Jakarta – Dalam ajaran Islam, lisan merupakan anugerah sekaligus ujian. Kemampuan untuk berbicara memberikan manusia kekuatan untuk berkomunikasi, berdakwah, dan menjalin hubungan sosial. Namun, kebebasan berbicara ini juga menyimpan potensi besar untuk menebar fitnah, menyakiti hati, dan bahkan mengundang murka Allah SWT. Rasulullah SAW, sebagai teladan utama umat Islam, senantiasa mengingatkan pentingnya menjaga lisan dan memilih kata-kata yang baik, bahkan menganjurkan untuk diam jika diragukan kebaikan ucapannya. Hadis-hadis shahih mengungkapkan betapa besarnya konsekuensi dari perkataan yang tidak terjaga, bahkan menyebutkan perkataan-perkataan tertentu yang paling dibenci Allah SWT. Pemahaman yang mendalam terhadap hadis-hadis ini menjadi krusial bagi setiap muslim untuk senantiasa memperbaiki kualitas komunikasi dan menjaga diri dari perilaku verbal yang merugikan.
Salah satu hadis yang menekankan pentingnya menjaga lisan berasal dari riwayat Bukhari, yang secara ringkas berbunyi: "Ada juga orang yang tanpa berpikir panjang mengucapkan kalimat yang dibenci Allah sehingga membuatnya terjerumus ke neraka Jahanam." Hadis ini, meskipun singkat, menyimpan pesan yang sangat kuat. Neraka Jahanam, sebagai gambaran hukuman abadi bagi pendosa, menjadi peringatan serius atas dampak negatif dari perkataan yang tidak dijaga. Ucapan yang dianggap remeh, yang dilontarkan tanpa pertimbangan matang, berpotensi besar untuk membawa seseorang pada kehancuran akhirat. Jarak neraka yang digambarkan sejauh jarak antara timur dan barat semakin memperjelas betapa luas dan dahsyatnya konsekuensi tersebut. Hadis ini tidak hanya menekankan pentingnya berhati-hati dalam berbicara, tetapi juga memperingatkan bahaya kelalaian dalam menggunakan anugerah lisan.
Namun, hadis tersebut tidak secara spesifik menyebutkan perkataan apa yang paling dibenci Allah SWT. Untuk itu, kita perlu merujuk pada hadis-hadis lain yang menjelaskan lebih rinci. Salah satu hadis yang relevan berasal dari riwayat Baihaqi dan An-Nasa’i, yang menyebutkan: "Perkataan yang paling Allah benci yaitu ketika seseorang menasihati temannya, ‘Bertakwalah kepada Allah’, tetapi dia menjawab, ‘Urus saja dirimu sendiri’." Hadis ini mengungkap inti permasalahan yang lebih dalam, yaitu kesombongan dan penolakan terhadap nasihat kebaikan.
Analisis lebih lanjut terhadap hadis ini menunjukkan bahwa perkataan yang paling dibenci Allah SWT bukanlah sekadar kata-kata kasar atau umpatan, melainkan sikap hati yang menolak kebenaran dan nasihat. Dalam konteks ini, "urus saja dirimu sendiri" bukan hanya sebuah kalimat, tetapi mencerminkan sikap arogansi dan penolakan terhadap ajakan untuk bertakwa. Sikap ini menunjukkan kurangnya kerendahan hati dan keengganan untuk memperbaiki diri, padahal sesama muslim seharusnya saling mengingatkan dalam kebaikan dan ketakwaan. Ini merupakan bentuk penolakan terhadap perintah Allah SWT untuk saling menasihati dan menegur dalam kebaikan.
Buku "Hijrah Dahulu, Istikamah Kemudian" karya Hendra Bakti menjelaskan bahwa perkataan dalam hadis ini mengandung kesombongan dalam aspek teologis. Seseorang yang menolak nasihat tentang ketakwaan, sebenarnya sedang menyombongkan diri, merasa dirinya sudah benar dan tidak membutuhkan teguran. Sikap ini sangat berbahaya karena dapat menghambat pertumbuhan spiritual dan menjauhkan diri dari rahmat Allah SWT. Keengganan untuk menerima nasihat, terlepas dari bagaimana kata-katanya disampaikan, merupakan inti dari perkataan yang dibenci Allah SWT. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas hati dan niat jauh lebih penting daripada sekadar pemilihan diksi.
Oleh karena itu, pemahaman yang benar tentang hadis ini bukan hanya sekedar menghindari mengucapkan kalimat "urus saja dirimu sendiri," tetapi juga menghindari sikap dan perilaku yang mendasari kalimat tersebut. Setiap muslim perlu merenungkan sikap dan responnya ketika menerima nasihat, apakah dengan rendah hati menerima dan merenungkannya, atau malah menolaknya dengan kesombongan. Menjadi penting untuk menyadari bahwa kesombongan merupakan penyakit hati yang dapat menghalangi seseorang dari jalan kebaikan dan ridho Allah SWT.
Sebagai solusi, Rasulullah SAW memberikan panduan yang sangat praktis, yaitu anjuran untuk berkata santun atau lebih baik diam. Hadis Muttafaq Alaih menyatakan: "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah dia berkata yang baik atau diam." Hadis ini menjadi pedoman utama dalam berkomunikasi. Sebelum melontarkan kata-kata, sebaiknya kita merenungkan terlebih dahulu apakah ucapan tersebut bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Jika diragukan kebaikannya, maka diam adalah pilihan yang lebih bijak. Diam bukan berarti pasif atau tidak peduli, tetapi merupakan bentuk kehati-hatian dan pencegahan dari potensi ucapan yang merugikan.
Lebih jauh lagi, Rasulullah SAW juga menganjurkan untuk membatasi percakapan yang tidak bermanfaat. Beliau bersabda (HR Tirmidzi): "Janganlah engkau banyak berbicara kecuali hanya untuk berdzikir kepada Allah, karena sesungguhnya banyak bicara (bukan dzikir kepada Allah) akan menyebabkan kerasnya hati. Sungguh, manusia yang paling jauh dari Allah adalah yang berhati keras." Hadis ini menekankan pentingnya mengisi waktu dengan kegiatan yang produktif dan bermanfaat, terutama dzikir kepada Allah SWT. Percakapan yang berlebihan dan tidak bermanfaat, khususnya yang mengandung gosip, fitnah, atau hal-hal negatif lainnya, dapat menyebabkan hati menjadi keras dan jauh dari Allah SWT. Hati yang keras akan sulit menerima nasihat, sulit untuk berempati, dan sulit untuk merasakan kehadiran Allah SWT dalam kehidupannya.
Kesimpulannya, perkataan yang paling dibenci Allah SWT bukan hanya terbatas pada kata-kata tertentu, tetapi lebih luas mencakup sikap dan perilaku yang mendasari ucapan tersebut. Kesombongan, penolakan terhadap nasihat, dan perkataan yang menyakiti hati merupakan contoh-contoh perkataan yang perlu dihindari. Sebagai solusi, Rasulullah SAW menganjurkan untuk senantiasa menjaga lisan, berkata baik, atau lebih baik diam jika diragukan kebaikannya. Membatasi percakapan yang tidak bermanfaat dan mengisi waktu dengan dzikir kepada Allah SWT juga merupakan langkah penting dalam menjaga kualitas lisan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Menjadi muslim yang taat tidak hanya dilihat dari ibadah ritual semata, tetapi juga dari bagaimana kita menjaga lisan dan berkomunikasi dengan sesama manusia. Semoga kita semua senantiasa diberi kekuatan dan hidayah oleh Allah SWT untuk senantiasa menjaga lisan dan berkata-kata yang baik.