebih dari itu, kisah ini menginspirasi kita untuk meneladani kehidupan Rasulullah SAW dan Khadijah RA, sebagai contoh kehidupan beriman yang luar biasa. Semoga kisah ini selalu menjadi sumber inspirasi bagi kita semua dalam menjalani kehidupan dan membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.